Khmer Merah
"Penjagal" Itu Berkisah
KOMPAS.COM Rabu,  11 Agustus 2010 | 09:12 WIB
AP PHOTO/ELIZABETH  BECKER
Bocah-bocah Kamboja berjalan beriringan di dekat pertanian  kolektif pada masa 
pemerintahan Khmer Merah, Desember 1978. Anak-anak  dipisahkan dari orangtua 
dan 
sanak keluarga oleh rezim Khmer Merah yang  melarang adanya hubungan 
kekeluargaan. 

TERKAIT:
        * Duch,  Kepala Penjara Khmer Merah,  Divonis
        * Korban  Khmer Merah Menanti Keadilan
        * Khieu  Samphan Jalani Persidangan
KOMPAS.com — Selama lebih dari tiga dekade, desa-desa di Kamboja menjadi  
tempat 
tinggal para pembunuh diam: para mantan komandan Khmer Merah yang  membunuh 
ratusan, bahkan ribuan korban, lalu membuang jenazah-jenazah  ke kuburan 
dangkal.

Thet Sambath, pembuat film, melewatkan 10  tahun menyisir pedesaan mencoba 
untuk 
menemukan pembantai. Bersama  pemimpin ideologi rezim itu, Nuon Chea, mereka 
mengungkapkan kebenaran  mengenai salah satu dari babak tergelap abad ke-20.

Kisah-kisah  mereka diceritakan dalam film dokumenter Musuh Rakyat, yang  masih 
diputar terbatas di AS. Namun, akan makin banyak bioskop yang  menayangkannya.

Setidaknya 1,7 juta orang atau seperempat dari  jumlah penduduk tewas karena 
dieksekusi, penyakit, kelaparan, dan kerja  paksa ketika Khmer Merah yang 
ultrakomunis mencoba mengubah negara itu  menjadi sebuah firdaus pertanian yang 
luas tahun 1975-1979.

Dalam  film itu, Soun, seorang mantan komandan milisi, duduk di bawah sebatang  
pohon dan memandang lahan yang kini jadi hamparan sawah hijau. ”Saya  kembali 
ke 
sini, tempat saya pernah membunuh,” katanya. Dia menunjuk  beberapa tempat 
lokasi mayat-mayat menggembung bertumpukan. ”Saya  merasakan sesuatu yang 
sangat 
buruk.... Jiwa dan tubuh saya berputar.  Semua yang telah saya lakukan melintas 
cepat dan seolah nyata di  pikiran.”

Dia ingat bau darah di tangannya saat dia makan nasi  suatu malam. Sebelumnya, 
dia memandang ke mata seorang penjahit cantik  sembari memegang erat lutut, 
memohon untuk diselamatkan.

Soun  tergoda, lalu bertanya apakah penjahit cantik itu mau hidup dengannya  
selamanya. Perempuan itu cepat-cepat berjanji, tetapi ketika Soun  mendengar 
atasannya berteriak, ”Apa yang kau tunggu? Cepat!” Dia pun  langsung menikam 
tubuh perempuan itu dan....

Tak ada jalur  perintah

Soun membawa Thet yang berusia 42 tahun itu untuk  menemui para pembunuh lain, 
yang harus diyakinkan perlahan agar mengaku.  Mereka juga menemui pihak yang 
memerintahkan pembunuhan etnis minoritas  dan orang-orang yang dicurigai 
menjadi 
pengkhianat atau mata-mata  Vietnam.

Saat mereka menelusuri hierarki komando, menjadi jelas  bahwa kemungkinan tidak 
pernah ada sebuah ”perintah asli” dari lingkaran  Khmer Merah untuk pembantaian 
di pedesaan. Yang terjadi adalah para  pemimpin daerah dan pejabat-pejabat 
atasan mereka langsung  menginterpretasikan apa yang mereka dengar pada tingkat 
politik abstrak.

Khmer  Merah menghadapi pertikaian di dalam sejak awal. Dua pemimpin utama,  
Pol 
Pot yang meninggal tahun 1998 dan Nuon Chea yang menanti sidang di  mahkamah 
pengadilan perang, mendukung China. Namun, banyak pihak lain  yang memilih 
berteman dengan Vietnam.

Nuon Chea mengakui untuk  pertama kali bahwa dia dan Pol Pot sama-sama 
memutuskan untuk membunuh  semua anggota partai yang dianggap musuh-musuh 
rakyat. ”Mereka harus  dihancurkan,” katanya untuk menyelamatkan partai. Namun, 
dia mengatakan  tidak menyadari atau terlalu sibuk untuk peduli soal apa yang 
terjadi di  desa-desa.

Perjalanan itu merupakan perjalanan pribadi bagi  Thet, seorang reporter senior 
dari surat kabar Phnom Penh Post.

Ketika  dia kanak-kanak, ayahnya ditikam sampai tewas setelah sebuah rapat yang 
 
diadakan kader Khmer Merah. Saat itu dia keberatan atas rencana  penyitaan 
ternak, emas, dan properti pribadi demi partai. Ibunya dipaksa  menikahi 
seorang 
anggota milisi Khmer Merah dan tak lama setelah itu  hamil dan meninggal saat 
melahirkan. Adiknya juga tewas.

Thet  berpikir bahwa menemukan orang-orang yang ambil bagian dalam sebagian  
pembantaian itu akan membantunya untuk mengerti dan menjadi sembuh.  Mereka 
yang 
membuka diri padanya sepertinya juga mendapat manfaat. ”Saya  ingin 
mengungkapkan semua pembunuh yang saya kenal,” kata Soun. ”Ketika  kita 
menemukan mereka dan mengakui semuanya, saya merasa lebih tenang.”

Perlu  bertahun-tahun bagi Thet mendapatkan kepercayaan Nuon. Mereka berdua  
membentuk sebuah ikatan kuat. (AP/DI)
Editor: aegi                                    |                               
     
Sumber : Kompas Cetak  Dibaca : 2806 

Sent  from Indosat BlackBerry powered by  

Kirim email ke