================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
“Aja Dumeh”
Selasa, 28 April 2009 
Oleh : Sukardi Rinakit
Di sudut klinik dokter saraf dan penerbangan, saya sering duduk sendiri setelah 
menjalani terapi saraf terjepit. Tanpa telepon genggam, buku, dan kata-kata. 
Seperti kuda perang yang terikat kuat. Tak ada lagi lari kencang, kepulan debu, 
dan entakan kaki yang mencetuskan api. Padahal pertempuran politik sedang 
bergolak.
Hikmahnya, situasi seperti itu membuat saya bisa lebih bening mengamati ambisi 
pribadi para politisi, intrik antar teman, praksis kecurangan, dan penyingkiran 
para pendukung yang telah berkeringat ketika bau kemenangan mulai tercium. 
Semua kebusukan ini dibungkus dalam jargon demokrasi dan pengabdian kepada 
rakyat. Dengan demikian, siapa pun yang merasa di atas angin, ia akan cenderung 
memandang rendah yang lain.
Padahal, seperti dicatat oleh Wallace and Wolf (1995), kekuasaan adalah sumber 
konflik yang tak pernah kering. Tak heran jika para kiai kampung dulu sering 
menasihati agar kita menjauhi sikap aja dumeh (jangan mentang-mentang), apalagi 
kalau sedang berkuasa dan dilimpahi rezeki banyak. Semua itu adalah sumber 
kebakhilan jika tidak dikelola secara santun.
“Tanpa ngasorake”
Menyimak hasil pemilu legislatif, dengan jumlah orang yang tidak memilih 
sekitar 40 persen, klaim kemenangan sebuah partai politik menjadi terasa semu. 
Dengan kata lain, dukungan rakyat kepada partai-partai besar sebenarnya tidak 
terpaut jauh. Partai Demokrat dipilih oleh sekitar 20 juta orang. Sedangkan 
PDI-P dan Golkar, masing-masing mendapat sekitar 14,5 juta suara. Dengan 
selisih suara seperti itu, rasanya terlalu dini jika bendera kemenangan sudah 
dikibarkan.
Jika pilihan kepada partai secara simplistik dianggap sebagai preferensi 
pilihan kepada tokoh, sejatinya posisi presiden SBY belum tentu aman. Dengan 
demikian, pernyataan yang mengatakan bahwa SBY dipasangkan dengan sandal jepit 
pun akan menang adalah terlalu gegabah.
Jika sikap seperti itu juga menghinggapi yang lain (termasuk presiden SBY 
sendiri), kesan dumeh (sombong) menjadi tak terhindarkan. Tetapi, kekuasaan 
memang menggendong lupa. Ada kesan bahwa beberapa komentar Presiden SBY 
akhir-akhir ini terjerembab dalam hal tersebut.
Terhadap para ketua partai yang mengkritik kekacauan DPT dan kekisruhan hasil 
pemilu, misalnya, beliau mengatakan agar mereka jangan “galak-galak”. Meski 
halus, kesan represif menjadi sulit dihindari dalam konteks ini. Padahal, kalau 
Presiden SBY bersikap diam, apalagi kalau mau mengambil alih tanggung jawab 
terhadap kekisruhan itu, hati rakyat akan menjadi lebih tenteram. Tetapi sekali 
lagi, kekuasaan memang menggendong lupa.
Padahal, karakter manusia Indonesia adalah melodramatik. Mereka mudah kasihan, 
bosan, dan lupa. Tingkat pendidikan yang masih didominasi lulusan SMP kebawah 
menjadikan cengkeraman karakter melodramatik tersebut sulit dikikis. Kondisi 
ini diperburuk oleh kemiskinan rakyat dan praktik ketidakadilan yang sudah 
melembaga.
Dalam konstruksi masyarakat yang seperti itu, realitas politik cenderung 
bergerak nonlinier. Seorang tokoh yang sangat populer bisa tiba-tiba 
ditinggalkan begitu saja apabila ia melanggar prinsip menang tanpa ngasorake 
(menang tanpa membuat lawan menjadi malu). Sekali seorang tokoh menjadi sombong 
dan mempermalukan lawan yang kalah di depan umum, sentimen publik bisa 
bergeser. Mereka tidak lagi bersetia kepada pemenang, tetapi kepada figur yang 
dipermalukan tersebut.
Sebaliknya, jika mereka yang kalah bersatu dan berteriak-teriak terlalu keras 
mengecam yang menang, sentimen publik akan mengkristal kepada sosok pemenang. 
Ia akan menjadi pahlawan tanpa harus berkeringat, apalagi berdarah-darah.
Oleh sebab itu, biarlah para aktifis dan akademisi yang mengkritisi segala 
kekurangan pemilu legislatif. Sedangkan para ketua partai yang diremehkan dan 
sudah dianggap kalah, lebih baik diam sambil menekan ego pribadi, 
mengapitalisasi kekecewaan publik, mempersiapkan strategi, dan membangun 
koalisi.
Selain itu, mereka juga harus segera mengumpulkan kuda-kuda perang yang 
terpilih, yaitu para kognitariat (pekerja otak). Mereka adalah kumpulan 
orang-orang independen yang tidak lagi terpaku pada pakem-pakem baku, tetapi 
mampu menyelami alam bawah sadar pemilih. Gerakan mereka terkesan acak, tak 
terduga, tetapi sebenarnya sinergis menuruti fomula fuzzy logic.  
Jika dikelola semacam sistematis, para kognitariat tersebut akan menjadi energi 
yang mengalir tak putus-putus sehingga potensial meruntuhkan perilaku dumeh 
penguasa. Sebaliknya jika mereka diabaikan, bisa dipastikan politik akan 
bergerak linier dan sejarah dengan mudah akan direngkuh kembali oleh kekuatan 
Status Quo
Catatan Penutup
Melihat arus politik yang terjadi tampaknya blok perubahan nanti akan diisi 
oleh PDI-P, Gerindra, Hanura, Golkar, dan PPP. Sedangkan kekuatan kontinuitas 
mencakup PD, PKS, PKB, dan PAN. Suka atau tidak, komposisi tersebut boleh 
disebut ideal. Meski minus pertimbangan idiologis. Siapa pun yang terpilih 
menjadi presiden nanti, aja dumeh kuasa (jangan mentang-mentang bekuasa), Ia 
akan dibayangi mekanisme check and balances karena kekuatan kedua blok relatif 
seimbang.
Meski demikian, tidak seperti keadaan akan membaik secara cepat. Bedanya. Jika 
panji perubahan yang berkibar, ada mimpi baru berupa penerapan paradigma 
pembangunan yang berbasis pada prinsip-prinsip pasar sosial. Sebaliknya, bila 
blok kontinuitas yang menang, kehidupan akan berjalan datar seperti sebelumnya 
meski di permukaan kehidupan mungkin tampak lebih baik.
Banyak orang menyukai kehidupan yang datar tetapi tak berkarakter tersebut. Di 
sisi lain, ada individu-individu yang dalam dirinya, mengutip Albert Einsten, 
mempunyai energi setara dengan delapan bom neutron. Mereka mengganggap 
kehidupan yang datar, pengedepankan citra, adalah tak berjiwa. Anda pilih yang 
mana? Saya pilih penebar gelora! Maka, aja dumeh kuasa…  [SUKARDI RINAKIT 
Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate - Kompas]
-------
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke