Metrobalikpapan.co.id | Minggu, 14 Maret 2010 | Analisa Densus 88 Mabes Polri bahwa Dulmatin disokong oleh kelompok "mujahidin" Banten terbukti. Satu dari dua teroris yang tewas di Aceh Jumat lalu adalah pimpinan mereka yakni Jaja alias Pura Sudarma alias Maman. Jaja adalah tokoh besar di dunai pergerakan teroris eks kombatan Afghanistan dan Mindanao.
"Informasi dari investigasi teman-temannya yang ikut tertangkap dan menyerah, yang bersangkutan memang gurunya Imam Samudera dan terkait dengan pengeboman Kedubes Australia 2004," ujar Kadivhumas Mabes Polri Irjen Edward Aritonang saat menjadi pembicara dalam diskusi "Masih Ada Teroris" di Cikini, Jakarta kemarin (13/03). Menurut Edward, Jaja sudah dalam keadaan terluka parah saat tersergap dalam razia di Leupeung, Aceh Besar. "Dia terluka dalam operasi di pegunungan lalu dibawa lari keluar Aceh," katanya. Namun, upaya menuju Belawan Medan melalui Meulabouh itu gagal karena tercium tim pemburu di Leupeung. Saat ditemukan tewas, Jaja sebenarnya sudah luka parah. "Bahkan mereka membeli minyak wangi dalam jumlah banyak untuk menutupi bau busuk luka-luka yang dideritanya," kata jenderal dua bintang itu. Namun, walau para anggota kelompok membenarkan bahwa yang bersangkutan adalah Jaja, polisi masih melakukan pengecekan ulang. "Kita akan periksa secara teliti agar tidak simpang siur," katanya. Dengan keterlibatan Jaja dan kelompoknya berarti Dulmatin berhasil menyatukan faksi-faksi kelompok teroris dalam satu wadah. Mereka tidak hanya berasal dari anggota Al Jamaah Al Islamiyah ( JI) saja namun juga kelompok Ring Banten, faksi Darul Islam, faksi Jundulloh, faksi Angkatan Mujahidin Islam Nusantara dan faksi-faksi lain yang masih ditelusuri polisi. "Kita mendalami keterkaitan antar satu orang dengan yang lainnya. Satu kelompok dengan yang lain. Karena itu, sebenarnya prioritas polisi adalah menangkap hidup agar bisa ditanya siapa saja temannya," kata Irjen Edward. Mantan juru bicara kasus Bom Bali 1 itu membantah kalau polisi sengaja menghabisi Dulmatin agar tidak diajukan ke persidangan. "Anggota di lapangan itu punya prosedur tetap, termasuk jika terancam jiwanya. Teroris kan memang sudah siap, melawan atau mati," kata Edward. Jika memang hasil tes dna dan pengecekan ciri fisik Pura Sudarma itu benar-benar Kang Jaja maka polisi benar-benar mendapat tangkapan kakap. "Kami sangat mengapresiasi anggota yang berhasil menyergap," kata Edward. Namun, kata dia, polisi baru akan mengkonfirmasi setelah seluruh tes lengkap. Jaja ini memang bukan orang sembarangan. Lembaga peneliti terorisme dan konflik International Crisis Group ( ICG) dalam laporannya menyebut Jaja adalah perekrut utama dalam kasus pengeboman Kedutaan Australia 2004. Ia bergabung di Darul Islam sejak tahun 1985. Jaja cukup berada, karena ikut memiliki dan mengelola sebuah perusahaan kurir, CV Sajira Media Karsa " nama yang sengaja dipilih karena huruf-huruf awalnya mengikuti inisal sang pendiri Darul Islam, Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Menurut sumber Jawa Pos, Kang Jaja mulai memberi latihan militer secara sporadis kepada anak buahnya di tahun 1996, di Malimping, Banten melalui seorang pria bernama Nurudin alias Zaid Butong, ahli kung fu dari Solo yang merupakan rekan sekelas di Afghanistan dari tokoh JI Thoriquddin alias Abu Rusdan dan Mustofa. "Keponakan Jaja yakni Iwan alias Rois adalah pelaku pengeboman Kedutaan Australia 2004. Kang Jaja juga mengirim orang ke Mindanao, juga ikut menanggung pembiayaan serta menyediakan tempat untuk memberi pelatihan awal di Cimelati, Pasir Eurih, Saketi, di Banten," kata sumber yang mantan kombatan Afghanistan itu. Ring Banten pimpinan Kang Jaja tidak pernah menjadi bagian dari JI dan tidak berada dibawah tanggung jawab struktur komandonya. Namun, sejak tahun 1999, kelompok tersebut menyelenggarakan kegiatan pelatihan militer secara terpisah di Pandeglang, Banten, yang kadang kala mengundang anggota JI untuk menjadi instruktur. Para mujahidinnya juga dikirim menuju lokasi konflik antar-agama di Ambon dan Poso, sedangkan anggotanya sendiri dikirim ke Mindanao untuk mengikuti pelatihan. Sumber Jawa Pos menyebut hingga tahun 2002 Ring Banten telah membeli puluhan pistol dan senapan otomatik, 25.000 butir amunisi dan ratusan kilo bahan peledak, serta dua buah peluncur granat bertenaga roket. "Yang ditemukan di Aceh sebagian adalah inventaris Ring Banten," kata ustad itu kemarin. Kang Jaja juga pernah mendirikan kamp pelatihan bersama di Pendolo, di pinggir Danau Poso di Sulawesi Tengah. Diantara para mujahidin di Poso, Pendolo dikenal sebagai markas bagi tiga kelompok terpisah: JI, Laskar Jundullah, dan Darul Islam. Ada dua fraksi DI disana. Yang satu dipimpin Kang Jaja dan keponakannya Iwan alias Rois. Yang lainnya dipimpin seseorang yang setia kepada Ajengan Masduki dan merupakan anak didik Ahmad Said Maulana bernama Syaiful alias Fathurrobi alias Harun, asal Cilacap, Jawa Tengah. Hubungan Ring Banten dengan JI di Poso meningkat antara 2000-2002, terus dibina sejak dilakukannya pelatihan bersama para veteran Afghanistan pada tahun 1999. Sebagian besar adalah anggota Mantiqi I, divisi wilayah JI yang mencakup Malaysia dan Singapura dan awalnya dipimpin oleh Hambali, karena seorang anggota Mantiqi I " Imam Samudra " yang berasal dari Banten, serta merupakan teman karib dan bekas teman sekelas di SMU dengan Ustadz Heri Hafidzin, seorang anggota Ring. Dalam diskusi yang sama, pengamat terorisme Mardigu Wowiek Prasantyo menilai bergabungnya kelompok-kelompok di bawah komando Dulmatin adalah akibat dari keterbatasan gerak dan dana mereka. "Karena itu nama jamaah ditinggalkan dan bergabung menjadi satu untuk saling mendukung. Lagipula ideologi perlawanan mereka sama," katanya. Bahkan, kata Mardigu, saking terpepetnya kebutuhan pendanaan di kelompok baru hasil gabungan para militan ini, mereka berusaha menjual ganja di Aceh. "Penjualan ganja di Aceh sangat mudah dan bisa untuk menghidupi gerakan. Mereka juga bisa merampok di Sumatera Utara," katanya. Hal itu, kata Mardigu, terinspirasi oleh penjualan opium yang dilakukan beberapa faksi mujahidin di Afghanistan. "Dari pesan mereka yang diupload di video youtube jelas bahwa mereka dalam kondisi butuh dana dan butuh anggota baru. Mereka bahkan mengkritik anggota kelompok yang memilih tidak mengangkat senjata," katanya. Mantan anggota Komando Jihad yang pernah dipenjara dalam kasus pembajakan pesawat Garuda Woyla 1981 Umar Abduh mengaku heran jika Jaja baru ditangkap sekarang. Dia menilai polisi tebang pilih menangkap teroris. "Soal Jaja itu saya pernah kasih data ke polisi tapi tak pernah ditangkap. Bahkan saya konfirmasi ke komandan Densus waktu itu kata komandan itu biar saja tak usah ditangkap dulu," kata Umar. Perusahaan ekspedisi milik Jaja, kata Umar, juga tak pernah diselidiki polisi. "Jadi tebang pilih itu bukan hanya kasus korupsi tapi juga kasus terorisme. Mereka itu dibiarkan saja dengan kepentingan tertentu," kata Umar yang dipenjara di era Soeharto itu. Dikonfirmasi soal tudingan Abduh, Edward membantah. "mana mungkin kami tebang pilih. Justru karena kami berdasar hukum dan undang-undang maka tidak bisa sembarangan. Misalnya perusahaan itu bisnis murni ya tidak bisa dikaitkan, atau orang ikut pengajian terus dianggap teroris ya tidak bisa dong," katanya. Edward mencontohkan, beberapa anggota kelompok Dulmatin disergap di Pamulang. "Apa lantas setiap warga Pamulang itu teroris, wah polisi bisa dihujat ribuan orang dong," katanya. www.AstroDigi.com (Nino Guevara Ruwano) -- Posted By NINO to BISNIS ONLINE at 3/14/2010 05:40:00 PM