Desa Waq di Pondok Sayur adalah sebuah desa yang unik. Orang Gayo yang
tinggal di desa yang terletak di salah satu kabupaten di Tanoh Gayo
ini, dalam skala yang lokal adalah minoritas dibandingkan suku Jawa
yang tinggal di desa-desa sekelilingnya. Desa yang mayoritas
penduduknya suku Gayo ini seolah dikepung oleh empat desa lain yang
memiliki penduduk mayoritas suku Jawa. Di Utara, Desa waq berbatasan
dengan Desa Geresek. Di timur, Desa waq berbatasan dengan desa Mupakat
Jadi yang dipimpin oleh kepala desa bernama Tukiran, salah satu dari
puluhan kepala desa yang berdemo ke Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Saat itu nama Tukiran sempat populer karena namanya di blow berbagai
media ketika atas nama kepala-kepala desa yang lain dia berbicara di
gedung DPR Senayan menuntut pembentukan provinsi ALA. Di Selatan, Desa
Waq berbatasan dengan Desa Panji Mulia I dan di Barat dengan desa Panji.

Semasa konflik, Desa Waq ini termasuk salah satu dari beberapa desa di
Tanoh Gayo yang dikategorikan sebagai daerah 'hitam'. Desa ini
disinyalir sebagai tempat tinggal beberapa tokoh GAM Linge yang
berpengaruh pada masa itu. Sehingga di masa konflik, desa ini bisa
dikatakan merupakan salah satu desa Gayo yang paling menderita. 

Semua berawal dari sebuah peristiwa ketika dua orang suku Jawa yang
berasal dari Desa Geresek ditemukan tewas di dalam hutan. Menurut
seorang warga Desa waq yang saya wawancarai, kedua orang suku Jawa
yang tewas itu terbunuh saat menenteng senjata api rakitan. Pembunuhan
terhadap kedua orang suku Jawa itu disinyalir dilakukan oleh GAM. 

Kejadian terbunuhnya dua orang suku Jawa warga Desa Geresek itu
langsung mengundang perhatian. Tidak berapa lama setelah kejadian,
aparat keamanan dikirim ke desa itu untuk mempelajari situasi dan
kemudian memutuskan untuk mendirikan pos pengamanan di desa tetangga
desa Waq tersebut. Bukan hanya desa Geresek tapi juga tiga  desa yang
lain. Dan dari sinilah penderitaan warga Desa Waq bermula. 

Sama seperti warga Desa Waq, dalam konflik ini orang-orang suku Jawa
yang tinggal di sekeliling Desa Waq juga diliputi rasa ketakutan atas
keselamatan diri mereka. Tapi mereka merasa terlindungi dengan
keberadaan aparat keamanan yang ditempatkan di desa mereka. Entah
karena merasa terlindungi atau karena apa. Menurut warga desa Waq.
Sejak kehadiran aparat di desa mereka, orang-orang suku Jawa yang
tinggal disekeliling desa Waq mulai bersikap arogan terhadap suku Gayo. 

Sejak keberadaan aparat keamanan di Desa mereka, orang-orang Jawa yang
tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq seringkali tanpa alasan yang
jelas  memukuli orang Gayo warga Desa Waq. Ada kesan kalau mereka
menganggap seluruh warga Desa Waq adalah sekumpulan pemberontak yang
sama sekali tidak memiliki hak untuk hidup di wilayah administrasi
negara yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tahun 1945 ini.
Ini bisa saya simpulkan berdasarkan penuturan warga desa Waq yang
pernah menjadi korban pemukulan atau perampasan oleh warga desa
tetangga mereka. Saat itu warga Desa Waq yang  mereka pukuli diteriaki
sebagai pemberontak, yang diikuti dengan berbagai kata caci maki
lainnya sambil mengatasnamakan negara. Berdasarkan informasi dari
penuturan beberapa warga Desa Waq yang saya wawancarai. Saya
menangkap, ada kesan patriotisme dalam diri orang-orang suku Jawa yang
tinggal disekeliling desa Waq ini ketika mereka melakukan penindasan
terhadap warga Desa Waq.

Sepertinya karena adanya kesan patriotisme ini pulalah orang-orang
Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq juga sering ikut
dalam operasi penumpasan pemberontak yang dilakukan oleh aparat
keamanan yang menjaga desa mereka. Dalam operasi itu mereka
menunjukkan rumah orang-orang Gayo yang dicurigai sebagai pendukung
GAM. Kadang mereka juga ikut bersama aparat memburu (Bisa diartikan
secara harfiah) orang Gayo yang dijadikan target. Bahkan masih menurut
warga Desa Waq, pada masa itu tidak jarang orang Jawa tetangga mereka
juga ikut menyiksa sampai mati orang Gayo yang dicurigai sebagai
anggota atau pendukung GAM.

Sementara itu orang-orang Gayo warga Desa Waq sendiri tidak mampu
memberikan perlawanan yang berarti. Ketidakmampuan Orang Gayo warga
Desa Waq dalam memberi perlawanan ini membuat orang-orang suku Jawa
yang tinggal desa tetangga mereka semakin merasa berkuasa. Buah kopi
di kebun warga Desa waq yang merupakan sumber penghasilan mereka
dengan leluasa dipetik oleh orang-orang suku Jawa yang tinggal desa
tetangga mereka itu. Mereka juga tidak segan mengambil hak milik warga
Desa waq. Toko kelontong milik seorang warga suku Aceh yang berdagang
di Desa Waq mereka jarah secara terbuka. Begitu merasa berkuasanya
orang-orang suku Jawa ini di masa konflik sampai-sampai lapangan Sepak
Bola milik warga desa Waq juga berani mereka kuasai. Malah sekarang
lapangan sepak bola itu sudah mereka jual.

Pada masa itu setiap malam hari tiba, warga Desa waq selalu dilanda
ketakutan mencekam. Waktu itu sehabis shalat maghrib Warga Desa Waq
akan segera masuk ke rumah dan mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat
tanpa berani untuk keluar. Lalu di dalam rumah, setiap detik mereka
berdo'a dan berharap-harap cemas jangan sampai ada ketukan di pintu
rumah mereka. Bagi warga Desa waq, setiap kali matahari menghilang
dari cakrawala dan udara berubah menjadi semakin dingin, seolah-olah
malaikat maut turun dan dengan santai berjalan mengelilingi desa
mereka, melewati setiap rumah satu persatu dan memilih dengan acak
sesuka hati rumah mana saja yang ingin dia datangi. 

Di masa konflik itu, ketukan pintu di malam hari adalah horor yang
sehoror-horornya bagi warga Desa Waq. Pada masa itu, bagi mereka
ketukan di malam hari berarti kematian telah menghampiri salah seorang
anggota keluarga yang mereka cintai. Ketukan di malam hari berarti ada
aparat yang datang bersama orang-orang suku Jawa warga desa tetangga
mereka yang mencari salah satu anggota keluarga mereka yang disinyalir
sebagai anggota atau simpatisan GAM. Dan kalau saat didatangi itu
anggota keluarga yang dimaksud ditemukan berada di rumah. Tangisan dan
raunganpun akan segera pecah di rumah tersebut. Karena ketika si
anggota keluarga tersebut dibawa oleh aparat maka berarti saat itu
pulalah terakhir kalinya mereka bisa menyaksikan anggota keluarga yang
mereka cintai itu dalam kondisi bernyawa. Keesokan harinya ketika
matahari kembali terbit dan alam kembali terang benderang, bisa
dipastikan anggota keluarga yang dijemput tersebut akan ditemukan
dalam kondisi babak belur dan sudah menjadi mayat.

Pada setiap keluarga di Desa Waq yang beruntung tidak mendapat ketukan
di malam hari. Sedikit kelegaan muncul setiap kali pagi menjelang.
Tapi rasa was-was dan ketakutan kembali datang ketika malam tiba. 

Begitu mencekamnya suasana malam di Desa waq pada masa itu sehingga
sampai hari inipun warga Desa Waq seringkali masih merasa cemas dan
ketakutan jika pada malam hari warga desa ini mendengar suara ketukan
di pintu rumah mereka.

Pada masa itu pemuda adalah komponen yang paling dicurigai sebagai
anggota atau simpatisan GAM dan menjadi target utama operasi yang
dilakukan oleh aparat dan suku Jawa warga desa tetangga Desa Waq.
Sehingga waktu itu sangatlah berbahaya bagi seorang pemuda untuk
berada di desa Waq. Akibat dari situasi seperti ini. Setelah banyak
pemuda Desa Waq yang tewas menjadi korban. Semua pemuda desa Waq yang
tersisa mengungsi ke luar daerah bahkan ke luar pulau Sumatra. 

Keadaan ini sempat menimbulkan masalah tersendiri bagi Desa Waq.
Karena sebagaimana halnya yang terjadi di desa-desa lain di Tanoh
Gayo. Di Desa Waq inipun pemuda selalu memegang peranan penting dalam
setiap hajatan yang diselenggarakan di desa ini. Entah itu hajatan
perkawinan, kelahiran sampai orang meninggal. Karena pada masa itu di
Desa Waq sudah tidak ada lagi pemuda yang tinggal. Pernah suatu waktu
ketika ada warga desa Waq yang meninggal, warga desa ini kesulitan
mencari penggali kubur. 

Sekarang, setelah perdamaian berhasil dicapai, suasana di desa ini
menjadi jauh lebih tenang dan wargapun tidak lagi dihinggapi rasa
ketakutan. Pemuda-pemuda desa ini yang dulu melarikan diri telah
kembali ke kampungnya dan Desa Waqpun kembali ramai.

Suasana tenang dan damai tanpa rasa was-was dan ketkutan itu dapat
saya rasakan sendiri ketika proses wawancara ini berlangsung.
Wawancara ini saya lakukan sekitar jam 12 malam dalam dinginnya udara
pegunungan, di dapur bertiang bambu dan beratap seng yang terbuka
tanpa dinding yang khusus dibuat untuk pesta pernikahan yang saya
hadiri ini. Di dapur yang terletak tepat di tepi kebun kopi di bagian
belakang rumah ini. Saya bersama sekitar sepuluhan pemuda Desa Waq
yang semuanya (termasuk saya) menutupi tubuh dengan kain sarung,
berdiang menghangatkan badan di depan tungku,  mengobrol sambil minum
kopi. 

Pemuda-pemuda Desa Waq yang saya ajak mengobrol itu menceritakan
dengan gamblang bagaimana pengalaman mereka menyelamatkan diri semasa
konflik. Ada yang selamat kerena sempat menjatuhkan diri ke dalam
jurang ketika sedang dikejar aparat. Ada yang sempat lari ke luar
dalam mobil pick up dengan menyembunyikan diri di bawah tumpukan sayur
dan macam-macam pengakuan lagi. 

Mendengar pengakuan mereka dan cara mereka menyelamatkan diri saya
mendapat gambaran kalau pada masa konflik yang belum terlalu lama
terjadi itu tentu tidak sedikit teman-teman mereka yang tewas menjadi
korban. Ketika perihal itu saya tanyakan. Seorang pemuda yang duduk
paling dekat dengan tungku menyebutkan beberapa nama. "Subhan,
Azhari..." katanya menyebut nama-nama temannya yang tewas sambil
menggunakan jari tangannya untuk menghitung. Dia menyebutkan paling
tidak ada 20 orang temannya yang tewas saat itu. Beberapa diantaranya
sempat dia saksikan sendiri saat dijemput oleh aparat yang dibantu
oleh warga desa tetangganya dan dia sendiri pula yang mengambil
jenazah temannya itu tidak berapa lama berselang setelah diambil aparat. 

Dia menceritakan saat itu seorang temannya tertangkap dsi saiang hari.
Temannya itu dinaikkan ke mobil yang dipenuhi aparat dan warga desa
tetangga mereka. Melihat itu karena tahu apa yang akan terjadi kalau
temannya itu sempat dibawa. Dia bersama puluhan warga Desa waq yang
lain yang menyaksikan kejadian itu menghalang-halangi mobil aparat
yang akan membawa teman mereka ke suatu tempat itu. Tapi usaha mereka
tidak berhasil. "Biarkan kami lewat, teman kalian cuma sebentar kami
bawa", begitu kata si pemuda ini menirukan ucapan salah seorang aparat
yang membawa teman mereka waktu itu. 

Beberapa jam kemudian si aparat yang sama mendatangi mereka dan
mengatakan urusannya dengan teman mereka sudah selesai dan si aparat
menyuruh mereka menjemput temannya di sebuah tempat yang dia sebutkan.
Merekapun bergegas ke tempat yang disebutkan oleh si aparat tadi.
Ketika si pemuda yang saya wawancarai ini bersama beberapa warga Desa
Waq lainnya sampai di tempat yang disebut si aparat. Mereka menemukan
teman mereka yang tadi mesih segar saat dibawa dalam mobil sekarang
sudah menjadi mayat dengan perut terbelah dan usus terburai.

Dari cerita-cerita yang saya dapatkan dari semua warga Desa waq yang
sempat saya ajak ngobrol. Secara umum, pada masa itu orang-orang suku
Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq bisa dikatakan
semuanya bersikap arogan dan menunjukkan rasa permusuhan terhadap
orang Gayo. Sehingga ada kesan konflik yang sebenarnya konflik
vertikal ini telah berevolusi menjadi konflik antar etnis. 

Tapi menurut pemuda warga Desa Waq yang saya wawancarai ini anggapan
tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Karena meskipun secara umum pada
masa konflik itu sikap orang Jawa yang tinggal di desa-desa di
sekeliling Desa waq terhadap orang Gayo adalah seperti yang saya
gambarkan di atas. Tapi ada juga sekelompok orang suku Jawa yang juga
tinggal bertetangga dengan Desa Waq yang tetap menunjukkan sikap
bersahabat terhadap orang Gayo. 

Orang-orang Jawa ini bahkan beberapa kali membantu menyembunyikan dan
menyelamatkan Orang Gayo yang sedang dicari dan diburu oleh orang Jawa
dari desa lain. Pemuda yang saya wawancarai ini adalah salah satu
saksi hidup peristiwa seperti itu. Dia bercerita kalau waktu itu dia
sedang dikejar oleh aparat bersama orang-orang suku Jawa bersenjata
rakitan sampai satu saat dia  terpojok. Saat dia terpojok itu, dia
bertemu dengan orang Jawa yang kebunnya berbatasan dengan kebun
miliknya. Melihat situasi seperti itu. Oleh tetangganya yang orang
Jawa ini dia disembunyikan di salah satu kolong dapur di rumah kebun
milik tetangganya itu. Ketika aparat dan orang-orang Jawa yang
mengejarnya bertemu dengan orang Jawa tetangganya ini. Si Tetangga ini
mengatakan kalau si pemuda Gayo ini lari ke arah sungai. Aparat dan
orang-orang suku jawa bersenjata rakitan yang memburunya mengejar ke
arah yang ditunjukkan oleh si orang Jawa yang menyembunyikannya dan
dia pun selamat.

Menurut si pemuda yang diselamatkan oleh orang Jawa tetangganya ini.
Orang Jawa yang bersikap baik pada orang Gayo ini adalah warga Desa
Geresek yang langsung berbatasan dengan Desa Waq. Masih menurut si
pemuda yang saya wawancarai ini. Sebenarnya desa Geresek dibagi dua.
Kedua desa Geresek itu dibatasi oleh sebuah alur sungai kecil. Satu
bagian berbatasan langsung dengan Desa Waq, satu bagian lagi di sisi
sungai bagian lain. Orang-orang Jawa yang tinggal di bagian Desa
Geresek di sisi sungai dekat Desa Waq inilah yang bersikap bersahabat
itu. Sementara warga desa Geresek di sebelah lain alur sungai
sebaliknya sangat membenci warga Desa Waq karena dari desa inilah
kedua orang Jawa yang ditemukan meninggal seperti yang saya ceritakan
di atas berasal.

Sikap bersahabat orang Jawa dan Orang Gayo ini bisa saya saksikan
sendiri pula pada malam itu di saat kami sedang mengobrol di dapur
ini. Di saat kami sedang asyik mengobrol. Dari dalam kebun kopi yang
gelap seorang pemuda suku Jawa datang. Dia masuk ke dapur, mencari
tempat duduk lalu dengan santai ikut bergabung, mengobrol dan berdiang
di dekat tungku bersama kami. Pemuda yang baru datang ini saya kenali
sebagai suku Jawa karena ketika berbicara dalam bahasa Gayo, saya
mendengar ada tekanan yang sangat khas Jawa pada pengucapan huruf 'P'
dan 'B' dalam setiap kata yang dia ucapkan.

Sekarang setelah konflik berlalu. Seperti yang saya gambarkan di atas,
orang Gayo warga Desa Waq tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap
suku Jawa tetangga mereka yang dulu pada masa konflik juga menunjukkan
sikap bersahabat kepada mereka. Tapi tidak demikian halnya pada
orang-orang suku Jawa yang di masa konflik dulu menindas dan menzalimi
mereka.

Pada masa damai ini, para pemuda yang dulu diburu dan dijadikan
sasaran kekerasan oleh orang-orang suku Jawa tetangganya ini kembali
bertemu dengan orang-orang yang dulu ikut memburu dan menyiksa mereka.
Perjumpaan ini seringkali tidak bisa dihindari karena beberapa desa
yang dihuni suku Jawa tersebut hanya memiliki akses jalan melalui Desa
Waq untuk bisa mencapai kota-kota terdekat. Jadi intensitas pertemuan
mereka cukup sering terjadi.

Beberapa dari pemuda desa Waq yang saya wawancarai ini sangat
mengenali orang-orang suku jawa tetangga mereka yang semasa konflik
dulu ikut memukulinya, bahkan membunuh teman dan saudaranya. Dan
sekarang sering melintas di desa mereka.

Ketika pertemuan semacam itu terjadi. Menurut pemuda yang saya
wawancarai ini, biasanya orang Jawa yang dulu memburu mereka itu
selalu menundukkan kepala berusaha menyembunyikan wajah. Tampak sekali
kalau mereka merasa was-was dan ketakutan. 
 
Sepertinya rasa was-was dan ketakutan yang dialami oleh orang-orang
suku Jawa yang dulu berlaku semena-mena terhadap orang Gayo adalah
karena sekarang setelah perdamaian berhasil dicapai. Mereka merasa di
posisi yang lemah. Aparat keamanan non organik yang dulu ditempatkan
di desa mereka. Sesuai dengan amanat MoU Helsinki sekarang sudah
ditarik.Sekarang mereka merasa telah kehilangan pelindung. Sepertinya
dalam diri mereka mulai muncul rasa takut kalau-kalau warga desa Waq
yang dulu mereka tindas dan mereka perlakukan semena-mena akan
membalas dendam. Apalagi ketika mereka melewati Desa Waq, para pemuda
desa ini seringkali memandangi mereka dengan pandangan sinis dan sikap
 menantang. Ketakutan dan rasa was-was merekapun semakin menjadi-jadi. 

Tapi untungnya sejauh ini selama masa damai tidak pernah terjadi
bentrok antar kelompok etnis yang berbeda ini. Sejauh ini selama masa
damai, bentrokan terbuka tidak pernah terjadi karena saya melihat
warga Desa Waq yang dulu sangat menderita akibat ulah orang-orang suku
Jawa tetangga mereka itu tidak berani gegabah membalas perlakuan yang
mereka terima dulu. Ada kesan yang saya dapatkan kalau warga Desa Waq
ini begitu trauma dengan konflik yang dulu sempat terjadi di desa
mereka. Sehingga ada kekhawatiran dalam diri warga Desa Waq kalau
mereka membalas dendam hal itu akan kembali dijadikan alasan untuk
mengundang kehadiran aparat ke desa-desa tetangga mereka.

Begitulah gambaran yang saya dapatkan mengenai keadaan desa Waq yang
posisinya sangat unik ini, dalam tulisan berikutnya saya akan
menceritakan pandangan warga desa ini tentang ide pembentukan provinsi
ALA. Dan di lain waktu saya akan menuliskan pula pengalaman saya
mengunjungi desa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari Desa Waq
yang berkebalikan dengan Desa waq yang merasa terancam dengan
keberadaan aparat TNI, desa ini justru merasa terancam dengan
keberadaan GAM.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

Kirim email ke