Jika Persaksian Hilal Ditolak dalam Sidang Itsbat
20 Juli 2012

Satu kasus yang sering terjadi ketika pemutusan kapan berhari raya dan
memulai puasa. Di sebagian tempat ternyata melihat hilal seperti yang
sering terjadi di daerah Cakung, namun
di daerah lain bahkan mayoritasnya tidak tampak. Bagaimana jika ada yang 
melihat hilal, apakah ia tetap boleh berpuasa atau berhari raya?
Ataukah ia tidak boleh terang-terangan dalam hal tersebut?

Mengenai seseorang yang melihat hilal kemudian tertolak pendapatnya,
para ulama dalam permasalahan ini ada perbedaan pendapat apakah ia boleh
 tetap puasa atau berhari raya. Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

Pertama: Orang yang melihat hilal boleh berpuasa atau berhari raya
namun secara sembunyi-sembunyi (tidak terang-terangan) agar tidak
menyelisihi jama’ah kaum muslimin. Demikian pendapat Imam Syafi’i, salah
 satu pendapat dari Imam Ahmad dan menjadi pendapat Ibnu Hazm. Karena
Allah Ta’ala berfirman,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Karena itu, barangsiapa yang menyaksikan hilal, maka berpuasalah” (QS. Al 
Baqarah: 185).

Kedua: Berpuasa dengan hasil ru’yahnya, namun berhari raya dengan
mayoritas manusia. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan
yang masyhur dari Imam Ahmad.

Ketiga: Tidak mengamalkan hasil
pengamatan ru’yah. Maka ia berpuasa dan berhari raya bersama mayoritas
manusia. Demikian pendapat Imam Ahmad dan menjadi pilihan Syaikhul
Islam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ 
تُضَحُّونَ

“Puasa kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berpuasa. Idul Fithri
kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berhari raya Idul Fithri. Idul
Adha kalian ditetapkan oleh mayoritas kalian berhari raya Idul Adha.”
(HR. Tirmidzi no. 697, shahih menurut Syaikh Al Albani). Maknanya adalah
 puasa dan hari raya bersama al jama’ah (pemerintah).

Yang
lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat terakhir. Karena inilah
yang lebih menjaga persatuan kaum muslimin ditambah lagi masalah puasa
dan berhari raya adalah permasalahan jama’i (orang banyak) sehingga
kembalikanlah pada keputusan penguasa.

Imam Ahmad –dalam salah
satu pendapatnya- berkata, “Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan
bersama kaum muslimin lainnya (di negeri kalian) baik ketika melihat
hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.” Imam Ahmad juga
mengatakan, “Allah akan senantiasa bersama para jama’ah kaum muslimin”.
(Majmu’ Al Fatawa, 25: 117)

Namun jika orang yang melihat hilal
 tetap ingin berpuasa karena hasil penglihatannya, maka tetaplah
sembunyi-sembunyi, tidak terang-terangan. Tujuannya adalah demi menjaga
persatuan kaum muslimin.

Mengenai permasalahan terlihatnya
hilal di Cakung, sebagaimana dikemukakan oleh ulama NU dalam sidang
itsbat malam ini bahwa penglihatan hilal di Cakung mengalami beberapa
masalah, di antaranya:

1. Cakung berada di daerah gedung pencakar langit.

2. Di posisi mana matahari tenggelam dan hilal terbit, juga tidak jelas.

3. Yang melihat hilal dan hakim yang jadi saksi, itu-itu saja dari tahun ke 
tahun.

4. Hilal yang nampak bisa jadi halusinasi karena ada dorongan dari metode hisab 
yang mendorong harus terlihat hilal.

5. Alat yang digunakan tidak canggih sehingga mesti diperbaiki.

Dan masih ada beberapa alasan lain tertolaknya hilal di Cakung.

Jika setiap orang dan ormas lebih memilih persatuan daripada
kepentingan kelompok, tentu perpecahan dalam penentuan puasa dan hari
raya tidak akan terjadi.

Wallahu waliyyut taufiq.



Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Kirim email ke