Akhlak Terhadap Guru 

Yang dimaksud dengan guru ialah orang yang berjasa mengajarkan ilmu 
pengetahuan kepada murid. Dalam hal guru, bisa dibedakan antara guru 
pengajar dan guru pendidik. Pengajar adalah orang yang berjasa 
mentranfer ilmu pengetahuan, sedangkan pendidik adalah orang yang 
berjasa menanamkan pola tingkahlaku tertentu. Ukuran keberhasilan 
guru pengajar terletak pada kemampuannya mentransfer ilmu pengetahuan 
sehingga si murid menguasai ilmu yang diajarkan. 

Penguasaan ilmu oleh si murid dapat diketahui melalui metode ujian 
atau test, dan tingkat penguasaannya dapat dituangkan dalam bentuk 
nilai 0-100 atau indek prestasi 0-4. Sedangkan ukuran keberhasilan 
guru pendidik dapat dilihat pada ketrampilan, kedisiplinan dan 
konsistensi tingkahlaku anak didik sepanjang hidupnya.
Kedudukan guru dan orang tua dari segi etik adalah sejajar. Orang tua 
berjasa membesarkan anak, sementara guru berjasa mengenalkan ilmu 
pengetahuan dan menanamkan pola tingkahlaku sehingga memungkinkan 
seseorang mengembangkan konsep dirinya beraktualisasi diri menjadi 
sosok manusia yang didambakan, baik oleh dirinya maupun oleh 
keluarganya atau bahkan oleh masyarakatnya. Peran orang tua dan peran 
guru bisa dilakukan oleh dua orang yang berbeda, bisa juga oleh orang 
yang sama. Maksudnya bisa terjadi seorang ayah atau ibu adalah juga 
seorang guru bagi anaknya, baik guru dalam bidang ilmu pengetahuan 
maupun guru dalam bidang kehidupan.

Dalam dunia persilatan, seorang guru atau suhu sangat dihormati dan 
dipatuhi, baik secara teknis maupun secara etis. Kepatuhan adalah 
sikap mental, oleh karena itu seorang guru tidak otomatis dipatuhi 
oleh muridnya, melainkan terlebih dahulu hams membuktikan "kelebihan" 
yang dimilikinya di mata murid.

Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat tiba-tiba menjadi pengajar 
dari suatu cabang ilmu pengetahuan, tetapi tidak untuk menjadi 
pendidik. Dari pengalaman penulis dalam dunia pendidikan menjadi guru 
di SD/SLP dan SLA, sepuluh tahun pertama penulis menjadi guru belum 
cukup mengantarnya menjadi pendidik. Baru pada tahun ke tigabelas, 
penulis merasa menjadi pendidik, bukan hanya sekedar menjadi 
pengajar.. Pusat perhatian seorang pengajar adalah pada transfer ilmu 
pengetahuan di kelas, dan kriterianya sudah diatur dalam metodologi 
pengajaran. Seorang pengajar merasa telah menyelesaikan tugasnya di 
kelas, dan apa yang terjadi di luar kelas merasa bukan menjadi bagian 
tugasnya. Oleh karena itu seorang pengajar pada umumnya hanya jengkel 
menghadapi problem murid, bukan memprihatinkannya.

Perasaan seorang pengajar kepada murid lebih terfokus pada konteks 
dirinya sebagai petugas, bukan pada kontek murid sebagai anak didik. 
Sedangkan pusat perhatian seorang pendidik adalah pada anak didik 
sebagai kesatuan pribadi manusia. Seorang pendidik akan sangat sedih 
jika melihat anak didiknya mengalami penurunan prestasi, dan is 
berusaha mencari akar permasalahannya, tak peduli apakah 
permasalahannya di kelas atau di luar kelas. Seorang pengajar akan 
dengan mudah tidak masuk kelas hanya karena merasa terganggu 
kesehatannya, tetapi seorang pendidik tetap akan berusaha hadir di 
kelas meski kesehatannya kurang mengizinkan.

Penulis, pada tahun ke tigabelas menjadi guru, baru merasa menjadi 
pendidik setelah bertemu dengan dua pengalaman:

Pertama: bergaul dengan seorang kepala sekolah yang sungguh sangat 
dedikatip dalam dunia pendidikan. Kepala Sekolah tersebut seorang 
yang sebenarnya berstatus sosial tinggi, tetapi perhatiannya kepada 
tugas kependidikannya sangat tinggi. Ia selalu menengok mu-rid yang 
sakit, menjenguk guru yang sakit, hadir dalam setiap undangan hajatan 
wali murid, satu hal yang bagi penulis pada mulanya sangat 
merepotkan, tetapi lama-kelamaan ikut menghayati makna tugas 
kependidikan secara konprehensip.

Kedua: setelah penulis berkenalan dengan tugas-tugas guru Bimbingan 
dan Penyuluhan (BP), atau Konseling pendidikan. Sebagai guru BP, 
penulis akhirnya mengetahui problem yang sebenarnya dari seorang 
murid sebagai anak manusia. Penulis menjumpai seorang murid yang 
sebenarnya cerdas, religius, tetapi terkadang tiba-tiba berperilaku 
aneh. Dari pendekatan yang selalu penulis lakukan akhirnya penulis 
tahu bahwa murid tersebut mengalami problem krisis identitas. la 
meragukan siapa jati dirinya setelah mengetahui dari guru biologinya 
bahwa dari golongan darah yang dimilikinya tak mungkin lahir dari dua 
orang yang selama ini dikenal sebagai ayah ibunya. Perasaan galau itu 
menjadi lebih dalam setelah memperoleh informasi dari rumah sakit 
bahwa pada tahun-tahun kelahiran dirinya pernah terjadi kasus bayi 
tertukar. Krisis identitas itu ternyata berakibat sangat serius dalam 
hubungan interpersonalnya dengan keluarganya, yang dampaknya melebar 
ke prestasi belajarnya, dan integritas dirinya. Kasus lain pernah 
penulis jumpai, seorang murid perempuan,

kelas tiga SLP sangat agresip kepada lelaki, termasuk kepada penulis. 
Penulis sering dibuat terkesima dan kikuk oleh agressifitas murid 
tersebut yang bernuansa seksual. Dari pendekatan yang penulis lakukan 
dapat diketahui bahwa anak tersebut ditinggal mati ayahnya ketika 
umur dua tahun dan sejak itu ibunya hidup menjanda. Gadis kecil itu 
rupanya tumbuh dalam rumah tangga yang sangat memprihatinkan. Karena 
rumahnya yang sempit ia sering memergoki ibunya berhubungan intim 
dengan lelaki kekasihnya yang tidak pernah menikahinya. Gadis belia 
itu telah teracuni oleh pemandangan yang tidak semestinya, tetapi 
keadaan tidak membantu mencarikan jalan keluar. Gadis itu rajin 
mengaji dan rajin menjalankan salat, dan prestasi sekolahnya juga 
tidak terlalu mengecewakan, tetapi alam bawah sadarnya sering datang 
muncul dalam wujud perilaku agressip, bahkan terhadap guru lelakinya 
seperti yang dia lakukan kepada penulis.

Sebagai guru BP penulis bukan hanya berhubungan dengan mu-rid tetapi 
juga dengan orang tua dari murid yang bermasalah, oleh karena itu 
penulis banyak sekali berjumpa dengan problem-problem "kemanusiaan" 
atau problem manusiawi, menyangkut murid, orang tua murid 
(masyarakat) dan juga rekan guru. Sebagai manusia, penulis sering 
mengalami konflik batin dalam menangani kasus-kasus konseling, tetapi 
sebagai pendidik, keprihatinan seorang guru lebih dominan. Penulis 
sangat akrab dengan problem anak didik, begitu akrabnya hingga 
terkadang terjadi bias cinta, antara cinta seorang guru dan cinta 
seorang lelaki.

Pengalaman berhubungan dengan problem anak didik (dan masyarakat) itu 
mengantar penulis pada keindahan perasaan seorang guru, baik ketika 
berhasil membantu orang lain maupun ketika menerima penghormatan yang 
tulus dari murid-murid. Sebagai pendidik, penulis sangat tertantang 
oleh problem yang dihadapi oleh murid (dan orang tuanya), seperti 
gairahnya seorang petinju menemukan lawan tanding yang seimbang atau 
lebih. Penulis sangat terharu ketika mengetahui bahwa ada sejumlah 
murid, meski tidak berjumpa selama lebih dari duapuluh tahun tetapi 
masih sering menyebut nama penulis sebagai gurunya ketika ia 
menasehati anaknya atau muridnya.

Dalam tradisi Islam, akhlak seorang murid kepada guru diwujudkan 
dalam berbagai bentuk, misalnya silaturrahmi secara berkala kepada 
guru, memperioritaskan sedekah atau infaq materiil kepada nya, 
memberi nama anaknya dengan nama guru, mohon nasehat dan doa restu 
kepada guru setiap mempunyai hajat stratetgis, sampai kepada mengirim 
fatihah dan menempatkan nama guru dalam susunan orang-orang yang 
tercatat dalam teks doa setiap ba'da salat atau pada event-event 
tertentu.

Wassalam,
agussyafii
====================================================================
Sekiranya berkenan mohon kirimkan komentar anda melalui 
http://mubarok-institute.blogspot.com atau [EMAIL PROTECTED]
====================================================================


Kirim email ke