QAWA'ID FIQHIYAH
Kaidah Ke. 24 : Yang Tercepat Yang Lebih Baik

http://almanhaj.or.id/content/3589/slash/0/kaidah-ke-24-yang-tercepat-yang-lebih-baik/


مَنْ سَبَقَ إِلَى الْمُبَاحَاتِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa Lebih Dahulu (Menemukan Atau Mendapatkan) Yang Mubahat Maka Dia
Yang Lebih Berhak Atas Perkara Tersebut


Kaidah yang mulia ini menjelaskan bahwa siapa saja yang terlebih menemukan
atau mendapatkan yang mubahat, maka dia lebih berhak untuk mendapatkan atau
memanfaatkannya. Mubâhât maksudnya segala yang tidak ada hak kepemilikan
secara khusus atasnya, baik berupa tanah, tempat tertentu, tanaman yang
tumbuh di bumi atau yang lainnya.

Dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah ini yaitu hadits yang diriwayatkan
dari Asmar bin Mudharris Radhiyallahu anhu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :

مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ

Barangsiapa lebih dahulu sampai kepada suatu perkara daripada orang muslim
lainnya, maka dia yang lebih berhak atas sesuatu tersebut.[1]

Juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ عَمَّرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهَا

Barangsiapa mengelola tanah yang tidak dimiliki siapa pun, maka ia lebih
berhak terhadap tanah itu.[2]

Hadits ini menjelaskan bahwa seseorang yang lebih dahulu mendapatkan dan
mengelola tanah yang tidak bertuan, maka dia yang lebih berhak untuk
memiliki dan memanfaatkan tanah itu. Kemudian perkara mubâhât lainnya
diqiyaskan dan dihukumi sama seperti tanah yang disebutkan dalam hadits
diatas.

Adapun implementasi kaidah ini, dapat diketahui dari contoh-contoh berikut :

1. Berkaitan dengan pengairan sawah dari air sungai. Apabila para pemilik
sawah berselisih tentang sawah manakah yang paling didahulukan untuk
mendapatkan pengairan dari sungai tersebut. Maka dalam hal ini yang paling
didahulukan adalah sawah yang posisinya paling tinggi, karena biasanya
posisinya lebih dekat dengan suangi. Setelah sawah tersebut dialiri air dan
telah cukup maka barulah dialirkan ke sawah di bawahnya.

2. Berkaitan dengan hewan buruan, baik di darat maupun di laut. Siapa saja
yang lebih dahulu menangkapnya atau senjatanya lebih dahulu mengenainya
maka dia yang lebih berhak untuk memiliki hewan tersebut. Adapun sebatas
melihat hewan tersebut, maka kepemilikannya belum bisa ditentukan. Demikian
pula keberadaan kayu di hutan, rerumputan yang ada di padang rumput,
barangsiapa lebih dahulu sampai kepadanya maka dia lah yang lebih berhak
mendapatkannya.

3. Berkaitan dengan tempat-tempat yang disediakan untuk kepentingan umum,
seperti masjid atau selainnya. Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain
untuk berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat orang
tersebut. Misalnya Ahmad sedang duduk di suatu tempat di masjid
mendengarkan pengajian. Kemudian Zaid datang dan menyuruh Ahmad berdiri,
kemudian Zaid duduk di tempat tersebut. Maka seperti ini tidak
diperbolehkan. Karena Ahmad lebih dahulu sampai di tempat tersebut sehingga
dia yang lebih berhak untuk duduk di sana.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar
Radhiyallahu anhuma dijelaskan bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :

لاَ يُقِيْمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيْهِ
وَلَكِنْ تَفَسَّحُوْا وَتَوَسَّعُوْا

Tidak boleh seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya
kemudian ia duduk di sana, akan tetapi hendaklah kalian memberi kelonggaran
dan keluasan.[3]

4. Berkaitan dengan harta-harta yang diwakafkan, baik berupa tanah, rumah,
atau barang-barang lainnya yang dalam pemanfaatannya tidak memerlukan
persetujuan dari nâzhir (pengurus) barang yang diwakafkan. Maka siapa saja
yang lebih dahulu sampai pada barang-barang tersebut, dia lebih berhak
untuk memanfaatkannya. Misalnya seseorang mewakafkan sebuah rumah untuk
ditempati oleh fakir miskin, maka fakir miskin mana saja yang lebih dahulu
sampai ke rumah tersebut, dia yang lebih berhak untuk memanfaatkannya,
sampai kebutuhannya terhadap rumah itu selesai.

Ini berkaitan dengan harta-harta wakaf yang tidak ada nâzhirnya secara
khusus. Adapun jika harta-harta wakaf itu diurusi oleh nâzhir (pengurus)
yang khusus maka pemanfaatannya tergantung pada persetujuan nâzhir
tersebut, tidak berdasarkan siapa yang lebih dahulu sampai pada
barang-barang itu.

5. Berkaitan dengan lahan mati, yaitu tanah yang tidak bertuan secara
khusus. Siapa saja yang lebih dahulu menghidupkan tanah tersebut dan
mengelolanya, maka dia yang lebih berhak memiliki tanah tersebut.

Dalam hal ini, seseorang dikatakan menghidupkan tanah yang mati di
antaranya dengan membuat pagar pembatas sehingga tanah itu tidak dimasuki
hewan-hewan liar, atau dengan membangun sumur di area tanah tersebut
sehingga bisa mengairinya. Demikian pula bisa dilakukan dengan mengalirkan
air ke tanah tersebut baik dari sungai, atau selainnya untuk mengairi tanah
tersebut. Atau dengan membersihkan tanah tersebut dari bebatuan, genangan
air, atau benda-benda lain yang menghalangi pemanfaatan tanah tersebut.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

Barangsiapa menghidupkan lahan mati, maka lahan itu menjadi miliknya.[4]

6. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan melamar wanita yang telah dilamar
orang lain, selama lamaran tersebut belum ditolak oleh si wanita atau tidak
ada izin dari si pelamar pertama. Hal ini dikarenakan orang yang pertama
lebih dulu melamarannya sehingga dia lebih berhak, Sebagaimana sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ, حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ
قَبْلَهُ, أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ

Janganlah salah seorang di antara kalian melamar wanita yang telah dilamar
orang lain sampai pelamar itu meninggalkannya atau mengizinkannya.[5]

7. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang
pahala yang besar yang akan didapatkan oleh seseorang apabila berdiri di
shaf pertama dalam shalat berjama’ah. Sebagaimana sabda beliau :

لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ اْلأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ
يَجِدُوْا إِلاَّ أَنْ يَسْتَهِمُوْا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوْا

Seandainya manusia mengetahui besarnya pahala mengumandangkan adzan dan
pahala berdiri di shaf pertama sementara mereka tidak bisa memperolehnya
kecuali dengan berundi tentulah mereka akan berundi.[6]

Dalam hal ini, seseorang yang lebih dahulu sampai di shaf pertama tersebut,
dia yang paling berhak untuk menempati posisi tersebut daripada orang lain
setelahnya. Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010. Diterbitkan
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footenote
[1]. HR. Abu Dâwud dalam Kitabu al-Kharâj, Bab Fî Iqthâ’i al-Ardhîna, no.
3071; al Baihaqi 6/142; at-Thabrâni dalam al Kabîr 1/76; al Maqdisi dalam
al Mukhtârah 1/458 dari Asmar bin Mudharris. Sanad hadits ini dha’îf.
[2]. HR. Bukhâri dalam Kitâbul Hartsi wa al-Muzâra’ah, Bab Man Ahyâ Ardhan
Mawâtan, no. 2335.
[3]. HR. Bukhâri dalam Kitâbul Isti’dzân, Bab Lâ Yuqîmur Rajulu ar-Rajula
min Majlisihi, no. 6269 dan 6270; Muslim dalam Kitabus Salâm, Bab Tahrîmu
Iqâmatil Insâni min Maudhi’ihil Mubâhi alladzi Sabaqa Ilaihi, no. 2177.
[4]. HR. Abu Dawud dalam Kitâbul Kharâju wal Imâratu wal Fai’, Bab Fî
Ihyâ’il Mawât, no. 3073; Tirmidzi, no. 1378, beliau mengatakan, “Ini hadits
hasan gharîb”. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al Albâni dalam Irwâ’ul
Ghalîl no. 1550.
[5]. HR. Bukhâri, no. 5144; Muslim, no. 1412.
[6]. HR. Bukhâri, no. 615.

Kirim email ke