*Kaidah Ke. 29 : Memahami Keumuman Dan Kekhususan Sebuah Kalimat*

http://almanhaj.or.id/content/3690/slash/0/kaidah-ke-29-memahami-keumuman-dan-kekhususan-sebuah-kalimat/


يَجِبُ تَقْيِيْدُ اللَّفْظِ بِمُلحَقَاتِهِ مِنْ وَصْفٍ، أَوْشَرْطِ،
أَوِاسْتِشْنَاءٍ، أَوْ غَيْرِهَامِنَ الْقُيُوْدِ

Wajib Mengaitkan Perkataan Dengan Hal-Hal Yang Mengikatnya, Seperti Sifat,
Syarat, Pengecualian Atau Pengikat Lainnya.



Kaidah ini menjelaskan tentang pentingnya memahami dan menerapkan
konsekuensi perkataan yang bersyarat. Apabila sebuah perkataan bersifat
umum, maka dipahami umum. Namun, jika sebuah perkataan dikaitkan dengan
sesuatu, maka dipahami sesuai kaitannya tersebut [1]. Kaidah ini secara
umum telah diketahui dan dikenal, baik dalam bahasa Arab maupun dalam
bahasa lainnya.

Kaidah ini bisa diterapkan dalam memahami firman Allah Azza wa Jalla, sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perkataan semua orang. Banyak
permasalahan yang masuk dalam penerapan kaidah ini, baik berkaitan dengan
akad bisnis ataupun tabarru’ (nirlaba), persyaratan wakaf, wasiat,
pembebasan budak, talaq, sumpah dan selainnya.

Kaidah ini mempunyai implementasi dan contoh penerapan yang cukup banyak,
baik berkaitan dengan permasalahan ibadah ataupun mu’amalah (intraksi
antara sesama manusia). Diantara contohnya.

1. Apabila seseorang mewakafkan tanah dengan mengatakan, “Tanah ini saya
wakafkan untuk orang-orang fakir”. Maka konsekuensi dari perkataan ini
adalah yang berhak memanfaatkan tanah wakaf tersebut hanyalah orang-orang
yang tergolong fakir, tidak selainnya. Karena dalam perkataan tersebut ada
pengikatnya secara khusus, sehingga harus diterapkan sesuai dengan
ikatannya tersebut. Ini adalah contoh pengikat dan menyebutkan sifat. [2]

2. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk Ahmad
dan Zaid, dengan perincian, Ahmad dua pertiga dan Zaid sepertiga”.
Konsekuensi dari perkataan ini adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat
yang telah ditentukan tersebut.

3. Apabila seseorang mengatakan, “Saya wakafkan tanah saya ini untuk
anak-anak Ahmad kecuali anak yang fasik”. Konsekuensi dari perkataan ini
adalah harus diterapkan sesuai dengan syarat yang telah ditentukan tersebut.

4. Dalam hadits dijelaskan bolehnya mengusap khuf (sepatu bot atau yang
sejenisnya) ketika berwudhu. Pembolehan ini disebutkan secara mutlaq
(umum), misalnya dalam hadits Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu.

جَعَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ثَلاَثَةَ
أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيْمِ
يَعْنِي فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan tiga hari tiga malam
bagi musafir dan sehari semalam bagi orang yang mukim, yakni tentang
mengusap dua khuf. [3]

Dalam masalah ini, sebagian ulama menyebutkan beberapa syarat khusus
terkait kondisi khuf. Namun syarat-syarat tersebut tidak ada dalil khusus
yang menjelaskannya [4]. Misalnya , syarat khuf yang boleh diusap sebagai
ganti dari mencuci kaki adalah khufnya tidak bercelah (berlobang) yang
menyebabkan telapak kaki terlihat. Penentuan syarat-syarat tersebut kurang
tepat, karena pembolehannya disebutkan secara umum. Mengkhususkan sesuatu
yang disebutkan secara umum oleh Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beresiko menimbulkan kesulitan kepada hamba
Allah Azza wa Jalla dalam hal-hal yang diberi keleluasaan oleh Allah Azza
wa Jalla.

5. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa mengkonsumsi daging
unta termasuk pembatal wudhu, seperti dalam hadits riwayat Abu Sawud
rahimahullah :

عَنِ الْبَرَّاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْ
لُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم عَنِ الْوُضُوْءِمِنْ لُحُوْمِ
اْلإِبِلِ فَقَالَ : تَوَضَّؤُوامِنْهَا

Dari Al-Barra’ bin Azib Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang berwudhu (setelah
selesai) dari makan daging unta, maka beliau bersabda : berwudhulah
darinya.[5]

Yang terpahami dari hadits ini adalah makan daging unta bisa membatalkan
wudhu, baik daging unta yang masih mentah atau sudah matang. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan makan daging unta
secara umum [6]. Dan perkataan yang datang secara umum, kita pahami sesuai
keumumannya kecuali ada dalil yang mengkhususkannya. Dan perkataan yang
datang secara khusus maka dipahami sesuai kekhususannya.

6. Tentang pembebasan budak kaffarah (denda) pembunuhan. Sebagaimana firman
Allah Azza wa Jalla.

وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ
مُسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا

Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin karena tersalah (tidak sengaja,
maka hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali
jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. [an-Nisa/4:92]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa hamba sahaya
yang dimerdekakan adalah hamba sahaya yang beriman. Maka tidak boleh
membayar kaffarah pada kasus pembunuhan dengan membebaskan budak non
muslim. Karena Allah Azza wa Jalla telah mengkhususkan budak yang beriman
pada ayat ini. Dan hal-hal yang telah dijelaskan kekhususannya maka wajib
difahami sesuai kekhususannya tersebut [7].

Dalam pembahasan kaidah ini, perlu dipahami bahwa adakalanya sebuah
perkataan dihukumi bersifat khusus meskipun secara lahiriah bersifat umum,
karena ada sebab tertentu yang menuntut demikian. Marilah kita perhatikan
contoh-contoh kasus berikut.

1. Apabila seorang suami melihat isterinya berbincang dengan lelaki lain.
Lalu si suami tersebut mentalaq isterinya karena menyangka bahwa lelaki itu
bukan mahram isterinya. Setelah dia tahu bahwa lelaki tersebut adalah
mahram isterinya. Maka dalam kasus ini, talaqnya tidak jatuh. Meskipun
talaq yang diucapkan suami bersifat umum tetapi dihukumi secara khusus
karena sebab tertentu. Dalam kasus ini, suami mentalaq isterinya karena
mengira lelaki yang berbincang-bincang dengan isterinya itu bukan
mahramnya, namun ternyata dugaan itu tidak terbukti.

2. Apabila Ahmad bersumpah tidak akan bertegur sapa dengan Zaid karena
mengira Zaid adalah orang yang telah menzhaliminya. Kemudian terbukti bukan
Zaid. Apabila kemudian Ahmad menyapa Zaid, maka dalam kasus ini, Ahmad
tidak dihukumi telah melanggar sumpah. Meskipun sumpah yang diucapkan Ahmad
tersebut secara lahiriah bersifat umum, namun dihukumi khusus karena sebab
tertentu [8].

Berkaitan dengan pembahasan kaidah ini pula, para Ulama menjelaskan bahwa
pengkhususan suatu perkataan diterima apabila tidak bertentangan dengan
ketentuan syar’i, baik al-Qur’an maupun as-Sunnah. Jika bertentangan dengan
ketentuan syar’i maka pengkhususan tersebut tidak bisa diterima [9]. Dengan
demikian bisa dipahami, apabila seseorang mewakafkan hartanya khusus untuk
pelaku kebid’ahan, atau untuk orang yang berbuat maksiat, atau khusus untuk
pengikut madzhab tertentu maka persyaratan dan pengkhususan semisal itu
tidaklah dianggap. Wallahu a’lam[10].

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, Imam Muhammad
bin Ali Ay-Syaukani, Tahqiq Abu Hafs Sami bin al-Arabi al-Atsari. Cet.1
Tahun 1421H/2000M Darul Fadhilah hlm.711
[2]. Lihat Syarhul Qawaa’id As-Sa’diyah, Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah
az-Zamil. Dar Athlas al Kahadhra’, hlm.192
[3]. HR. Muslim dalam Kitabut Thaharah, bab at-Tauqif fil Mashi’alal
Khuffaini, no. 85
[4]. Lihat as-Syarhul Mumti (1/232-233). Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin.cet.1 Tahun 1422H. Dar Ibnil Jauzi.
[5]. HR Abu Daud dalam Kitabut Thaharah, bab al Wudhu min Luhumil Ibil, no.
184. Hadits ini dishahihkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam
shahih sunan At-Tirmidzi no. 81
[6]. Sebagian ulama berpendapat bahwa makan daging unta yang membatalkan
wudhu adalah apabila daging tersebut masih mentah, adapun makan daging unta
yang telah dimasak maka tidak membatalkan wudhu. (Lihat al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah, 43/397-398 Cet Ke-2 1404H/1983M Wizaratul Auqaf was Syu-un
al-Islamiyah. Kuwait
[7]. Lihat al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 38/122-123
[8]. Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah
terhadap kitab al-Qawa’id wal Ushulul Jami’ah wal Furuq wat Taqasimul
Badi’atun Nafi’ah. Cet. Ke-1 tahun 2002M. Maktabah as-Sunnah. Kairo hlm.
138-139
[9]. Lihat Syarhul Qawa’id as Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah Az
Zamil. Dar Athlas al Kahadhra lil Nasyri wat Tauzi hlm. 196
[10]. Diangkat dari kitab al-Qawâ'id wal Ushûlul Jâmi'ah wal Furuq wat
Taqâsîmil Badî'ah an-Nâfi'ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di.
Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua.
1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 80. Dengan beberapa
tambahan dari referensi lainnya

Kirim email ke