----- Original Message ----- 
From: "khi_alharits" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <assunnah@yahoogroups.com>
Sent: Wednesday, March 01, 2006 11:44 PM
Subject: [assunnah] OOT : Shalat jama'ah kedua


> assalaamu'alaikum,
> 1. afwan ana mau tanya, bagaimana penjelasan tentang dilarangnya
> mendirikan shalat jama'ah kedua dalam satu masjid...??
> 2. apakah khusus di masjid2 yang ada imam rawatibnya atau mencakup
> semua... masalahnya di komplek ana imamnya tiap waktu sholat
> bergantian...
> jazkumulloh khairon...
> wassalaamu'alaikum,
>
> abul harits heru
> (1399 H/1979 M)
>


HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA


Oleh
Al-Allamah -Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bagian Pertama dari Dua Tulisan [1/2]

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Bagaimana mendirikan shalat 
jama'ah kedua setelah dilakukan jama'ah di dalam satu masjid.

Jawaban.
Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat jama'ah kedua. Sebelum aku 
menunjukkan perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan menjelaskan 
mana yang rajih (unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu membatasi 
(pengertian) jama'ah (kedua) yang diperselisihkan itu.

Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat) jama'ah yang didirikan 
disatu masjid yang sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin tetap 
(masjid tersebut).

Adapun jama'ah-jama'ah yang didirikan di tempat lain, seperti di rumah, di 
masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang dipermasalahkan.

Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama'ah untuk kedua kalinya 
dalam satu masjid yang ada imam dan mu'adzdzin rawatibnya hukumnya makruh, 
berdasar pengambilan dari dua sisi dalil.

[1]. Dalil naqli (dari syara')
[2]. Dalil nazhari meliputi periwayatan dan hikmah disyari'atkannya shalat 
berjama'ah.

Adapun berdasar dalil naqli : Setelah para ulama ahli hadits meneliti
kehidupan Rasul Allah, mereka menemukan bahwa Rasul Allah sepanjang hidupnya 
senantiasa shalat berjama'ah bersama para sahabatnya di masjid beliau. Bila 
di antara para sahabatnya ada yang ketinggalan, tidak bisa shalat berjama'ah 
bersama rasul Allah di masjid, mereka shalat sendiri dan tidak menunggu 
siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti dilakukan orang sekarang, 
meminta satu atau banyak orang untuk bersama shalat jama'ah dan salah 
seorang dari mereka dijadikan imam.

Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang salaf (terdahulu). Bila 
mereka masuk masjid, ternyata sudah selesai didirikan shalat jama'ah, mereka 
shalat sendiri-sendiri. Begitulah yang dijelaskan oleh Iman Syafi'i dalam 
kitabnya Al-Um. Ungkapan Imam Syafi'i berkaitan dengan masalah ini lebih 
banyak dibanding ungkapan imam-imam lain.

Imam Syafi'i berkata :
"Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati imam telah selesai 
shalat (jama'ah) lakukanlah shalat sendiri-sendiri. Bila mereka melakukan 
shalat berjama'ah sendiri (lagi) boleh saja. Tapi, aku tidak menyukai 
semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan karakteristik salaf"

Kemudian Imam Syafi'i melanjutkan :
"Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang disediakan untuk para 
musafir) yang tidak punya imam dan muadzdzin tetap, maka melakukan (shalat) 
jama'ah berulang kali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa".

Imam Syafi'i berkata pula :
"Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada sekelompok shahabat 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketinggalan shalat berjama'ah.

Lantas merekapun shalat sendiri-sendiri. Padahal mereka mampu mendirikan 
shalat jama'ah lagi. Tapi, hal itu tidak dilakukannya, karena mereka tidak 
suka di satu masjid diadakan (shalat) jama'ah dua kali.

Semua ini merupakan ucapan Imam Syafi'i. Beliau menyebutkan, bahwa para
shahabat apabila ketinggalan shalat berjama'ah (bersama Rasulullah) mereka 
shalat sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam Syafi'i dengan 
riwayat muallaq (artinya Imam Syafi'i tidak langsung mendapatkan riwayat itu 
dari seorang rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya). Al-Hafidzh Abu 
Bakar Ibnu Abi Syaibah mengaitkannya dalam kitabnya yang masyhur 
Al-Mushannaf. Riwayatnya berdasarkan sanad yang kuat dari Hasan Al-Bashri, 
bahwa sesungguhnya para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama'ah 
mereka shalat sendiri-sendiri.

Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Mu'jam Al-Kabir dengan 
sanad yang bagus dari shahabt Ibnu Mas'ud. Yaitu suatu saat Ibnu Mas'ud 
bersama dua temanya keluar dari rumah menuju masjid untuk mengikuti shalat 
jama'ah. Saat itu ia melihat orang-orang keluar masjid, mereka sudah selesai 
melakukan shalat jama'ah. Maka Ibnu Mas'ud pun kembali ke rumah bersama dua 
temannya. Ia shalat berjama'ah bersama mereka di rumah sekaligus sebagai 
imam.

Ibnu Mas'ud kembali (ke rumah). Padahal keshahabatannya dengan Rasul Allah 
cukup dikenal, pemahaman tentang keislamannya mendalam, andai kata beliau 
tahu mendirikan jama'ah berulang-ulang kali di masjid itu diysrai'atkan, 
pasti beliau dengan kedua temannya itu masuk masjid dan mendirikan shalat 
berjama'ah di situ. Karena beliau jelas tahu bahwa Rasul Allah pernah 
bersabda.

"Artinya : Seutama-utama shalat seseorang itu dirumahnya kecuali shalat
fardhu".

Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas'ud melaksanakan shalat fardhu itu di 
masjid. ?

Jawabnya.
Karena Ibnu Mas'ud tahu bahwa sesungguhnya apabila melakukan shalat di 
masjid, beliau akan melakukannya secara sendiri-sendiri. Ibnu Mas'ud 
berpendapat, bahwa shalat berjama'ah di rumah bersama dengan dua temannya 
akan lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri meskipun dilakukan di 
masjid.

Semua ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang menguatkan pendapat
jumhur (ulama) bahwa mengadakan jama'ah untuk kedua kalinya di satu masjid 
itu makruh hukumnya.

Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan untuk mendapatkan 
dalil-dalil lain selain yang sudah dipaparkan. Misalnya, melalui lstimbath 
dan melihat secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.

Imam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, 
Rasul Allah bersabda:

"Artinya : Aku memiliki kehendak untuk menyuruh seseorang menjadi imam 
shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh beberapa lelaki untuk mengambil 
(mengumpulkan) kayu bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang yang 
tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku bakar rumahnya. Demi 
Zat yang jiwa Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam berada di tangan-Nya, 
andaikata orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu akan ditemukan 
dua benda yang sangat berharga pasti mereka akan
menyaksikannya pula". [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim)]

Hadits ini merupakan ancaman dari Rasul Allah atas orang-orang yang suka 
menyelisihi terhadap kehadiran (untuk) shalat jamaah di masjid dengan cara 
membakar rumahnya. Saya (Al-Albani) melihat, bahwa hadits ini telah 
memberikan gambaran kepada kita tentang hukum permasalahan terdahulu (yaitu 
bahwa shalat berjamaah dua kali atau lebih dalam satu masjid yang ada imam 
dan mu'adzdzin tetapnya dihukumi makruh [dibenci]). Hadits ini bisa pula 
memberikan gambaran kepada saya untuk bisa menerima penuturuan
lmam Syafi'i yang di-washalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa sesungguhnya 
para shahabat tidak mau mengulang shalat jamaah di dalam satu masjid. Hal 
demikian itu disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran bahwa shalat 
jamaah yang kedua atau yang ketiga itu disyariatkan (oleh agama) di dalam 
satu masjid, kemudian pada sisi lain ada ancaman yang sangat keras dari 
Rasul Allah bag! orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah, maka (timbul 
pertanyaan, ed) shalat jamaah yang keberapa yang apabila ditinggalkan akan 
mendapat ancaman yang sangat berat sekali?

Apabila (pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, "Shalat jamaah (yang 
apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman sangat berat) adalah shalat jamaah 
yang pertama".

Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan perkataan: "Kalau begitu, 
jamaah yang kedua dan lainnya tidak disyariatkan?" Kalau dijawab "Ancaman 
ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang meninggalkan jamaah, 
keberapa saja" maka jawapan itu bisa ditimpali: "Kalau begitu ancaman Rasul 
Allah tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak mengikut jamaah 
yang keberapa pun, kerana andai kata orang-orang yang tidak mengikuti jamaah 
itu didatangi secara mendadak, saat mereka tidak berangkat (ke masjid, ed) 
dan kita menemukan mereka sedang santai-santai saja dengan anak dan isteri 
dan apabila ditegur mengapa tidak mengikuti shalat jamaah? Maka, mereka akan 
menjawab: "Kami akan mengikuti jamaah yang kedua saia, atau yang ketiga 
saja." Bila begitu, apakah ancaman Rasul Allah itu dibuat hujjah atas 
mereka? Oleh kerana itu bila Rasul Allah berkehendak mencari ganti seseorang 
yang menduduki kedudukan beliau (sebagai imam) dalam shalat berjamaah, 
lantas beliau mendatangi rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat 
berjamaah untuk membakarnya merupakan dalil yang sangat besar sekall untuk 
mengatakan bahwa shalat jamaah kedua, ketiga kaii di satu masjid adalah 
tidak ada sama sekali.

Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli yang telah menjadi 
pedoman para ulama.


[Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA, oleh Syaikh Muhammad 
Nashiruddin Al-Albani, Penerbit Yayasan Al-Madinah]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=161&bagian=0

HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA

Oleh
Al-Allamah -Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan [2/2]

Adapun berkaitan dengan dalil nazhari, bisa dijelaskan sebagai berikut:

Keberadaan fadhilah (keutamaan) shalat berjamaah telah banyak dihadirkan 
melalui hadits-hadits yang masyhur, dan salah satu diantaranya:

"Artinya : Shalat berjamaah dibandingkan shalat sendirian, keutamaannya dua 
puluh lima (datam satu riwayat dua puluh tujuh) derajat".

Inilah keutamaan shalat berjamaah. *

Sebuah hadits lagi.

"Artinya : Sesungguhnya shalat seorang laki-laki (yang berjamaah) dengan 
seorang laki-laki lain. lebih bersih di sisi Allah daripada shalatnya 
(seseorang yang) sendirian. Dan shalatnya seorang laki-laki (yang berjamaah) 
bersama dengan dua orang laki-laki lebih bersih lagi di sisi Allah daripada 
shalat berjamaah dengan satu oang laki laki"

Dan begitu seterusnya, semakin banyak peserta jamaah smakin banyak pula 
pahala yang diterima.

Apabila kita mengingat makna (arti) ini (yaitu, makna kalimat dalam riwayat 
di atas, ed), kemudian kita melihat akibat dari penetapan kebolehan 
mengulangi kembali shalat jamaah di dalam satu masjid yang punya imam dan 
mu'adzdzin tetap, akibatnya sangat buruk sekali bila diukur dengan hukum 
Islam (yang telah kita paparkan sebelumnya), yaitu shalat jamaah hanya satu 
kali. Kerana berpendapat, bahwa shalat jamaah itu boleh didirikan berulang 
ulang di dalam satu masjid yang ada imam dan muadzdzin ratib (tetap) nya 
bisa mengarah pada sedikitnya jamaah peserta shalat jamaah yang pertama. Hal 
ini tentu bertentangan dengan ajakan yang bisa kita petik dari hadits:

"Artinya : Shalat seorang laki-laki dengan laki-laki lain itu lebih bersih 
dari shalat seorang laki-laki yang sendirian saja".

Karena hadits ini memotivasi agar jamaah bisa banyak pesertanya, begitu 
pula, pendapat yang membenarkan bolehnya mengulang (menyelenggarakan
kembali) shalat jamaah di satu masjid,.niscaya bakal menciptakan kondisi 
peserta jamaah itu kecil, dan jelas sekali bakal memecah belah persatuan 
kaum muslimin.

Sekali lagi, kita dituntut melihat secara jernih, bahwa penyebutan harus 
mengingat hadits Ibnu Mas'ud (dalam shahih Muslim) semisal dengan hadits Abu 
Hurairah:

"Artinya : Aku berkeinginan menyuruh seseorang untuk menjadi imam shalat
di masjid... dan seterusnya".

Hadits ini, (ashbabulwurudnya), berkenaan dengan orang-orang yang 
menyelisihi shalat Jum'at. Kita mengetahui bahwa lbnu Mas'ud melepaskan kata 
ancaman (mestinya berdasar ancaman Nabi, ed) terhadap setiap orang yang 
meninggalkan jamaah. Baik jamaah Jum'at atau jamaah lainnya. Kita pun 
mengetahui bahwa sesungguhnya shalat jamaah Jum'at dan shalat jamaah lainnya 
sama. Sama di dalam berjamaahnya dan ada ancamannya. Hal itu menunjukkan 
tidak ada jamaah untuk kedua kalinya bagi kedua shalat tersebut.

Untuk shalat Jum'at, sampai sekarang orang masih menjaga pesatuannya. Tidak 
ada yang berpendapat bahwa Jum'at itu secara syariat bisa dilaksanakan dua 
atau tiga kali di dalam satu masjid, dan semua ulama dari golongan (madzhab) 
manapun sepakat akan hal itu. Oleh itu, kita bisa melihat masjid-masjid itu 
penuh sesak dengan jamaah di hari Jum'at. Meskipun, kita juga tidak 
melupakan, dan ingat secara pasti, bahwa di antara sebab meluapnya 
masjid-masjid di saat jamaah Jum'at itu di antaranya kerana yang hadir bukan 
hanya yang biasa melakukan jamaah di masjid itu. Namun, kita pun tidak ragu 
pula bahwa penuhnya masjid pada hari Jum'at itu kerana orang Islam tidak 
membiasakan mendirikan shalat Jum'at lagi setelah shalat Jum'at pertama 
dilaksanakan. (alhamdulillah).

Jadi kalau umat Islam, misalnya mendirikan jamaah selain Jum'at sama persis 
dengan mendirikan jamaah Jum'at seperti pada zaman Rasulullah, kita pasti 
bias melihat bagaimana penuhnya masjid masjid itu dengan jamaahnya. Oleh 
kerana orang-orang yang rindu akan shalat berjamaah, di dalam hatinya tidak 
ingin ia ketinggalan jamaah, lantaran tidak mungkin ia bias mendirikan 
jamaah baru. Kemudian semacam ini bias mendorong mereka untuk betul-betul 
melaksanakan jamaah tepat waktu dengan sebaik-baiknya.

Sebaliknya, (tidak dimilikinya keyakinan seperti ini) jiwa seorang muslim 
akan menganggap ringan bila ia ketinggalan jamaah, kerana ia pun akan bisa 
menutup dengan jamaah yang kedua, ketiga sampai kesepuluh misalnya. Cara 
pandang demikian itu akan melemahkan kehendak dan semangat diri untuk 
mnghadiri jamaah.

Dan Pembahasan Berikutnya.

Pertama.
Kita perlu memperjelas bahwa para ulama yang berpendapat tidak 
disyariatkannya jamaah kedua, seperti yang telah diterangkan di awal artikel 
ini, dan andai terpaksa dilakukan hukumnya makruh, adalah jumhur para imam 
salaf, termasuk di datamnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan lmam Syafi'i. 
Adapun lmam Ahmad dalam salah satu riwayat dan dalam riwayat lain yang 
dibawa oleh seorang muridnya yang bemama Abu Dawud As-Sijistani di dalam 
kitabnya Masa-il al-lmam Ahmad, Imam Ahmad berkata:

"Sesungguhnya mengulang jamaah di dalam dua masjid al-Haramain (masjid 
at-haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah) hukumnya sangat makruh 
(dibencl)".

Hal ini dilihat dari keutamaan. (Maksudnya, ucapan Imam Ahmad di bahagian 
awal artikel ini memberikan gambaran kepada kita), bahawa kemakruhan jamaah 
ulang di masjid-masjid lain juga ada. Tapi, kemakruhan itu bisa lebih berat 
apabila jamaah ulang itu dilakukan di masjid Makkah ataupun Madinah. Jadi 
riwayat dari lmam Ahmad ini bisa bertemu (sama) pula dengan pendapat para 
imam yang tiga: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi'i.

Kedua.
Ada riwayat lain dari Imam Ahmad, yang riwayat ini masyhur di kalangan 
pengikutnya, pada intinya lmam Ahmad.dan pengikut-pengikutnya daripada ahli 
tafsir membawakan hadits yang diriwayatkan oleh lmam Tirmidzi, lmam Ahmad 
sendiri dan lain-lainnya dari kalangan shahabat Abu Sa'id al-Khudri:

"Artinya : Ada seorang lelaki masuk masjid dan Rasul Allah sudah selesai 
berjamaah shalat. Di sekitar Rasul waktu itu masih ada beberapa shahabat. 
Maka, Rasul Allah melihat lelaki itu akan melakukan shalat sendiri. Kemudian 
Rasul Allah bersabda, Adakah seseorang yang bisa bersedekah kepadanya ?".
Kemudian ada seorang laki-laki berdiri, lantas shalat bersamanya. Maka 
(seseorang itupun) shalat bersamanya"

Dalam satu riwayat yang dibawakan oleh lmam Abu Bakar al-Baihaqi datam kitab 
Sunan al-Kubra menjelaskan, bahawa laki-laki yang bersedekah dimaksud adalah 
shahabat Abu Bakar. Tetapi, riwayat ini dhaif sanadnya. Adapun yang shahih 
adalah riwayat yang tidak menyebutkan nama laki-laki dimaksud.

Kemudian ada yang berhujjah dengan hadits ini bahwa jamaah kedua (ketiga dan 
seterusnya) boleh dengan alasan: "Rasul Allah telah setuju adanya jamaah 
kedua.

Jawaban terhadap pendapat ini, yang berdalil dengan hadits di atas dalah: 
'Kita harus memperhatikan bahawa jamaah yang diterangkan dalam hadits itu 
bukan jamaah yang kita persoalkan. Karena, jamaah yang termuat di dalam 
hadits itu jamaahnya seorang yang masuk masjid setelah masjid itu selesai 
digunakan untuk shalat jamaah. Dan lagi, orang itu pun akan melakukan shalat 
sendiri. Setelah Rasul Allah melihat yang demikian itu, Rasul Allah meminta 
para shahabat di dekatnya yang sudah shalat berjamaah bersama beliau kiranya 
ada yang mau bersedekah untuknya. Kemudian ada yang bangkit menuruti 
perintah Rasul, dan dia melakukan shalat nafilah (sunnah).

Begitu yang terjadi. ltu merupakan jamaah yang terdiri dari dua orang, satu 
imam dan satu makmum. Imam melakukan shalat fardhu dan yang makmum melakukan 
shalat sunnah. Maka, siapakah yang berkeyakinan bahwa hal ini jamaah? 
Seandainya tidak ada yang bershalat sunnah, tentu tak akan ada jamaah. Kalau 
begitu, jamaah semacam itu namanya berjamaah tathawwu' dan tanafful, bukan 
jamaah (shalat) fardhu. Padahal perselisihan pendapat tentang jamaah ini, 
persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan jamaah, 
persoalannya berputar pada jamaah shalat fardhu yang dilakukan untuk kedua 
kalinya di satu masjid (yang ada imam ratibnya dan mu'adzdzin). Oteh kerana 
itu mengambil dalil dengan hadits Abi Sa'id dan ditempatkan dalam kerangkan 
perselisihan tentu tidak bisa dibenarkan. Apalagi bila dikuatkan dengan 
kalimat hadits:

"Artina : Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya ? Maka, (sesearang 
itupun) shalat bersamanya".

Kejadian ini terjadi karena adanya orang yang bersedekah dan yang 
disedekahi. Seandainya kita tanyakan kepada orang yang sangat sedikit 
pemahaman dan ilmunya, siapa (dari dua orang ini) yang bersedekah dan yang 
disedekahi dalam peristiwa ini?

Maka, jawabnya pasti orang yang besedekah ialah orang yang melakukan shalat 
lagi, yang sebelumnya sudah shalat berjamaah dibelakang Rasuluilah, dan 
orang yang disedekahi adalah orang yang datang belakangan sehabis jamaah 
Rasulullah.

Pertanyaannya itu sendiri apabila kita lemparkan ke dalam masalah jamaah 
yang diperselisihkan kebolehannya, (misalnya) ada enam atau tujuh orang 
masuk masjid secara bersamaan dan menemukan imam sudah selesai melakukan 
jamaah shalat. Kemudian salah satu dari mereka maju ke depan (untuk menjadi 
imam sedang lainnya di belakang mengatur diri dalam posisi makmum), dan 
mereka mendirikan jamaah kedua.

Pertanyaan, siapa di antara mereka yang bersedekah dan siapa pula yang 
disedekahi?

Pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh siapa pun, sebagaimana menjawab 
(contoh) pertanyaan pertama. Jamaah shalat yang ini dilakukan setelah imam 
dan makmum di masjid itu selesai melakukan shalat jamaah
fardhu. Jadi, dalam hal ini tidak ada yang bersedekah dan tidak ada pula 
yang disedekahi.

Bedanya jelas sekali. Dalam contoh pertama, orang yang bersedekah adalah 
laki-laki yang (shalat) nafilah (sunnah) yang sudah shalat bersama Rasul 
Allah yang tentunya mendapatkan nilai tambah (pahala) sebanyak dua puluh 
tujuh derajat. Jadi dia bisa disebut orang kaya. Kerana kemampuannya pula 
dia bisa bersedekah kepada orang lain dan kepada yang menjadi imam (melalui 
shalat sunnah dengan bermakmum di belakang orang yang shalat sendirian). 
Kalau tidak begitu, orang itu akan shalat sendiri. Dia miskin, dan dia 
memerlukan orang yang bisa memberi sedekah padanya. Sebab, dia tidak bisa 
mengupayakan orang yang bisa memberi sedekah.

Dalam contoh ini, jelas ada orang yang memberi sedekah dan ada yang diberi 
sedekah. Adapun yang kita perselisihkan tidak demikian. Rombongan yang 
datangng setelah selesai jamaah shalat di masjid, semuanya fakir, semuanya 
ketinggalan jamaah pertama (bersama imam). Jadi kalau kita bersandar dengan:

"Adakah seseorang yang mau bersedekah kepadanya. Maka (seseorang itu pun) 
shalat bersamanya".

Hal itu tidak bisa tepat. Perumpamaan ini tidak sah untuk dijadikan dalil 
bagi peristiwa kedua (yaitu, bagi serombongan orang melakukan shalat jamaah 
kedua).

Sisi pengambilan dalil lainnya yang mereka bawakan adalah sabda beliau:

"Artinya : Shalat berjamaah dibanding shalat sendiri, keutamaannya dua puluh 
tujuh derajat".

Mereka mengambil dalil ini, berdasarkan pemahaman bahawa al pada kalimat 
al-Jamaah adalah li as-syumul (bagi keseluruhan). Artinya, bahwa semua 
shalat jamaah (baik pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, ed) di dalam satu 
masjid memperoleh keutamaan bila dibandingkan shalat sendirian.

(Untuk mengomentari itu) kami akan mengatakan berdasarkan dalil terdahulu: 
Sesungguhnya al di sini bukan untuk keseluruhan, akan tetapi al dimaksud 
adalah li al-'ahdi (untuk penunjukan). Maksudnya, menunjuk kepada shalat 
jamaah sebagaimana disyariatkan Rasul Allah yang semua manusia dihasung 
kepadanya. (Bahkan), beliau mengancam orang-orang yang meninggalkannya 
dengan ancaman akan membakar rumah-rumah mereka dan Rasul Allah juga 
memberikan sifat kepada orang-orang yang meninggalkannya dengan sebutan 
munafiqin. Adalah shalat jamaah yang memiliki keutamaan dibanding shalat 
sendiri, yaitu shalat jamaah yang pertama. Wallahu Ta'ala a'lam.


[Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA, oleh Syaikh Muhammad 
Nashiruddin Al-Albani, Penerbit Yayasan Al-Madinah]

Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=172&bagian=0







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Join modern day disciples reach the disfigured and poor with hope and healing
http://us.click.yahoo.com/lMct6A/Vp3LAA/i1hLAA/TXWolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

--------------------------------------------
Website Anda: http://www.assunnah.or.id & http://www.almanhaj.or.id
Website audio: http://assunnah.mine.nu
Berlangganan: [EMAIL PROTECTED]
Ketentuan posting : [EMAIL PROTECTED]
--------------------------------------------
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/assunnah/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke