Fatsun Politik (2)

By: Prof. Dr. Achmad Mubarok MA

Menurut penelitian Psikologi, 83 % perilaku manusia dipengaruhi oleh apa yang 
dilihat, 11 % oleh apa yang didengar dan 6 % sisanya dipengaruhi oleh campuran 
berbagai stimulus. Perilaku masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpinnya 
sangat dipengaruhi oleh gempuran budaya global. Dengan teknologi informasi (TI) 
Globalisasi mengubah dunia menjadi kampung kecil. Apa yang terjadi di suatu 
negeri pada saat yang sama dapat dilihat oleh seluruh penduduk bumi. 

Perang,skandal dan krisis yang ada di satu kawasan ditonton dan berimbas ke 
kawasan yang sangat luas seketika. Gagasan, mode, dan gaya hidup yang berasal 
dari kultur liberal menerobos masuk ke benteng-benteng tradisi. 

Budaya masyarakatpun porak poranda, nilai-nilai lama ditinggalkan,nilai-nilai 
baru meski belum jelas kualitasnya dirindukan. Ide-ide economic reform, 
political reform, HAM dan liberalisasi ditelan mentah-mentah tanpa filter 
budaya. Money politik tidak lagi menjadi mainan politisi. Orang-orang desa pun 
menuntut money politik dalam setiap even pilkada dan kampanye caleg. Korban 
lumpur lapindopun terilhami untuk sekaligus memeras ganti rugi dengan menaikkan 
harga tanahnya berlipat-lipat.

Sampai kapan keporak-porandaan budaya ini berlangsung ? nampaknya masih lama. 
Indonesia bukan hanya terdiri dari ribuan pulo dan ratusan etnik serta bahasa, 
tapi strata masyarakatnyapun berlapis. Ada lima lapis strata sosial masyarakat 
Indonesia. Paling atas ada kelompok ultra modern yang tinggal di kota-kota 
besar. Dibawahnya ada kelompok modern, juga di kota-kota. Dibawahnya ada 
kelompok besar, yaitu lapisan masyarakat urban, tersebar di kota-kota besar dan 
kota-kota kecil serta desa-desa di sekeliling kota. 

Lapis bawahnya ada kelompok masyarakat tradisionil, dan terbawah masih ada 
kelompok terbelakang. Lima lapis ini menerima stimulus yang sama dari dunia 
global berupa siaran televisi, mode pakaian dan menu makanan serta teknologi 
informasi. Jika kelompok ultra modern dan sebagian modern sudah bosan melihat 
ekpressi kebebasan demontrasi, kelompok urban justeru sedang-nikmat-nikmatnya 
merasakan kebebasan; bisa melempari polisi dengan batu, merobohkan pintu 
gerbang kantor kantor pemerintahan, membakar ban di jalanan dan sebagainya. 
Belum lagi kasus korupsi . 

Apa yang dilakukan  oleh KPK disatu sisi membanggakan,di sisi lain membuat hati 
miris, karena semua lapisan elit terlibat korupsi, eksekutip, legislatip dan 
yudikatip. Yang lebih menyedihkan, dalam tayangan TV tersangka korupsi nampak 
masih happy dan membantah tuduhan dengan sangat percaya diri.Baru setelah bukti 
rekaman diputar, perilakunya berubah menjadi kuyu dan lesu. 

Bagaimana mengubahnya ?

Cara berfikir masyarakat dipengaruhi oleh paradigma yang dianut. Tata nilai 
menyimpang tetapi ditolerir dalam  waktu lama bisa berubah menjadi budaya. 
Kebudayaan adalah gagasan, konsep, ajaran dan keyakinan yang dianut masyarakat 
dalam waktu lama,konsep mana kemudian digunakan sebagai panduan dalam memenuhi 
kebutuhan hidup sehari-hari. Gagasan buruk akan melahirkan perilaku buruk, dan 
jika berlangsung lama maka jadilah bangsa ini berkebudayaan rendah, budaya yang 
kurang bermartabat. 

Untuk mengubah budaya masyarakat caranya juga dengan mengubah paradigma, dengan 
proses pembudayaan,  yakni membudayakan nilai-nilai tinggi. Pada era modern dan 
global sekarang maka pembudayaan nilai harus menggunakan infrastruktur modern. 
Transparansi misalnya akan sangat berpengaruh dalam pengendalian perilaku 
pemimpin. Ada tiga infrastruktur yang bisa menjadi pilar budaya bermartabat. 
Pertama Semua penduduk harus mempunyai Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) . 

Dengan NPWP, transaksi signifikan terkontrol.Kedua sistem filing digabung 
dengan sistem  administrasi kependudukan nasional. Semua kegiatan warga negara 
terekam dalam file yang bisa diakses oleh sistem. Ketiga penegakan hukum secara 
kosisten dan berkesinambungan. 

Tiga pilar ini akan mempersempit ruang warga untuk berperilaku menyimpang. 
Tetapi diatas segalanya karena bangsa Indonesia itu paternalistis, maka 
keteladanan pemimpin  akan memberikan kontribusi yang sangat besar dengan biaya 
murah dalam membangun fatsun politik. Sebagai contoh, sebelum pilpres 2004 
sudah ada deklarasi siap menang siap kalah dari seluruh capres, tetapi ternyata 
tidak seorang caprespun yang siap kalah. 

Buktinya tak seorangpun mantan capres yang mengucapkan selamat kepada SBY 
sebagai pemenang. Bu Mega malah merasa ditusuk dari belakang oleh SBY. Selama 
lima tahun pasca kekalahan, para ex capres kerjanya mengkritik pemenang tanpa 
sedikitpun mengapreasi suara rakyat yang memilihnya. Demikian juga pada setiap 
peringatan proklamasi kemerdekaan di istana, mereka tidak pernah hadir ke 
istana. Perilaku elit politik seperti ini akhirnya ditiru oleh cagub-cagub dan 
cabup yang kalah dalam pilkada.

Belajar kepada bangsa lain, betapa indahnya Hillary Clinton langsung mendukung 
Obama sedetik setelah ia kalah dalam convensi capres Demokrat, dan selanjutnya 
dia malah bersedia menjadi menlunya Obama. Betapa indahnya apa yang dilakukan 
oleh M Cain yang langsung mengucapkan selamat kepada Obama sedetik setelah 
penghitungan jelas memenangkan Obama. Betapa indahnya, dua mantan Presiden 
Amerika (Clinton dan Bush senior)  secara bersama, ditugasi oleh Presiden 
Prdesiden Bush untuk mewakili negaranya mengunjungi korban tsunami Aceh.

Nampaknya kini ditunggu ada orang-orang ahli dan arif yang secara diam-diam 
menyusun konsep-konsep kebangsaan kita untuk 50-100-200 tahun mendatang, 
mengiringi DPR dan MPR yang juga melakukan pekerjaan yang sama. Semoga.

sumber, http://mubarok-institute.blogspot.com

Wassalam,
agussyafii




      

Kirim email ke