aya nu matak helok dina ieu artikel

nu nulis jiga ngahajakeun, nyingkahan identitas sunda, padahal
jelas-jelas, upama dirunut dina istilah nu dipake, pakait jeung
kaulinan khas urang sunda. contona bae apan basa nu dipake dina eta
kaulinan teh, meleg-meleg basa sunda:  cing kiripit (ciripit) tulang
bajing kacapit. kunaon nya? pedah eta kitu, artikelna dimuat di
kompas, koran nasional? atawa era kitu mun ditulis eta kaulinan teh
kaulinan barudak di tatar sunda? teuing.

salian ti eta, majar eta kaulinan teh kaulina urang leuweung
(pedalaman), naha enya kitu? teuing oge. hehehe. (mh)


====
Kompas. Kamis, 06 Desember 2007

11Forum
Potret Permainan Tradisional di Indonesia

Oleh Dani Wardani

Cing kiripit tulang bajing kacapit.... Masih ingatkah Anda dengan
potongan kalimat tersebut? Sambil mendendangkannya, ujung telunjuk
tangan kita dan pemain lainnya lekat di telapak tangan seorang teman
yang ditunjuk. Akhirnya, beriringan dengan selesainya nyanyian itu,
secara cekatan telunjuk kita harus cepat ditarik dari telapak tangan
tersebut. Siapa yang telunjuknya tertangkap, dialah yang menjadi
pemain awal atau ucing.

Peraturan tersebut adalah salah satu cara anak-anak kita, terutama di
pedalaman, dalam mengikuti atau menentukan pihak untuk memulai
permainan tradisional. Begitu sederhana, unik, dan kreatif. Siapa pun
yang pertama kali menciptakan aturan ini sangat memerhatikan
nilai-nilai sportivitas serta memegang prinsip-prinsip kejujuran dan
sikap taat aturan.

Dalam pelaksanaan permainan tradisional, hampir tidak pernah ditemukan
sikap protes, melanggar aturan yang disepakati, dan sakit hati di
antara pihak-pihak yang bermain. Maka, tidak mengherankan, jenis
permainan ini begitu banyak peminatnya.

Karakteristik

Permainan tradisional memiliki karakteristik tersendiri yang dapat
membedakannya dengan jenis permainan lain. Pertama, permainan itu
cenderung menggunakan atau memanfaatkan alat atau fasilitas di
lingkungan kita tanpa harus membelinya.

Salah satu syaratnya ialah daya imajinasi dan kreativitas yang tinggi.
Pasalnya, si pemain harus bisa menafsirkan, mengkhayalkan, dan
memanfaatkan beberapa benda yang akan digunakan dalam bermain sesuai
dengan yang diinginkan. Tanpa daya imajinasi dan kreativitas yang
tinggi, tuas daun dari pohon pisang, misalnya, tidak mungkin bisa
disulap menjadi bentuk permainan bedil-bedilan (pistol-pistolan) atau
kuda-kudaan oleh seorang anak.

Karakteristik kedua, permainan tradisional dominan melibatkan pemain
yang relatif banyak atau berorientasi komunal. Tidak mengherankan,
kalau kita lihat, hampir setiap permainan rakyat begitu banyak
anggotanya. Sebab, selain mendahulukan faktor kegembiraan bersama,
permainan ini juga mempunyai maksud lebih pada pendalaman kemampuan
interaksi antarpemain (potensi interpersonal).

Permainan pris-prisan, misalnya, tidak bisa dimainkan sendiri. Begitu
pula dengan sederet permainan lainnya, seperti petak umpet, boy-boyan,
congklak, dan somdah. Meski demikian, tetap ada beberapa permainan
tradisional yang dimainkan sendiri.

Ketiga, permainan tradisional menilik nilai-nilai luhur dan
pesan-pesan moral tertentu. Menurut Sierly, penggagas lomba kau-linan
budak di Spirit Camp, bebe-rapa permainan tradisional tidak sekadar
menghilangkan stres anak atau membuat fokus dalam pelajaran, tetapi
juga mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, kejujuran, tanggung jawab,
sikap lapang dada (kalau kalah), dorongan berprestasi, dan taat pada
aturan. Semua itu didapatkan kalau si pemain benar-benar menghayati,
menikmati, dan mengerti sari dari permainan tersebut.

Situasi aktual

Permainan tradisional lahir dari hasil kreativitas yang bersumber pada
nilai-nilai kearifan lokal. Dalam bahasa Van Peursen, hal itu
merupakan sebuah manifestasi kebudayaan setiap orang dan kelompok yang
mengarah pada segala perbuatan manusia, seperti cara menghayati
kehidupan. Begitu penting permainan tradisional sehingga pemerintah
melalui Dinas Kebudayaan memasukkannya sebagai salah satu bidang
garapan. Hal ini merupakan upaya untuk mengonservasi, mendata,
merawat, dan melestarikan nilai-nilai budaya kita.

Menurut Hamzuri dan Tiarma Rita Siregar dalam bukunya, Permainan
Tradisional Indonesia, permainan tradisional memiliki ragam bentuk dan
variasi yang begitu banyak. Setidaknya ada 750 macam permainan
tradisional di Indonesia, dan banyak yang belum terinventarisasi. Hal
ini mengidentifikasikan bahwa permainan tradisional Indonesia sangat
melimpah.

Namun sayang, dari sekian banyak permainan tradisional tersebut,
sekarang ini keberadaan sebagian di antaranya sangat sulit ditelusuri
dan dilacak, atau bisa dikatakan terancam punah. Hal ini disebabkan
antara lain oleh pergeseran zaman. Si pengguna mainan tradisional,
terutama anak-anak kita, sudah jarang memainkannya.

Komentar sebagian besar anak Indonesia sekarang, bermain petak umpet
atau kelereng, misalnya, tidak up to date lagi. Mereka lebih senang
dan tertarik menyendiri dan mengunci kamarnya sambil asyik
memijit-mijit tombol stik playstation, yang tidak pernah mengajarkan
nilai kepedulian sosial.

Dibutuhkan upaya maksimal baik dari jajaran pemerintah melalui dinas
terkait maupun masyarakat sebagai pelaksana dalam melestarikan produk
budaya permainan tradisional yang kaya akan nilai-nilai luhur dan
pesan moral. Tanpa usaha seperti itu, bersiaplah anak-anak generasi
kita sekarang dan mendatang menjadi pribadi yang tidak memiliki
identitas kebudayaan.

Dani Wardani Peminat Masalah Budaya

url: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/06/Jabar/29891.htm

Kirim email ke