============ ========= ========= ========= ========= ====== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
============ ========= ========= ========= ========= ====== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Mensyukuri hasil Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Dalam Terang Cahaya Keheningan
Oleh: Gede Prama
Sebuah peradaban yang riuh, demikian sebuah komentar mencoba menyimpulkan 
kehidupan  di awal abad 21. Lebih-lebih ketika menghampar  bencana di 
mana-mana. Perang, bencana alam, krisis (energi, pangan). Berkaitan dengan 
krisis energi dan pangan, banyak yang sepakat kalau sedang terjadi kepanikan 
global.
Ada yang menelaah wajah peradaban ini tidak dengan analisis, namun dengan 
lelucon. Suatu hari  seorang pemuda kebingungan memilih isteri. Datanglah dia 
pada seorang sesepuh. Dan diberitahulah syarat-syarat calon isteri yang baik. 
Dari berwajah cantik, puteri orang kaya, bekerja, berkinerja dahsyat di tempat 
tidur sampai dengan bisa diminta mengepel lantai.
Ternyata, setelah dicari-cari  tidak ada wanita ideal seperti itu. Bila cantik, 
puteri orang kaya, wanita karir, maka harga yang harus dibayar, suaminya 
terpaksa mengisi keseharian dengan mengepel lantai, sambil bernyanyi sendu 
lirik lagu “diriku tak pernah lepas dari penderitaan”.
Semakin dipertentangkan, semakin panas...
Peradaban manusia serupa, setiap kelebihan meminta ongkos berupa kekurangan. 
Keserakahan hanya mau kelebihan, dan berharap kelebihan tidak berubah-ubah 
menjadi kekurangan, itulah awal kehidupan yang riuh dan penuh penderitaan.
Dulu ketika dunia dibuat takut oleh potensi perang bintang antara dua negara 
adi kuasa, tidak ada tanda-tanda ketakutan akan bom teroris. Sekarang ketika 
ketakutan perang global berhenti, bahkan memasuki hotel pun harus diperiksa 
petugas keamanan.
Nasib bangsa ini setali tiga uang. Ia terlihat berputar dari satu ketidakpuasan 
menuju ketidakpuasan lain, karena manusianya menolak semua kekurangan. Di zaman 
orde baru, sebagian hak-hak politik memang dikekang, tapi di zaman itu harga 
pangan, papan dan minyak terjangkau. Di zaman reformasi ini, kebebasan politik 
berkibar-kibar, siapa pun boleh dikritik, namun ia harus dibayar dengan harga 
pangan, papan dan minyak yang semakin jauh dari jangkauan. Persis sama dengan 
lelucon pemuda yang  bingung mencari isteri, setiap kelebihan harus dibayar 
dengan kekurangan.
Di tengah pengapnya peradaban oleh banyak sekali ketidakpuasan, tidak terhitung 
jumlah rapat, konferensi,  wacana, seminar sampai  kuliah tingkat tinggi di 
perguruan tinggi  yang mau mencoba mengurai situasi. Dan ternyata, semakin 
diperdebatkan peradaban jadi semakin panas.
Bila ada hasilnya, peradaban akan tambah sejuk. Namun sebagaimana  dirasakan 
bersama, bumi tambah panas baik secara fisik, psikologis, spiritual. Jika 
ditelusuri lebih dalam kehidupan manusia, ia ditandai kelahiran dengan tangisan 
bayi yang riuh, serta kematian plus tangisan orang yang ditinggalkan yang juga 
riuh. Bila di tengah-tengahnya juga riuh dengan perdebatan dan perkelahian, 
menimbulkan pertanyaan mendalam, kapan manusia punya kesempatan berjumpa 
keheningan?
Menjadi satu dengan alam
Alam sebagai guru bertutur terang, semuanya berubah, semuanya membawa 
kelebihan-kekurangan. Siang berganti malam, malam berganti siang. Bila gunung 
tinggi, jurangnya dalam. Diperdebatkan atau tidak, tetap seperti ini. Memahami 
dalam-dalam sifat alami inilah yang  membukakan keheningan.
Seorang guru yang punya banyak murid di Barat agak terang dalam hal ini. 
Tahapan memasuki pintu keheningan sebenarnya sederhana. Pertama-tama, belajar 
dari alam. Kemudian hidup sesuai prinsip-prinsip alami. Sebagai hasilnya, 
manusia bisa melihat kebenaran di balik alam. Dan ujung-ujungnya baru  bisa 
menjadi satu dengan alam. Sebelum  menyatu dengan alam, manusia akan terus 
berputar dari satu penderitaan ke penderitaan lain.
Ia yang  bersatu dengan alam tahu, ada bimbingan, ada kesempurnaan, ada 
keindahan di sana. Laut sebagai contoh, ia membawa bimbingan-bimbingan. Sama 
dengan hidup manusia, ada gelombang tinggi (baca: kaya, dikagumi), ada 
gelombang rendah (kehidupan orang biasa). Namun tanpa memandang tinggi-rendah, 
gelombang mana pun ikhlas dan rendah hati pada bibir pantai. Seperti sedang 
bercerita, ikhlas dan rendah hatilah, ini yang membuat kematian berhenti 
berwajah menakutkan.
Siapa yang mengisi kesehariannya dengan keikhlasan dan kerendahatian, akan 
menemukan bahwa alam sebenarnya sebuah perpustakaan agung. Berlimpah 
pengetahuan dan kebijaksanaan yang disimpan di sana.  Perhatikan laut lebih 
dalam lagi. Di permukaan ia senantiasa bergelombang. Sama dengan hidup manusia. 
Di kedalaman yang dalam, tidak ada gerakan apa lagi gelombang. Hanya hening 
yang melukis keindahan dan kesempurnaan.
Cermati apa yang ditulis Zenkei Shibayama dalam A Flower does not talk: 
“silently a flower blooms, in silence it falls away….pure and fresh are  the 
flowers with dew….calmly l read the True Word of no letters”. Bunga mekar tanpa 
suara, berguguran juga tanpa suara. Tanpa keluhan tanpa perdebatan. Ada 
kesucian yang menggetarkan dalam bunga yang berhiaskan embun pagi. Dalam 
bimbingan hening, tiba-tiba terbaca makna tanpa kata-kata. Zenkei Shibayama  
menyebutnya Scripture of no letters. Tanpa kata-kata, tanpa keriuhan. Hanya 
sebuah hati yang  berkelimpahan dalam dirinya!
Kembali ke cerita awal tentang peradaban yang riuh, dunia memang sedang 
dibelit  krisis. Namun ketika kata-kata, perseteruan  memperpanas suhu panas 
peradaban yang sudah panas, mungkin ini saatnya membaca  Scripture of no 
letters. Ada yang menyebutnya pengetahuan di dalam yang hanya membuka dirinya 
di puncak keheningan.
Untuk melangkah ke sana, mulailah  hidup sesuai   hukum alam. Ia yang mengalir 
bersama alam, tersenyum  pada setiap putaran alam tahu sebenarnya tidak ada 
hukuman. Apa yang kerap disebut sebagai bencana, sebenarnya hanya undangan laut 
untuk menyelam semakin dalam. Memasuki wilayah-wilayah tanpa gelombang (baca: 
tanpa perdebatan) namun penuh keheningan.
Sebagaimana ditulis rapi oleh kehidupan para Mahasidha (manusia yang menjadi 
agung karena melewati banyak rintangan seperti Jalalludin Rumi, Bunda Theresa, 
Milarepa, Mahatma Gandhi), awalnya bencana terlihat sebagai cobaan. Namun 
begitu  dialami, ia memperkuat otot-otot kehidupan. Persis seperti otot fisik 
yang kuat karena banyak dilatih. Bila begini cara memandangnya,  bencana 
bukannya membawa kegelapan  kemarahan, ia membawa cahaya penerang.
Berbekalkan ketekunan,  bencana membuat batin kebal dengan penderitaan. 
Kekebalan ini kemudian membuat manusia bisa menyambut semua dualitas 
(baik-buruk, sukses-gagal, hidup-mati) dengan senyuman yang menawan. Inilah 
secercah cahaya keheningan. Ia  menyisakan hanya satu hal: compassion is the 
only nourishment. Dualitas memang lenyap, kasih sayang kemudian membuat 
kehidupan berputar. [Gede Prama – berkarya di Jakarta tinggal di Bali] 
------
Maharban ya ramadhan…
Mengucapkan selamat menjalankan Ibadah puasa 1430 H.
Semoga semuanya bisa dijalaninya dengan baik, penuh kejernihan hati dan 
kebeningan jiwa, sehingga mendapat ridho dari Allah Yang Maha Kuasa dan menjadi 
bagian sumber kebahagiaan serta kedamaian hidup seluruh umat-Nya di dunia ini.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
Ayo mencoba..! 
  
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 
Mau mencoba ?




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke