Jika para ekspat orang tua teman-teman anakku mengeluhkan mentalitas
para pembantu Indonesia yang bekerja pada mereka. Hal sebaliknya
terjadi pada keluarga kaya Indonesia baik itu orang kaya lama yang
turun temurun  bermental feodal atau orang kaya baru yang biasanya
selalu ditindas dan dilecehkan kaget tiba-tiba jadi kaya. Dari banyak
tipe orang kaya di Indonesia yang pernah saya temui, tipe terakhir ini
biasanya adalah tipe yang paling menyebalkan. Karena biasanya sikap
orang kaya tipe ini lebih feodal dari keluarga feodal yang memang
sudah feodal turun temurun.

Dalam keluarga orang kaya bermental feodal, biasanya pengasuhan anak
diserahkan sepenuhnya kepada pembantu entah itu yang tidak berseragam
atau  yang berseragam yang merasa diri lebih keren dari teman
sejawatnya serta lebih suka dijuluki dengan istilah berbahasa asing
'baby sitter'.

Anak orang kaya bermental feodal yang semasa kecil diasuh oleh
pembantu ini biasanya kemudian tumbuh  dan besar menjadi anak-anak
yang keras kepala dan egois. Anak-anak ini sampai dewasanya biasanya
juga susah sekali mengaku salah apalagi meminta maaf.  Sifat khas
seperti ini muncul bukanlah karena kesalahan si anak tapi karena orang
dewasa yang mengasuhnya. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh seperti
ini sejak kecil sebenarnya sedang dilatih untuk menjadi pribadi yang
menyebalkan.

Metode latihannya misalkan jika si anak melakukan kesalahan. Orang
dewasa yang ada di sekitar si anak tidak mengajarkannya untuk belajar
dari kesalahan yang baru dia buat. Malah mencarikan kambing hitam buat
disalahkan. 

Contoh umum kejadian seperti ini yang saya lihat di setiap keluarga
yang memiliki anak kecil. Paling gampang dilihat misalnya ketika
seorang anak terjatuh di lantai akibat kesalahannya sendiri. Oleh
orang dewasa di dekatnya yang biasanya pembantu, si anak bukannya
diajari untuk berhati-hati dan menjadikan apa yang baru dialaminya
sebagai pengalaman tapi malah lantainya yang dipukuli dan disalahkan.
Begitu umumnya kejadian seperti ini di setiap keluarga Indonesia
sampai-sampai seorang Anggun C. Sasmi, penyanyi internasional asal
Indonesia yang sudah bertahun-tahun tinggal di luar negeripun masih
menerapkan metode pendidikan anak khas Indonesia ini pada anaknya.
Jadi tidak usah heranlah jika sekarang orang Indonesia termasuk
pejabat-pejabatnya susah sekali mengakui kesalahan dan selalu mencari
kambing hitam atas semua kesalahan yang mereka buat.  

Masalah lain yang sering dialami oleh anak-anak di rumah adalah
Televisi. Saya membaca  di berbagai media ada banyak orang tua yang
mengeluh tentang kualitas acara televisi di Indonesia. Banyak yang
mengeluh acara televisi merusak perkembangan anak dan lain sebagainya.
Menyalahkan para Punjabi dan cukong-cukong India lain yang mencari
nafkah dengan menjadi produser berbagai sinetron sebagai tidak
nasionalis dan lain sebagainya.

Sekolah Montessori sangat tidak menganjurkan anak-anak yang berumur di
bawah 6 tahun untuk menonton televisi meskipun itu acara yang ditonton
itu adalah acara-acara TV yang mendidik semacam Sesame Street atau
Little Einstein. Jika ini saja tidak dianjurkan apalagi game-game
komputer semacam playstation tentu lebih tidak boleh lagi.

Alasan sekolah Montessori tidak menganjurkan menonton televisi bahkan
untuk acara semacam Sesame Street dan Little Einstein adalah karena
meskipun acara semacam itu mendidik, tapi menonton acara semacam itu
membuat anak menjadi pasif. Tubuh mereka tidak bergerak,   mereka
tidak melatih perangkat motoriknya. Di samping itu efek buruk lain
yang didapatkan anak-anak yang kecanduan televisi di usia yang terlalu
dini ini adalah mereka memiliki kecenderungan mencampuradukkan
kenyataan dan fiksi. Berlari, naik sepeda, melompat-lompat di atas
tempat tidur atau Sofa jauh lebih bermanfaat bagi anak-anak
dibandingkan menonton TV. Karena itulah  sekarang TV di rumahku sama
sekali tidak pernah lagi kami nyalakan. 

Sebagai pengganti nonton TV, anakku yang tampaknya mewarisi bakat
melukis dariku kubelikan kertas, spidol, cat air dan krayon. Sehingga
sekarang melukis itulah aktivitas favoritnya. Setiap dia bosan
melakukan aktivitas apapun, yang dia cari selau kertas dan spidol.
Kemudian setiap sore anakku ditemani istriku main ke lapangan di
kompleks perumahan tempat kami tinggal. Di sana istriku mengajarinya
memanjat pohon mangga. Tiga kali seminggu di lapangan ini ada latihan
Tae Kwon Do, jadi tiap kali di lapangan ini ada latihan anakku juga
ikut-ikutan berlatih dengan anggota dojang lainnya.

Karena itu, berdasarkan alasan di atas. Menurutku keluhan dan tudingan
para orang tua pada para produser sinetron berdarah India adalah
keluhan dan tudingan yang sangat konyol dan salah alamat sebab solusi
untuk semua keluhan mereka bukan berada di tangan para produser itu.
Tapi ada di diri para orang tua itu sendiri. Solusinya sangat
sederhana, matikan bahkan kalau perlu jual TV-nya. Habis Perkara. 

Mungkin untuk melaksanakan solusi ini sulit pada awalnya. Anak-anak
yang sudah terbiasa dengan televisi juga pasti akan protes. Tapi apa
yang harus diketahui oleh semua orang tua di dunia, anak-anak adalah
makhluk pembelajar terbaik di jagat raya. Ketika mereka melihat orang
tuanya tidak pernah menonton TV dan konsisten dengan sikap itu.
Kemudian anak-anak itu juga diberi alternatif aktivitas lain maka
anak-anak itu pasti akan segera melupakan televisi.

Jadi kesimpulannya,  kalau sekarang banyak anak-anak yang perilakunya
jadi aneh dan menyimpang karena Televisi, salahkanlah orang tuanya
bukan Punjabi, Parwez atau Soraya apalagi si Anak.

Wassalam

Win Wan Nur
www.winwannur.blogspot.com


Kirim email ke