TELAT TERBIT EDISI SENI DAN POLITIK
Majalah MATAJENDELA Volume III Nomor 3/2008
Terbitan Taman Budaya Yogyakarta (TBY)
 
 Ah, Politik! Ah, Seni!
Setengah abad lalu, Pemimpin Besar Revolusi, Presiden pertama Republik 
Indonesia, Soekarno dengan lantang berujar: 
… Saudara-saudara melihat, bahwa dus tidak benar, kalau dikira bahwa kita hanja 
mengichtiarkan “sandang pangan” sadja. Demikian pula tidak benar, kalau orang 
mengira, bahwa karena fasal 3 program cabinet berbunji “melandjutkan 
perdjoangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik”, maka kita 
tidak akan mengambil pusing  hal imperialisme-imperialisme lain, misalnja 
imperialisme kebudajaan. Saja telah memberi instruksi kepada menteri-muda 
Pendidikan , Pengadjaran dan Kebudajaan untuk mengambil tindakan-tindakan 
dibidang kebudajan ini, untuk melindungi kebudajaan nasional dan mendjamin 
berkembangnja kebudajaan nasional.
Dan engkau, hai pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi, engkau jang tentunya anti 
imperialism ekonomi dan menentang imperialism ekonomi, engkau jang menentang 
imperialism politik,--kenapa dikalangan engkau banjak jang tidak menentang 
imperialism kebudajaan? Kenapa dikalangan engkau banjak jang masih 
rock-n-roll-rock’n-roll-an, dansi-dansian a la cha-cha-cha, music-musikan a la 
ngak-ngik-ngek gila-gilaan, dan lain-lain sebagianya lagi? Kenapa dikalangan 
engkau banjak jang gemar membatja tulisan-tulisan dari luaran, jang njata itu 
adalah imperialism kebudajaan? Pemerintah akan melindungi kebudajaan Nasional, 
tetapi engkau pemuda-pemudipun harus aktif ikut menentang imperialism 
kebudajaan, dan melindungi serta memperkembangkan kebudajaan Nasional! (Amanat 
Presiden Soekarno, Djakarta, 17 Agustus 1959)
Teks singkat yang kini terasa begitu “jadul” pada aspek frasa dan substansinya 
itu, jangan salah, pada kalanya telah menjadi perangkat penting yang 
legitimated bagi negara untuk memberangus kelompok-kelompok kesenian yang 
diasumsikan berseberangan dengan kepentingan negara atau pihak lain yang 
bersembunyi di ketiak Soekarno. Sejarah mencatat, beberapa bulan berikutnya 
grup band Koes Plus dihempaskan ke balik terali hotel prodeo karena dianggap 
menularkan “ideologi” ngak-ngik-ngek-ngok yang tak selurus bangunan rel 
ideologi yang diharapkan dan dibangun Soekarno.
Di kurun itu, percik-percik peristiwa kebudayaan telah menabalkan dengan tegas 
terbelahnya dua aliran utama di kalangan seniman kala itu. Ada aliran 
universalisme atau humanisme universal yang digawangi oleh seniman kubu 
Gelanggang, serta, di lain pihak, ada aliran realisme kreatif atau realisme 
sosialis yang didukung oleh seniman Lekra. Keduanya, beserta baku serang yang 
telah dilakukan mereka dalam pertarungan ideologi(s) itu, (seolah) telah 
menjadi legenda kebudayaan yang layak untuk sesekali dilihat, dipetakan 
kembali, dan dikontekstualisasikan kembali kini.
Konteks politislah yang senantiasa merebut perhatian dalam pembahasan ini. Seni 
dan politik (dalam satu kesatuan yang integratif) seolah merupakan dua wajah 
yang tak akan lekang untuk tidak dipisahkan satu sama lain. Perbincangannya 
tidak lagi sekadar melompat-lompat dalam oposisi biner sebagai celah sempit 
antara “seni otonom” yang “bersih” dan “seni bertendensi” yang “berlumur 
ekstra-estetika”. Banyak rongga di celah tubuh keduanya yang kian penuh 
kompleksitas, senyampang dengan laju progresivitas informasi, teknologi dan 
pergeseran sistem dan tata nilai kebudayaan.
Di tengah-tengah kita telah meruyak bagai rhizome yang menjalar ke segala arah: 
generasi MTV, masyarakat Coca Cola, publik Facebook, yang kian meneguhkan 
kuatnya perputaran globe tempat kita berpijak. Lalu, kalau kita tempatkan 
adagium ilmuwan politik Amerika Harold Lasswell (1902-1978) bahwa politics is 
who gets what, when, and how (politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan, dan 
bagaimana caranya),apakah seni termasuk di dalamnya sebagai perangkat atau 
pelengkap untuk politik? Apakah sebenarnya who itu telah berlaku setara, 
sejajar, hingga tak jelas posisi dan kepentinganya satu sama lain? Atau 
barangkali tepat rumusan guru besar politik UGM, Prof. DR. Mochtar Mas’ud, 
bahwa politik adalah who influent whom? Semuanya bisa berpotensi untuk 
berpengaruh, dan untuk apa saja pengaruh itu didistribusikan. Ah, politik! Ah, 
seni!
 
ARTIKEL ISI:
 
Fasisme di Panggung Sandiwara
OlehFandy Hutari, penulis sejarah, penyuka seni
 
Menyetubuhi Estetika, Politik Sastra, dan Apa pun Bersamaan...
OlehSatmoko Budi Santoso, cerpenis, Direktur Lembaga Pemberdayaan dan 
Kreativitas "Amarta Indonesia", Bantul, Yogyakarta
 
Seni dalam Masyaraat Indonesia
OlehAprinus Salam, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, pengamat 
masalah-masalah kebudayaan
 
"Nyucup"
OlehZen Rakhmat Sugito, penyair, tinggal di Yogyakarta
 
Perihal Ideologi dan Praktik Kebudayaan
OlehNurul Huda, alumnus pondok pesantren Al-Rasyid Kendal dan STF Driyarkara, 
Jakarta
 
Perilaku Politik Orang Madura
OlehAli Usman, mahasiswa Filsafat Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga 
Yogyakarta
 
Some Notes on My Two-and-a-Half-Months Stay in Yogya
OlehAmanda Fe Castillo Echevarria, a participant of the Indonesia Art and 
Culture Scholarships. Live in Philipina
 
Seksualitas dalam Cerpen Radhar: Inilah Seks yang Tidak Memuaskanmu
OlehGeger Riyanto, penulis, penggiat Bale Sastra Kecapi, alumnus Sosiologi 
FISIP Universitas Indonesia
 
The Tao of Mbah Marijan
Oleh Yohanes Sutopo, pengamat budaya, tinggal di Yogyakarta
  
Anda ingin mendapatkan majalah MATAJENDELA? Hubungi ibu Munika Utun Wijayati 
(pada jam kerja) di Taman Budaya Yogyakarta, Jalan Sriwedani No. 1 Yogyakarta 
55123, Telepon 0274-523512 dan 561914, atau lewat e-mail matajend...@yahoo.com 



      

Kirim email ke