================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pemerintahan Baru - Kabinet Indonesia Baru II Masa Bhakti 2009-2014 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Bermimpi adalah Hak Segala Bangsa
Minggu, 25 Oktober 2009 | 03:05 WIB
Oleh : JANSEN H SINAMO
Tidak hanya kemerdekaan merupakan hak segala bangsa. Impian pun demikian. Akan 
tetapi, bukan mimpi sembarang mimpi, bunga tidur yang terlupakan saat fajar 
menyingsing.
Impian besar mampu memotivasi segenap warga negara untuk bekerja keras. Mimpi 
agung yang memandu penduduk dengan nilai-nilai luhur yang membenam sakral di 
dalam impian itu. Mimpi akbar yang menyatukan mereka dalam satu nasionalisme 
mulia seraya mentransendensikan semua perbedaan mereka: ras, suku, etnis, 
agama, kultur, kelas, dan golongan. Mimpi yang kemudian meluluhkan mereka 
bersama dalam suatu rasa kebangsaan yang kompak dan bergetar-getar di sekujur 
tubuh bangsa itu.
Kini, Indonesia tidak lagi kompak bersatu persis karena mimpi agung itu telah 
berpendar semakin pudar. Entah kapan mulainya, virus sektarianisme meruyak 
dalam tubuh bangsa ini. Kita kerap bertikai, bertengkar, dan menghabiskan 
energi sehingga cita-cita Indonesia merdeka yang adil dan makmur semakin terasa 
bagai utopia kosong belaka.
Jangankan dengan Korea, China, dan India yang semakin jauh melaju, bahkan 
dengan Vietnam dan Malaysia pun kita semakin tertinggal. Tetangga yang disebut 
terakhir ini pun terasa semakin berani ”lancang dan kurang ajar”.
Reformulasi Pancasila
Situasi ini bukan mustahil semakin buruk. Contoh Yugoslavia yang telah bubar 
bisa terjadi di sini jika sesama elemen bangsa semakin tak bisa saling percaya; 
kecurigaan dan ketakutan berbasis suku-agama-ras-antargolongan (SARA) dibiarkan 
berkobar memecah belah, pengingkaran hakikat keindonesiaan yang Bhinneka 
Tunggal Ika berlangsung banal. Apalagi, jika kebiasaan buruk dalam praktik 
bernegara dipertontonkan terus: korupsi, kolusi, dan kompromi membiarkan 
diskriminasi, kebodohan, dan kezaliman semakin merajalela.
Kesatuan teritorial yang dimiliki sama sekali tidak memadai sebagai pengikat, 
seperti dibuktikan bekas Uni Sovyet. Hal ini sekaligus menegaskan, kita 
memerlukan sesuatu yang lebih fundamental: mimpi besar bersama yang memuat 
konsepsi, persepsi, perasaan, dan harapan kolektif tentang keindonesiaan kita 
yang baru.
Di atas fundamen inilah kemudian kita harus memperkuat demokrasi, memperbaiki 
kualitas pendidikan nasional dan mempertinggi pengetahuan masyarakat, serta 
membiakkan inovasi di segala bidang sehingga Indonesia bergerak pasti ke arah 
sosok bangsa maju: berketahanan, berkeunggulan, dan berkemenangan. 
Berkemenangan artinya sukses memerangi kemiskinan, kebodohan, korupsi, dan 
diskriminasi sehingga terwujudlah Indonesia yang adil, makmur, berwibawa, dan 
bermartabat di mata dunia.
Demikianlah ringkasan isi buku The Indonesian Dream: The Pursuit of a Winning 
Nation. Penulisnya, Elwin Tobing, seorang profesor ekonomi yang kini mengajar 
di Azusa Pacific University California.
Tercium aroma Pancasila? Tidak salah. ”The Indonesian Dream adalah suatu 
reformulasi modern Pancasila, lebih catchy dan dinamis, tetapi tetap 
sederhana,” ujar Tobing pada peluncuran buku ini di Jakarta, 4 September 2009.
Profesor muda yang lahir 16 April 1968 di Tarutung, Sumatera Utara, ini secara 
personal tentu bisa menghayati Impian Indonesia yang dia gagas. Dengan 
bermodalkan kerja keras, semangat akbar, dan impian agung - di tengah keserba 
kekurangan yang khas sebuah keluarga Batak - ia telah membuktikan bisa menembus 
IPB Bogor melalui jalur PMDK. Bahkan hingga ke Amerika Serikat: Northeastern 
University, University of Iowa, Harvard Business School, California State 
University Fullerton, dan Azusa Pacific University.
Tentu terbayang dalam benaknya, dari seluruh pelosok negeri dengan Impian 
Indonesia ratusan juta generasi muda akan mencetak prestasi masing-masing demi 
Indonesia.
Aktualisasi mimpi
Jadi, Indonesia memang perlu bermimpi lagi. Tepatnya, impian lama yang harus 
diaktualisasikan ulang, diperbarui dan diperkaya, dibikin hidup dan berdaya. 
Kita memerlukan mimpi segar yang sanggup mempersatukan putra-putri Indonesia 
dengan berkeinginan kuat akan suatu kehidupan nasional yang secara kualitatif 
berbeda dengan yang sekarang.
Seorang Ketut di Bali atau Bambang di Jawa, Ucok di Medan atau Pingkan di 
Manado, Usman di Aceh atau Bram di Papua, sebagai manusia-manusia baru 
Indonesia yang bernaluri, bernurani, dan bernalar sehat, pasti memiliki 
cita-cita akan kehidupan lebih baik, menyangkut kehidupan ekonomi, sosial, 
politik, kebudayaan, dan peradaban bangsa ini dalam konteks dunia terkini. 
Tobing membayangkan, meski mereka bhinneka secara SARA, tetapi tunggal ika 
secara impian keindonesiaan.
Tobing secara khusus menekankan strategisnya arti impian (dream) sebagai bentuk 
sublim Pancasila. Suatu ketika Soekarno pernah mereduksi Pancasila menjadi 
gotong-royong. Tetapi gotong-royong yang sifatnya kolektif itu menomorduakan 
kontribusi partikular para individu anggotanya. Juga sifatnya lebih statis 
karena kegotongroyongan mengerjakan sesuatu bisa selesai ketika pekerjaan itu 
rampung.
Sebaliknya, impian adalah konsep bersifat terus-menerus sehingga lebih dinamis. 
Karena itu, menurut Tobing, Impian Indonesia yang juga boleh diterjemahkan 
menjadi Cita-cita Indonesia secara kualitatif akan lebih mampu mempersatukan 
manusia-manusia modern Indonesia dibandingkan dengan ungkapan lama yang sudah 
lapuk sehingga kehilangan geregetnya itu.
Beberapa nilai dasar Indonesian Dream juga turut dijelaskan dalam buku ini, 
termasuk kejujuran, kerja keras, respek terhadap satu sama lain, tanggung 
jawab, dan ketangguhan. Pokoknya sehimpunan perilaku unggul yang biasa 
digolongkan sebagai etos profesional.
Untuk memajukan negeri ini di tengah zaman global yang penuh persaingan ketat 
dengan ilmu pengetahuan sebagai dasar untuk bisa sintas bahkan menang, 
Indonesia juga butuh paradigma yang menjadi kerangka berpikir, bersikap, 
merasa, dan bertindak bagi setiap insan Indonesia. Bukankah bangsa yang tangguh 
dibangun oleh individu-individu warga yang tangguh? Kembali di sini Indonesian 
Dream tampil esensial ketika difungsikan sebagai paradigma.
Kehadiran buku ini sungguh tepat waktu tatkala kabinet baru segera bertugas dan 
legislatif di seantero negeri mulai bekerja. Profesor Tobing tampak 
mempersembahkan bukunya bagi para punggawa republik yang semakin dia cintai 
justru ketika ia hanya bisa memandangnya dari seberang Pasifik. Ini mirip 
dengan Bung Hatta dan kawan-kawan dalam Perhimpunan Indonesia ketika menggagas 
Indonesia Merdeka di Belanda hampir seratus tahun lalu.
Hanya satu kekurangan buku ini: ia berbahasa Inggris, jadi jelas elitis. ”Tapi 
jangan khawatir,” kata Tobing, ”Saya akan pulang ke Indonesia untuk meluncurkan 
edisi bahasa Indonesia pada awal 2010.” [Jansen H Sinamo Penulis buku Delapan 
Etos Kerja Profesional, tinggal di Jakarta - Kompas]
 
Magnificat Choir Competition 2009 [MCC 2009] 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm [Alarm gempa] 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke