Di ujung Timor. Pada tapal-tapal keraguan, kata menyapa seolah
runtuhan serbuk cendana. Wangi tapi hampa. Begitupun waktu, beringsut
mengikut kaki yang semalam lunglai saat bir dan anggur menumbuhkan
senja.

Tabarak. Diberkati kau yang dapat memanjat sirih dan bermuka pinang,
sebab tak tertumpah lagi darah setelah semalam lidah-lidah api melahap
baju kita yang kuyup. Bertelanjang dada. Menyapu tubuh dengah hujan
yang tumpah. Lalu saat fajar kembali menyapa, kau telah alpa. Kau
tebaskan lagi klewang dan penjal-penjal gongseng.

Engkaukah Meo Kaliduk? Pahlawan gagah berbadan batu yang tak mempan segala 
tajam?
.....................................................
klik disini untuk membaca 
kelanjutannya:http://www.kolomkita.com/2008/12/28/atambua/



      

Kirim email ke