Aku suka sekali opini ini. so correct and terperinci...... ยป Opini Kamis, 14 Agustus 2008 Bali Ternyata hanya ''Destination Of Yesterday" Oleh Berata Ashrama
PARADOKS! Kata ini, mungkin, tepat menggambarkan peringkat Bali dalam indeks daya saing pariwisata dunia. Paradoks, karena Bali yang selama ini selalu dipuji -- sebagai pulau impian (the island of dreams), sorga terakhir (last paradise), pulau damai (the island of peace), pulau dewata (the island of God), bahkan the best destination of the world, dan segudang sanjungan memabukkan lainnya -- namun kenyataannya hanya destination of yesterday (destinasi kemarin). Sebuah predikat yang bisa dipahami sebagai ''DTW basi atau masam'' karena sudah mengalami proses pembusukan. Rakyat dan pecinta Bali tak perlu marah. Sebab, World Travel & Tourism Council (WTTC) melalui World Economic Forum (WEF) sudah mengumumkan ke publik posisi Indonesia -- Bali ada di situ -- di urutan 60 dalam indeks daya saing pariwisata dunia. Swiss, Prancis berada di puncak anak tangga, menyusul Austria, Jerman, Irlandia, USA, Hongkong, Kanada, Singapura, Luksemburg dan Inggris masuk peringkat 10, Jepang 25, Taiwan 30, Malaysia 31, Korea 42, dan Thailand urutan 43. Dalam penentuan peringkat tersebut, WTTC menggunakan 13 aspek perhitungan (indikator) dengan pendekatan kualitas dan keandalan destinasi jangka panjang (long-term mainstay): (1) peraturan dan kebijakan pemerintah; (2) kualitas lingkungan; (3) keselamatan dan kenyamanan; (4) kebersihan dan kesehatan; (5) prioritas sektor pariwisata; (6) infrastruktur transportasi darat; (7) infrastruktur transportasi udara; (8) teknologi informasi; (9) infrastruktur pariwisata; (10) harga; (11) kualitas sumber daya manusia; (12) persepsi pariwisata nasional; (13) sumber daya alam dan kebudayaan. Di dalam memaknai 13 indikator tersebut, Bali (Indonesia) hanya unggul pada kriteria 10 (harga murah). Jadi, bisa dipersepsikan bahwa Bali (Indonesia) mampu bertahan di urutan 60 hanya karena ''strategi'' menjual murah Pulau Dewata dan kebudayaannya. Ini menguatkan stigmatisasi ''jual-beli kepala'' yang heboh belakangan di Bali, atau ''menginap lima kali, bayar dua kali'' atau ''hanya bayar sewa kamar dapat breakfast, spa, sport, souvenir'' atau dalam skala mikro yang menyentuh pelaku budaya ''seniman dipanggil pentas di depan wisatawan asing (hotel) dengan bangga menyatakan OK walau diangkut truk dan bayarannya di bawah standar''. tandar, memang, nyaris tak terdengar di Bali. Kalaupun ada, biasanya, mentah-mentah mengikuti kemauan pasar (price taker). Jadi, tak salah disebut ''Bali untuk pariwisata'' dan bukan ''pariwisata untuk Bali''. Perihal standardisasi, komponen Bali terutama private sector (pelaku bisnis) dan public sector (penguasa) memang jarang bangga dengan kekuatan lokal. Karenanya, pasti susah mendukung penguatan standar mengacu ke local genius (kearifan lokal), walau sesungguhnya itulah yang dicari turis. Selain WTTC, Badan Pariwisata Dunia (UN-WTO) mengeluarkan juga ramalan turisme masa depan dengan pendekatan jumlah/kuantitas, dan Cina diposisikan paling atas karena diperkirakan mampu meraup 130 juta wisman tahun 2020, Prancis (106 juta), AS (102 juta), Spanyol (73,9 juta), Hongkong (56,6 juta), Italia (53,5 juta), Inggris (52,8), Meksiko (48,9 juta), Rusia (48 juta), Cheko (44 juta). Apa Bali (Indonesia) yang punya ''strategi'' harga murah bisa unggul tahun 2020? Tidak! Bali (Indonesia) diperkirakan jeblok ke peringkat 100 jika pola pengembangan pariwisatanya sama seperti sekarang. Ramalan UN-WTO ini ada baiknya dipakai bahan mawas diri untuk lebih serius belajar kepada destinasi unggulan dunia yang tidak menjual murah pulau dan budayanya. Sebab, cara ini justru membuat reputasi dan integritas Bali tambah melorot, sekaligus mempercepat ''proses pembusukan'' tadi. Pembusukan Pembusukan yang paling kentara selama ini -- dan, kalau diteruskan praktis menambah buram Pulau Dewata -- adalah berkaitan dengan (1) penataan ruang makin kacau-balau karena Perda RUTRW Propinsi sudah kedaluwarsa, komitmen penguasanya rendah, dan penegakan hukumnya lembek; (2) pengembangan produknya salah haluan; (3) manajemen destinasinya amburadul; (4) pembangunan infrastruktur kepariwisataan dan pendukungnya salah kaprah. Inilah penyebab utama daya tarik Bali menurun (less competitive), posisi tawarnya melemah (bargaining less position), produk duplikasinya diambil --alih pesaing, dan produk intinya -- itu tadi -- didikte pasar (price taker). Karenanya, tidak usah marah kalau predikat destination of yesterday jatuh bagaikan anak panah lepas dari busurnya menancap ke pusar Bali, terus menghalau ''turis bermutu'' dengan digantikan ''turis murah'' yang length of stay-nya pendek, spend of money-nya rendah, daya rusaknya tinggi. Kita sebut daya rusaknya tinggi karena tak semua ''turis murah'' datang ke Bali untuk menikmati harga murah, tetapi tak sedikit di antara mereka datang untuk mencari pekerjaan, bisnis narkoba, mabuk-mabukan, mengumbar nafsu seks. Ini praktis menambah kelam langit Bali, dan oleh karenanya jangan terkejut nanti kalau dipredikati last year's destination. Penguasa Bali dalam dua dasawarsa terakhir memandang kepariwisataan hanya dari dimensi industri. Memburu pertumbuhan, mengabaikan pemerataan. Mencambuk produktivitas, menafikan loyalitas. Memompakan efisiensi, meremehkan efektivitas. Terlalu percaya kepada teori menetes ke bawah (trickle-down) sehingga keberpihakannya lebih berat ke pengusaha, bukan ke rakyat. Jadi, benar cerita Gubernur Bali terpilih Made Mangku Pastika bahwa tatkala kampanye ke desa-desa dulu, dirinya menemukan banyak krama Bali berpenghasilan Rp 10.000/hari untuk menghidupi empat kepala (suami, istri, dua anak). Sementara di seberang sana orang-orang bergelimangan dolar. Rakyat Bali, memang, hanya jadi objek, bukan subjek. Cara ini akhirnya melahirkan mentalitas eksploratif, eksploitatif, intoleran, imbalance, disharmoni terhadap alam dan budaya. Pelakunya tidak semata-mata rakyat miskin akibat tekanan perut lapar, tetapi justru lebih sporadis dan destruktif dilakukan oleh oknum penguasa dan si serakah berkantong tebal. Penulis, Pemimpin Umum/Perusahaan Media Pariwisata Bali Travel News dan Ketua Pengurus Alumni FE Unud * Penguasa Bali dalam dua dasawarsa terakhir memandang kepariwisataan hanya dari dimensi industri. * Tak semua ''turis murah'' datang ke Bali untuk menikmati harga murah, tetapi tak sedikit di antara mereka datang untuk mencari pekerjaan, bisnis narkoba, mabuk-mabukan, mengumbar nafsu seks. * Rakyat Bali, memang, hanya jadi objek, bukan subjek. Cara ini akhirnya melahirkan mentalitas eksploratif, eksploitatif, intoleran, imbalance, disharmoni terhadap alam dan budaya.