Berita
                
                    
                    04 agustus 2009 09:00Temu Sastrawan Indonesia II Kurang 
Sambutan    Pangkalpinang, Babel - Pertanyaan  tentang sejauh mana kontribusi 
perhelatan akbar Temu  Sastrawan Indonesia (TSI) II 2009 untuk menggaungkan 
sastra
lokal (Bangka Belitung) selaku tuan rumah akhirnya terjawab sudah.
Sebanyak 16 orang narasumber yang terdiri dari sastrawan ternama,
kritikus dan peneliti sastra Indonesia tersebut, hanya melemparkan
wacana-wacana teoritis tanpa diperkuat dengan rekomendasi nyata tentang
kebangunan sastra lokal di ranah nasional. "Kita akhirnya betul-betul
menjadi penonton. Hanya nilai-nilai normatif (silaturrahmi) yang dapat
kita petik. Sementara nilai intelektualitas tentang bagaimana membangun
sastra lokal agar lebih gemilang di tingkat nasional, tidak terasa kita
dapatkan," ungkap sesepuh adat sekaligus pegiat budaya dan sastra
Bangka Belitung, Suhaimi Sulaiman, usai mengikuti Forum Dialog dan
Apresiasi Sastra di Gedung Diklat Provinsi Babel, Sabtu (1/8).     Hampir
semua narasumber, kata Suhaimi, hanya melemparkan wacana bersifat teori
tanpa memberikan kontribusi atau jalan keluar yang nyata bagaimana
membangun dunia sastra lokal agar lebih diperhitungkan di tataran
nasional. "Kontribusi seperti ini yang sebenarnya kita harapkan muncul.
Kalau hanya sekadar teori barangkali dapat kita pelajari dari
buku-buku," tandas Suhaimi. Suhaimi mengakui, dari sisi serimonial, TSI
II 2009 yang mengusungkan tema Sastra Indonesia Pascakolonial, sangat sukses 
dan  meriah.     "Kawan-kawan
yang terlibat di panitia, termasuk pihak Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata, saya pikir sudah memberikan kontribusi yang besar terhadap
meriahnya kegiatan ini. Rasa dahaga untuk bertemu kawan-kawan sastrawan
ternama dari pelosok tanah air terasa terlampiaskan," kata Suhaimi
seraya menyarankan, agar TSI di masa yang akan datang selain menekankan
pentingnya nilai silaturrahim, juga hendaknya memperhitungkan
rekomendasi tentang sastra lokal agar lebih menggeliat lagi. "Khususnya
bagi tuan rumah, setidaknya even TSI meninggalkan benih intelektualitas
untuk disemai agar kelak berbuah lebat dan dapat dipetik oleh sastrawan
lokal serta masyarakat sebagai modal memajukan sastra lokal kita,"
papar Suhaimi.    Perumusan Tema    Radhar
Panca Dahana, salah seorang narasumber Dialog dan Apresiasi Sastra TSI
II 2009 mengungkapkan, tidak terpenuhinya harapan kawan-kawan daerah
mengenai kontribusi yang dilahirkan dari TSI II, pada dasarnya bukan
terletak pada kesalahan materi yang disampaikan. Menurut Radhar,
persoalannya terletak pada perumusan tema yang disuguhkan oleh pihak
panitia penyelenggara. "Jauh-jauh hari kita sudah disodorkan untuk
berbicara tentang Sastra Indonesia Pascakolonial sebagaimana tema TSI
II. Ya, otomatis kita akan berbicara tentang tema, menterjemahkannya
sesuai konteks yang disodorkan kepada kita," kata Radhar.    Kendati
demikian, kata dia, dalam ruang tanya jawab, beberapa peserta ada yang
mempertanyakan masalah sastra lokal dan kaitannya dengan persoalan
sastra secara nasional saat ini. "Jawaban yang disampaikan oleh para
narasumber, mungkin memang agar terbatas dan tidak terlalu dikupas
tuntas, mengingat pertanyaan-pertanyaan tersebut lepas begitu saja dari
paparan makalah," ujarnya.    Lebih
lanjut dikatakan Radhar, dalam konstalasi sastra nasional saat ini,
peran sastra lokal sudah cukup baik dan bagus. "Jadi saya pikir,
kreativitasnya saja yang lebih perlu ditingkatkan. Dari sisi kualitas
sudah amat baik. Yang penting terus saja untuk berkarya, jangan pernah
ada kata berhenti. Kemajuan atau upaya membangun lebih gemilang sastra
lokal, tentunya tidak mutlak harus melalui kegiatan seperti TSI ini,"
jelas Radhar. Ditanya bagaimana sejauh ini kontribusi sastra lokal,
khususnya Bangka Belitung dalam mewarnai sastra di tataran nasional,
Radhar mengaku belum melihat sesuatu yang dapat diandalkan dari kronik
sastra Babel untuk tanah air. "Saya belum melihat hal itu. Atau mungkin
terlepas dari perhatian saya tentang hal tersebut," ujarnya.    Sementara
pembicara dari Yayasan Lontar, Jhon McGlynn, menyatakan, tema yang
diusung dalam TSI II 2009 terkesan terlalu luas. "Mestinya ada
pengerucutan yang lebih kecil, misalnya diarahkan kepada konteks yang
lebih lokal, sehingga akan mampu menjawab tantangantantangan apa dan
jalan keluar yang bagaimana yang perlu dirumuskan untuk memberi jawaban
sebagaimana harapan kawankawan daerah. Kendati tidak berupa jawaban, ya
mungkin ada sejenis rekomendasi untuk dijadikan PR bersama," papar Jhon.    
Menurut
hemat Jhon, TSI II 2009 terkesan kurang mendapat perhatian masyarakat
luas. "Masyarakat tampaknya kurang memanfaatkan momen ini. Para pelajar
dan mahasiswa juga tidak terlihat antusiasnya. Saya tidak tahu persis
apa persoalannya, apa memang tidak dilibatkan ataukah karena tempat
penyelenggaraannya yang jauh dari pusat keramaian," tandas Jhon. Jhon
mengakui, sejak berada di Bangka Belitung tiga hari lalu, ia menangkap
suatu yang unik dan mestinya perlu diteliti lebih mendalam tentang
keunikan itu. "Khususnya dari segi bahasa, memiliki karakter yang
sangat unik dan tidak sama dengan masyarakat Melayu lainnya. Bangka
Belitung sebagai ranah Melayu, dalam benak saya saat ini, memiliki
suatu yang khas dan beda," terang Jhon.    Tidak
hanya jika dibandingkan dengan wilayah luar, lanjut Jhon, antara Bangka
dan Belitung saja memiliki perbedaan yang khas dan prinsifil. "Selama
anakanak pemeran Laskar Pelangi berada di Jakarta, saya sering
berkomunikasi dan memperhatikan masalah bahasa ini. Setelah beberapa
hari di Bangka, saya mencoba memperhatikan dan mendengar bahasa yang
digunakan oleh orangorang di sini (Bangka), dan ternyata sangat beda
dengan bahasa yang sering saya dengar dari anak-anak Belitung pemeran
Laskar Pelangi. Nah ini akan menjadi sesuatu yang unik untuk diteliti,"
paparnya.    Kurang Disambut    Terpisah,
Ketua TSI II 2009, Sunlie Thomas Alexander, selaku panitia,
mengungkapkan pihaknya jauhjauh hari telah memperkenalkan
penyelenggaraan TSI ini kepada masyarakat luas, termasuk pelajar,
mahasiswa bahkan guru dan dosen. "Tapi sayang mereka tidak memanfaatkan
momen ini. Padahal masalah undangan khususnya kepada perguruan tinggi
maupun pelajar, sudah kita sebarkan," terangnya.    Disinggung
mengenai persoalan tema yang dinilai terlalu luas dan terkesan
meninggalkan konteks lokal, Sunile menjelaskan, dengan tema itu
sebenarnya akan didapat pengetahuan yang sangat luas tentang sastra
Indonesia yang utuh sejak masa kolonial hingga saat ini. "Semuanya akan
bisa terbaca, baik dari sisi lokalitas maupun lingkup nasional,"
tandasnya.(gia)        Sumber: http://beta.bangkapos.com
Kredit Foto: http://www.byui.edu        


      Yahoo! Mail Kini Lebih Cepat dan Lebih Bersih. Rasakan bedanya sekarang! 
http://id.mail.yahoo.com

Kirim email ke