Ruang Putih 
[ JAWA POS Minggu, 08 Agustus 2010 ] 
Perang Sastra di Kandang Buaya 
Situasi sastra di Jatim terkini bergerak dalam tarikan krusial  yang kian 
menyedot huru-hara tak berujung dan meruncing. Hal ini  berawal saat Komunitas 
Salihara Jakarta mengundang enam sastrawan Jatim.  Mereka adalah S. Yoga, Timur 
Budi Raja, Indra Tjahyadi, A. Muttaqien,  Mardi Luhung, dan Steffany Irawan. 
Acara itu berlangsung pada 14 Juli  2010 di markas Salihara dengan tajuk 
diskusi 
''Sastra Indonesia Mutakhir  Jawa Timur''. Di media Facebook agenda itu juga 
diunggah dan  direspons. Reaksi pun meruyak. Ada tanggapan yang biasa-biasa 
saja,  dingin, bising di kepala, juga ada yang sinis. Misalnya, nongol  
komentar, ''Eh, mau jualan kambing ya di sana..." dan  bla-bla-bla. Esai 
kuratorial Arif B. Prasetya tentang itu dia kirim dan  ditayangkan di Jawa Pos 
(25/7/2010) lalu ditanggapi W. Haryanto  (1/8/2010) yang menyorot politisasi 
sastra dan sentralisasi sastra Jatim  oleh pihak Jakarta. 


Lha, Jakarta ini  didefinisikan sebagai apa dan siapa yang berkepentingan lebih 
politis di  dalamnya? TUK dengan gerombolannya versus sastra Jatim atau 
keduanya  
berkolaborasi membikin arus sastra sendiri dan menenggelamkan wilayah  riil 
sastra yang lain? Atau benarkah terjadi agresi DKJ (Dewan Kesenian  Jakarta) 
dalam mengotak-atik sejarah sastra Jatim seperti yang disebut  W. Haryanto 
dengan penghapusan sejumlah pengarang serta kapling-kapling  pilihan estetik 
mereka? Ini seperti gerak ''lempar batu sembunyi saling  tahu'' antara yang 
dilawan dan yang melawan, ataukah hanya indikasi  krisis identitas 
kepengarangan 
yang tersamar, dalam hiruk percepatan  isu, kasak-kusuk sastra, sampai 
cas-cis-cusnya lewat berbagai media?

Kompor Tersulut 

Politik sastra, apa pun bentuknya, dan upaya  pemetaan sastra Jatim sebagaimana 
yang terlalu sering digembar-gemborkan  oleh semacam dewan kesenian, padahal 
kenyataannya hanyalah omong  kosong, jika ikhtiar itu sekadar diwujudkan dalam 
bentuk antologi puisi,  misalnya. Maka tudingan miring W. Haryanto atas DKJT 
(Dewan Kesenian  Jawa Timur) yang menerbitkan buku Pesta Penyair (2009) harus  
dilihat sebagai bukan usaha pemetaan atau penyortiran penyair-penyair  pilihan 
yang diklaim bermutu. Sorotan urgen adalah bagaimana membaca  pola kerja DKJT 
dalam mengurusi kesenian (sastra) dan mau turun ke  lapangan menyusuri denyut 
komunitas-komunitas sastra atau  penulis-penulis yang bersemai di 38 kota dan 
kabupaten di Jatim. Jelas  ini butuh keringat lebih. Dan, si penuding 
ketidakberesan kerja DKJT ya  percuma saja dan bisa lain perkara. Politik 
dagang 
kambing atau ''dagang  sastra'' di wilayah yang lebih luas ''dagang kesenian'', 
sudah lazim  terjadi dan begitulah praktiknya. Seniman atau pertunjukan 
kesenian  
kerap dijadikan ''ganjal'' untuk kepentingan politik praktis. Banyak  dewan 
kesenian yang tidak sepi dari pertelingkahan dan pembusukan macam  itu.

Karena itu, soal pemetaan sastra tidak cukup  mengunduh lalu mengolah informasi 
dari pejabat DKJT, redaktur koran,  ataupun kliping-kliping sastra. Tilikan 
historis, kronik situasi sosial,  periodisasi, data tokoh-tokoh penggerak di 
dalamnya, hingga ritual  sastra yang permanen sampai yang eksidentil harus 
menjadi kajian pula.  Sebab, yang dinamakan ''pemetaan'' adalah riset intensif, 
mendalam,  upaya pembandingan, dan paham betul kenyataan di lapangan. Pemetaan  
harus mencari bahan dari yang kualitatif sampai yang kuantitatif. Tanpa  bahan, 
atau bahan yang minim, mana mungkin bisa memetakannya. 


Jadi, tulisan Arif B. Prasetya di Jawa Pos yang  berlambar ''Jawa Timur Negeri 
Puisi" itu barangkali semata untuk hajatan  Salihara yang sifatnya even. Alasan 
Arif memilih enam sastrawan Jatim  mutakhir itu: ''Karya mereka saya nilai 
representatif untuk menampilkan  sketsa perkembangan sastra Indonesia di Jawa 
Timur kiwari. Namun, selain  soal kemutakhiran belaka, perkara intensitas 
kreatif, pencapaian  estetik, dan kematangan pengucapan menjadi poin penting 
yang menentukan  terpilihnya mereka sebagai wakil Jawa Timur di forum ini." 


Namanya juga kendurenan, alasan Arif tersebut sah-sah  saja. Dan, W. Haryanto 
tak perlu kobongan jenggot, malah  tanggapannya agak melenceng ke wilayah 
problem internal DKJT. Ini makin  bikin panas atau dia sengaja menyoal 
ketidakbecusan lembaga tersebut.  Sebagai kritik, itu baik dan korektif. Tapi, 
kritik yang dipersepsi  negatif bisa jadi ''kompor mbleduk''. Ini angin 
(isu-isu 
sensitif) yang  sengaja diembuskan atau berembus sendiri? Ataukah justru dia 
hendak  menggelontorkan ''perang'' TUK vs sastra Jatim? Wah, bisa jadi  perang 
jilid kedua antar ''Boemipoetra'' Saut Situmorang melawan  ''TUKulisme'' ini!

Lamunan Pemetaan Sastra Jatim 

Perseliweran dialektika sastra di wilayah luar  kekaryaan di Jatim nyata-nyata 
menjadi penyakit tersendiri yang juga  mengimbas pada dangkalnya sejumlah 
tampilan wacana kesastraan atau even  sastra yang digelar DKJT dan 
lembaga-lembaga kampus terkait sebagai  jejaringnya. Misalnya, diskusi pada 20 
Juli lalu di kampus Unair yang  menggelindingkan tema Arah dan Perkembangan 
Sastra Jawa Timur.  Tiga penelaah dihadirkan: Afrizal Malna (Geopolitik Sastra 
Jawa  Timur: Identitas dan Tubuh yang Dilepaskan dari Bahasa), Tjahjono  
Widijanto (Meraba-raba Arah Perkembangan Warna Estetika Puisi Jawa  Timur), dan 
Nu'man Zeus Anggara (Sekali Lagi Masa Depan Sastra  Jawa Timur). Coba Anda 
cermati tema dan dua judul dari dua pengulas  terakhir. Terkesan genit dan 
memang paparannya sebagaimana esai sastra  pada umumnya yang sekadar 
referensial, bukan hasil riset. Dari tema dan  judul demikian, seakan-akan 
sastra Jatim sangat mendesak dibeberkan  petanya hingga perlu peramal dan 
diramal-ramalkan! Seperti ada penyakit  ganas berbentuk ''watak anak jajahan'' 
dan ''gampang amuk'' yang teramat  ''halus'' yang diwariskan Untung Suropati 
dan 
Trunojoyo dalam melawan  Kompeni. Di sela-sela obrolan seusai diskusi itu, 
Afrizal sambil  menyupiti pangsitnya sempat bertanya kepada saya, ''Tadi 
diskusinya kok  nggak bunyi ya?''

Surabaya ''Sisifus Gila'' 

Beberapa penggawa sastra Jatim seolah menanggung  beban psikologis yang akut, 
latah, dan kekanak-kanakan (melebihi Sisifus  gila) yang dihajar kalut bahwa 
diri mereka dan kelokalan  ''Surabaya"-nya itu suram ditilap zaman dan khawatir 
tak mendapat tempat  dalam sejarah sastra Indonesia. Istilah ''berpikir ala 
Jakarta'' yang  dialamatkan W. Haryanto kepada sejumlah orang yang disasarnya 
juga  mengindikasikan bahwa model karya-karya mereka yang berbau-bau (tapi W  
menyebutnya dengan ''menjiplak'') Goenawan Muhammad, Sitok Srengenge,  dan 
Sapardi Djoko Damono. Pola pikir penulis puisi yang terjangkiti  sindrom ''anak 
jajahan", minder tapi narsis, serta mengidap chauvinisme  parah terlihat pada 
penyair A.F. Tuasikal. Dia menulis esai yang  dipajang di Facebook-nya pada 
pertengahan Juli ini: ''Surabaya  Kota tanpa Penyair''. 


Di awal tulisan tersebut,  Tuasikal menulis begini: ''Kita tahu bahwa Surabaya 
adalah kota terbesar  kedua setelah Jakarta di negeri tercinta Republik 
Indonesia ini. Tapi,  kini apalah arti sebuah kota besar bila tanpa atau tak 
ada 
penyairnya  yang menjaga tradisi dan kekhasan kotanya. Yang saya maksudkan di 
sini  bahwa Kota Surabaya kini hanya melahirkan para penyair dari luar kota,  
tidak melahirkan penyair dari kotanya sendiri." 


Jelas,  dia tidak ngomong soal karya, tapi tentang tanah, urbanisasi, lapangan  
kerja, godaan gemerlap kota, krisis identitas, yang pastinya ahistoris  dan 
tidak menilik Kota Surabaya sebagai ''sejarah sosial-politik yang  terus 
bergerak". Padahal, dia penyair asal Mojokerto. Namun, esainya  tersebut jadi 
''kue gurih" yang dikerubuti hingga mencapai seratusan  penanggap: ada Nuruddin 
Asyhadie, Ragil Sukriwul, W. Haryanto, Saut  Situmorang, Umar Fauzi Ballah, 
Sihar Ramses Simatupang, Halim H.D.,  Thendra Malako Sutan, Mashuri 
Alhamdulillah, Diana A.V. Sasa, Imam  Muhtarom, dan lain-lain. Jadi, aneh bukan 
si Tuasikal ini? 


Tuasikal juga menyebut bahwa, ''penyair-penyair yang terlahir  di Surabaya kini 
cenderung pragmatis terhadap mainstream yang  berbiak di Jakarta." Begitu besar 
persoalan yang mengerami hidupnya, dan  ini akan memerosotkan kerja kreatifnya. 
Rata-rata para penanggap itu  memang menyerang ''Jakarta". Gundukan beban ini 
makin mengawang-awang.  Isu dan persoalan-persoalan kota, perubahannya, gerak 
pembangunannya,  juga memengaruhi diri para penyair Jatim. Komentar Halim H.D. 
di esai  Tuasikal itu cukup mengena: ''Surabaya, kota kedua terbesar di  
Nusantara. Jatim, provinsi terbesar di Nusantara. Surabaya memiliki  gempita 
kepahlawanan. Surabaya serta Jatim memiliki sorak sorai  ''kebudayaan arek''. 
Jatim juga menjadi populasi terbesar kaum  Nahdliyin.... dan Jatim juga selalu  
menepuk sebagai wilayah di mana Majapahit menjadi miliknya. Dari Jatim  juga 
ada 
suara tentang kebudayaan panji sebagai miliknya. Begitu banyak  beban nilai dan 
sejarah bagi Surabaya dan Jatim. Aneh bin ajaib, kenapa  pula pemetaan teater, 
sastra, selalu saja meminta pihak lain untuk  memberikan validitasnya."

Dinamika sastra kita, dalam hal ini di Jatim, mengalami  percepatan yang luar 
biasa hingga kuasa menginstruksi wilayah privasi  beserta eksesnya. Media 
Facebook dan yang sejenisnya menjelma  menjadi medan gagasan, bahkan yang 
bermuatan ideologis, mulai ''gosip  sastra" yang remeh-temeh, caci-makian, 
obral 
aib, proyek pemetaan sastra  yang sekadar ''upacara", hingga perang antarkubu 
sastra Jatim dengan  hegemoni sastra Jakarta di atas.  


Selamat merayakannya! (*) 

*) Fahrudin Nasrulloh, cerpenis dan pegiat Komunitas Lembah Pring  Jombang   




  
 
Pengetahuan  Penting Dalam Sepekan 

________________________________
 
 
Negeri  Fabel 

________________________________
 
        * Pengetahuan Penting dalam Sepekan  
        * Orang Jawa di Suriname 120 Tahun Lalu  
        * Negeri Fabel  
        * Teror(isme) Negara dalam Novel Indonesia  
        * Jatim Tidak Butuh Perspektif Jakarta  
        * Reality Show di Seputar Presiden  
        * Eksploitasi Sunyi Toto Nugroho  
        * Jawa Timur Negeri Puisi  
        * Membaca Rupa  
        * Malaikat Bernama Armagedon  


Kirim email ke