SUFI, BERIBADAH DENGAN MENARI-NARI (?!)

Oleh
Ustadz Abu Minhal
http://almanhaj.or.id/content/3633/slash/0/sufi-beribadah-dengan-menari-nari/

Masyarakat umumnya memandang persoalan menari berhubungan dengan seni dan
budaya. Berbeda dengan kalangan Sufi, mereka memastikan ada ritual tertentu
– di luar ibadah yang disyariatkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
– yang berfungsi sebagai amalan sholeh layaknya ibadah-ibadah yang lain.
Belakangan tidak asing lagi dipertontonkan, aksi berdzikir (beribadah)
kepada Allâh Azza wa Jalla melalui cara berputar-putar secara teratur
dengan kecepatan yang kian bertambah kencang, yang dikenal dengan sebutan
Whirling Dervishes (darwis-darwis yang berputar) atau Tarian Sema (Arab:
samâ’). Pada akhirnya, menurut mereka, para penari akan mengalami keadaan
ekstase (fanâ'), melebur bersama Allâh Azza wa Jalla (?!)

Atribut mereka, mengenakan topi yang memanjang ke atas, jubah hitam besar,
baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta tanpa alas
kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai melepas jubah
hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang mencengkram
bahu. Demikian gambaran global tarian spiritual bernama samâ ini.

KEUTAMAAN DAN KEDUDUKAN TARIAN SEMA DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
Sebagai pihak satu-satunya yang melegalkan praktek tersebut[1] , mereka
menguatkannya dengan menyebutkan fadhîlah (keutaman) amalan tersebut. Di
antaranya:

1. Meyakini bahwa pelakunya mendapat pahala sebagaimana orang-orang yang
berbuat amal sholeh

2. Meyakini bahwa menari salah satu faktor efektif untuk menggerakkan
keimanan dan amalan hati, seperti khauf, khasy-yah, mahabbah, roja,
sehingga tidak boleh dikatakan sebagai tindakan main-main

3. Meyakininya sebagai faktor yang mendatangkan rahmat

4. Menyatakan itu dianjurkan dalam syariat

5. Menyatakan bahwa seorang Muslim harus melakukannya untuk menuju Allâh
Azza wa Jalla

Ini semua hanyalah rekaan kaum Sufi semata yang tidak berdasar sama sekali
dari syariat, untuk membenarkan ibadah yang digagas oleh Jalâldîn ar-Rûmi
dan menarik simpati umat.

APAKAH BENAR DISYARIATKAN?
Kaedah menyatakan pada asalnya hukum ibadah adalah haram kecuali yang
disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Maka, tidak diragukan
lagi bila hukum tarian spiritual yang ditujukan untuk mendekatkan diri
kepada Allâh Azza wa Jalla tersebut tidak boleh (haram). Berikut beberapa
dalil pengharamannya:

1. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا

Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai
main-main dan senda gurau [al-An’âm/6:70]

Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum musyrikin yang menjadikan
acara permainan sebagai ajaran agama. Demikian juga para penganut ajaran
Sufi,celaan pada ayat juga mengenai mereka karena menjadikan tarian – yang
jelas merupakan salah satu bentuk acara main-main dan melalaikan- sebagai
ajaran agama untuk mendekatkan diri kepada Allâh.

2. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ
اللَّهُ

Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh? [asy-Syûrâ/42:21]

Ayat ini mengharamkan tarian Sufi karena menari dalam rangka beribadah
tidak pernah diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak diperkenankan
untuk dijadikan sebagai sarana beragama dan beribadah, maka menjadikannya
sebagai acara agama dan ibadah sebagaimana yanga dilakukan oleh kaum Sufi
menunjukkan pensyariatan sesuatu yang bukan berasal dari Allâh, dan ini
tidak boleh.

3. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ
تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ
جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ

Allâh telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`ân yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit dan
hati mereka di waktu mengingat Allâh..[az-Zumar/39:23] [2]

Ayat ini juga membantah tarian-tarian ibadah ala Sufi, sebab telah
menjelaskan kondisi kaum Mukminin saat mendengarkan dan menyimak dzikir
yang masyru (yang disyariatkan). Kondisi kaum Mukminin yang mengenal Allâh
Azza wa Jalla , yang takut kepada hukuman-Nya, ketika mendengarkan
firman-Nya, janji dan ancaman-Nya, hati mereka melunak, air mata
bertetesan, kulit gemetar, tampak khusyu’ dan penuh ketenangan. Tidak
seperti yang dilakukan orang-orang Sufi dengan bergerak-gerak menari-nari
dengan ritme tertentu. Maka kita katakan kepada mereka ini, “Kondisimu
tidak akan pernah menyamai kondisi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan kondisi para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam hal ma’rifatullâh, khauf
dan ta’zhîm (pengagungan) terhadap kebesaran-Nya. Meskipun demikian kondisi
mereka saat mendengarkan mauizhah ialah memahaminya dan menangis karena
takut kepada-Nya. Siapa saja yang kondisinya tidak seperti ini berarti
bukan di atas petunjuk mereka dan tidak di atas jalan mereka”.[3]

4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ بمُحْدَثَةٍ ِبِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ
فِيْ النّارِ

Setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat. Dan setiap kesesatan dalam di neraka [HR. an-Nasâi 3/210]

Tarian yang ditujukan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla karena tidak pernah
ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum , berarti merupakan barang baru dan setiap ibadah yang
tidak dikenal di zaman beliau maka termasuk bidah yang diharamkan.

Al-Ghozâli rahimaullah menyanggah penggunaan dalil ini untuk mengharamkan
tarian yang ia dukung itu. Katanya, “Tidak setiap yang dihukumi boleh
(harus) ada riwayat dari Sahabat Radhiyallahu anhum. Yang terlarang
hanyalah melakukan bid’ah yang bertentangan dengan petunjuk Nabi yang sudah
ada . Sementara itu, tidak ada riwayat yang melarang ini semua (tarian
agama)”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah meluruskan pernyataan di atas
dengan berkata, “Sesungguhnya mempertahankan keumuman perkataan Nabi
“setiap bid’ah adalah sesat” itu harus, dan wajib mengamalkan keumuman
maknanya. Barang siapa mengklasifikasikan bid’ah menjadi (bid’ah) baik dan
jelek dan menjadikannya (klasifikasi tersebut) sebagai alasan untuk tidak
melarang adanya bid’ah sungguh ia telah keliru. Sebagaimana yang dilakukan
oleh kalangan mutafaqqihah (kaum kurang ilmu), ahlul kalam dan kaum Sufi
serta ahli ibadah (yang tidak mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ) . Jika mereka dilarang dari ibadah-ibadah dan praktek beragama
yang baru (diada-adakan) , mereka berkilah bahwa tidak ada bid’ah yang
diharamkan kecuali yang dilarang. Sehingga hadits itu menjadi “setiap yang
dilarang”… “setiap yang diharamkan” atau “setiap yang menyelisihi nash Nabi
maka merupakan dholâlah (kesesatan”. (Kesalahan) ini terlalu jelas untuk
dijelaskan lagi. Karena setiap yang tidak disyariatkan dalam agama adalah
sesat”

5. Ijma Ulama
Umat Islam telah sepakat bahwa tarian Sufi adalah bidah dan hukumnya
dilarang. Sejumlah ulama telah menegaskannya, semisal Ibnu Taimiyah
rahimahullah, Abu Bakar ath-Tharthusi rahimahullah, Taqiyyuddîn as-Subki
rahimahullah, Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, Abu Abdillâh al-Qurthubi
rahimahullah, Ibnu Katsîr rahimahullah, Ibrâhîm bin Muhammad al-Hanafi
rahimahullah [4].

6. Akal sehat
Sesungguhnya menari (tarian) petunjuk kurang akalnya orang yang
melakukannya, sebagaimana dikatakan Imam Mâlik bin Anas rahimahullah .
Islam datang untuk menyempurnakan perilaku bani Adam dan melarang mereka
dari perkara-perkara yang mengurangi akal mereka.

Syariat Islam tidak menyinggung tarian, baik dalam al-Qur`ân maupun Hadits.
Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh satu nabi pun dan satu tokoh dari
para pengikut nabi. Karena mereka belum melakukannya, itu menunjukan tarian
ibadah itu tidak mengandung satu kebaikan pun. Seaidaninya itu baik, sudah
tenta para Sahabat akan berlomba untuk melakukannya

Tarian Sufi berisi sejumlah keburukan seperti hilangnya muruah
(kewibawaan), tasyabuh dengan wanita dan anak-anak kecil, menyerupai
binatang-binatang dan menyerupai penganut Nasrani yang menjadikan tarian
sebagai bagian dari agama mereka, mencampuradukkan antara maksiat dengan
ibadah. Ditambah lagi, Tarian Sema kerap diiringi dengan musik baik berupa
genderang atau alat musik lainnya yang sebenarnya melalaikan hati.

PENUTUP
Itulah gambaran ‘ibadah’ baru produk kaum Sufi. Hakekatnya, justru akan
menjauhkan dari Allâh Azza wa Jalla dan pengagungan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dalam ibadah. Sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam Khutbah Hâjah. Wallâhu a’lam

Referensi.
1. Hukmu Mumârasil Fanni fisy Syarî’atil Islâmiyyah Shâeh bin Ahmad
al-Ghozâli
2. Waqofâti ma’a Kitâbi Ihyâ ‘Ulûmiddîn, Sa’d al-Hushayyin

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Luma’ 275 dan Ihyâ ‘Ulûmiddîn 2/304
[2]. Lihat juga al-Mâidah/5:83, al-Anfâl/8:2
[3]. Tafsîr al-Qurthubi 12/59 dengan diringkas
[4]. Hukmu Mumarasatil Fanni hlm. 241

Kirim email ke