(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)

        Ibu hamil tua meninggal
karena kelaparan





Berita yang dimuat dalam harian Fajar (Makassar) 1 Maret 2008 tentang
meninggalnya seorang ibu yang hamil 7 bulan bersama bayinya karena kelaparan
setelah tiga hari tidak makan, merupakan peringatan bagi kita semua bahwa
rakyat Indonesia memang sedang menghadapi banyak hal yang parah sekali.
Sebab, berita ibu hamil yang mati kelaparan bersama bayinya itu hanyalah
satu dari ratusan juta rakyat Indonesia yang sedang dirundung penderitaan
karena parahnya kemiskinan dan pengangguran. (Harap selalu diingat bahwa
lebih dari 60 juta orang di antara rakyat kita hidup dalam kemiskinan, dan
lebih dari 40 juta dalam pengangguran, ditambah lagi dengan besarnya
penderitaan karena banjir di banyak daerah, gempa yang berkali-kali, kasus
lumpur Lapindo dll dll)

Berita dari Makassar itu juga mengingatkan kepada kita semua bahwa sebagian
( yang amat besar !!!)  dari rakyat Indonesia itu menderita karena jeleknya
penyelenggaraan negara, yang disebabkan oleh rusaknya moral para pejabat dan
« kaum elite » dalam masyarakat lainnya, sebagai akibat dari sistem yang
dijalankan oleh Orde Baru selama 32 tahun dan diteruskan, sampai sekarang,
oleh berbagai pemerintahan yang menyusulnya.

Kematian ibu hamil dengan bayinya karena sudah tiga hari tidak makan itu
tambah meyakinkan kita semua bahwa kehidupan yang sulit sekali sebagian
terbesar rakyat kita betul-betul sudah menuntut adanya perubahan
besar-besaran di bidang politik, ekonomi, sosial. Sebab, penderitaan yang
dialami ibu hamil yang mati itu, yang notebene tinggal di Sulawesi Selatan,
yang biasanya terkenal sebagai « lumbung padi » bukanlah gejala yang langka
atau yang « istimewa », kalau kita ingat bahwa di Jawa, Sumatra, Kalimantan,
Indonesia Timur, juga ada banyak sekali daerah yang penduduknya miskin
sekali. Begitu miskinnya, sehingga banyak rakyat tidak bisa hidup dengan
layak dan sehat. Itulah sebabnya, sering di dalam pers kita dimuat adanya
anak-anak sekolah yang kurang gizi, bahkan ada anak-anak yang gantung diri
atau mati karena kurang makan, disebabkan kemiskinan  orang tua mereka.

Kasus ibu hamil (dengan bayinya yang umur 7 bulan) yang mati kelaparan di
propinsi daerah asal Wakil Presiden Jusuf Kalla (yang juga ketua umum partai
Golkar), dengan keras dan jelas  memperingatkan kita semua bahwa berbagai
persoalan besar dan parah bangsa dan negara kita sudah tidak bisa lagi
diharapkan dapat ditangani atau diselesaikan dengan sistem politik, ekonomi
dan sosial seperti yang dianut oleh Orde Baru jilid II sekarang ini.

Sebenarnya, kasus ibu hamil yang mati kelaparan di Sulawesi Selatan ini
adalah cermin dari wajah sebagian kehidupan bangsa kita, wajah yang
bopeng-bopeng karena rusaknya moral atau  wajah yang buruk karena banyaknya
berbagai penyelewengan (antara lain korupsi yang merajalela).  Wajah yang
buruk ini tidaklah mungkin diperbaiki oleh kekuatan-kekuatan politik, yang
selama ini mendukung politik Orde Baru jilid II.

Karena besarnya kerusakan moral dan parahnya pembusukan mental di kalangan
partai-partai politik selama ini, maka tidak banyaklah yang bisa diharapkan
dari hasil Pemilu 2009 nantinya.Sudah bisa diramalkan bahwa Pemiu 2009 tidak
akan menghasilkan perubahan-perubahan besar atau mendasar di berbagai
bidang, yang bisa memperbaiki kehidupan rakyat banyak. Perubahan yang
sejati, perbaikan yang mendasar, hanyalah bisa dibikin oleh kekuasaan
politik yang pro-rakyat, dan bukan oleh kekuasaan politik yang berbau-bau
Orde Baru. Sebab, pengalaman Orde Baru selama 32 tahun ditambah pengalaman
Orba Jilid II (artinya pemerintahan SBY-JK) sudah cukup jelas negatifnya
bagi sebagian terbesar rakyat kita.

Kiranya, bagi banyak orang sudah jelas bahwa orang-orang seperti Jusuf
Kalla, Aburizal Bakrie, (atau Prayogo Pangestu, atau lebih-lebih lagi Tommy
Suharto, dan tokoh-tokoh lainnya yang pro-Suharto) tidak mungkin mau
mendorong lahirnya kekuasaan politik yang pro-rakyat. Karena,  politik
pro-rakyat adalah justru sama sekali tidak mengutungkan kepentingan mereka.

Kekuasaan politik yang betul-betul pro-rakyat adalah tujuan perjuangan
banyak golongan dalam  masyarakat melalui pengembangan berbagai kekuatan
yang demokratis dan anti Orde Baru, dengan menggunakan segala cara dan
bentuk.

Sekarang ini, di seluruh tanah-air sudah dan sedang bergejolak berbagai
perjuangan yang dilakukan dengan berani oleh golongan pemuda dan mahasiswa,
golongan buruh atau pekerja di berbagai bidang, golongan tani, golongan
perempuan, yang menuntut bermacam-macam perubahan atau perbaikan dan melawan
ketidakadilan dan berbagai penyelewengan atau kejahatan. Akan datang
saatnya, nantinya di kemudian hari,  bahwa  berbagai kekuatan yang masih
berjuang secara terpisah-pisah sekarang ini, akhirnya akan mempersatukan
diri, sehingga merupakan kekuatan yang bisa merebut kekuasaan politik,  atau
merobahnya, atau menggesernya.

Jelaslah bahwa di negeri kita, Indonesia, hanya kekuasaan politik yang
betul-betul pro-rakyatlah yang akan bisa menjamin tidak adanya lagi ibu-ibu
hamil yang mati kelaparan bersama bayi dikandungnya, seperti yang terjadi di
Sulawesi Selatan ini.

Paris, 1 Maret 2008

A.      Umar Said

======

Berita yang sangat mengharukan yang dimuat di Harian Fajar tanggal 1 Maret
2008 adalah sebagai berikut :

Judul : Kelaparan, Ibu Hamil Meninggal

MAKASSAR--Suasana di salah satu rumah yang terletak di Jalan Dg Tata I Blok
5, tampak lain dari biasanya. Puluhan warga di sekitar lorong itu, berkumpul
dan tampak larut dalam suasana duka berbalut kesedihan.Salah seorang
tetangga mereka, Dg Basse, 35, yang sedang hamil tujuh bulan, meninggal
dunia bersama jabang bayi yang dikandungnya, sekira pukul 13.00 Wita.
Tragisnya lagi, hanya berselang lima menit, Bahir, 5, anak ketiganya, juga
menyusul meninggal.

Ibu dan anak ini meninggal akibat kelaparan setelah tiga hari tidak pernah
menelan sebutir nasipun. Hal sama nyaris menimpa, Aco, 4, anak bungsu
mendiang Basse. Untung saja, sebelum ajal datang menjemput, warga sekitar
bergegas membopongnya ke ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Haji.

Pada saat itu, kondisi Aco (si anak bungsu) sudah sangat parah. Jangankan
bergerak, mengedipkan kelopak matanya terlihat susah.

Basri, 40, suami dan ayah korban, yang sehari-harinya bekerja sebagai
pengayuh becak, tak mampu berbuat apa-apa. Ia hanya bisa tepekur menyaksikan
orang-orang terdekat dan amat dicintainya, telah meregang nyawa satu persatu
setelah ia tiba di rumah.

Satu-satunya yang dia mampu lakukan hanya “memboyong” jazad istri dan
seorang anaknya ke kampung halamannya di Kassi, Kabupaten Bantaeng, dengan
ditemani Baha, 7, anak keduanya. Sementara untuk menjaga anak bungsunya yang
dibawa ke Rumah Sakit Haji, Basri hanya memercayakan kepada anak sulungnya,
Salma yang baru berusia 9 tahun.

“Sehari-hari memang sering terdengar suara anak-anak itu menangis. Kalau
keluar rumah, biasanya kita tanya kenapako menangis nak. Katanya, mereka
lapar,” tutur Mina, 42, tetangga korban yang sempat ditemui, kemarin.

Penuturan Mina ini juga diperkuat dengan hasil pemeriksaan tim medis RS Haji
yang menangani anak bungsu mendiang Basse. Dokter jaga UGD RS Haji, dr Putu
Ristiya mengatakan, Aco positif menderita gizi buruk.

Saat baru tiba di rumah sakit, kata Putu, kondisi kesehatan anak itu
mengalami dehidrasi berat. Beratnyapun hanya 9 kg. Nanti setelah diberi
cairan dua botol, kondisinya agak membaik. “Padahal untuk anak seusia ini
(Aco, red) berat idealnya 15-20 kg. Jadi, ini positif marasmus (gizi
 buruk),” kata Putu Ristiya.

Berpenghasilan Rp5 Ribu

Bagaimana sebenarnya kehidupan Basri dan mendiang Basse? Menurut penuturan
Mina, selama ini, ekonomi keluarga pengayuh becak itu memang sangat
memprihatinkan. Penghasilan yang diperoleh tiap hari rata-rata hanya Rp5
ribu hingga Rp10 ribu saja. Akibatnya, untuk membeli beras amat kesulitan.

“Kalau mereka beli beras satu liter, biasanya itu untuk mencukupi makan
selama tiga hari. Sehari semalam mereka cuma bikin bubur satu kali,” tutur
Mina.

Sedangkan rumah kos ukuran 4x10 meter yang ditempatinya juga hanya
dibayarkan orang lain, Dg Dudding yang merupakan sahabat Basri. Untuk satu
tahun, Dg Dudding membayar sewa ruma itu Rp1,6 juta. Lantai bawah ditempati
Dg Dudding dengan istri dan anaknya. Sedangkan Basri dan keluarganya tinggal
di lantai atas.

“Mereka juga baru lima bulan tinggal di sini. Sebelumnya mereka tinggal di
Jl Bonto Duri,” lanjut Mina.
Hanya saja, Mina mengaku belum terlalu akrab dengan tetangganya itu. Sebab,
suami korban sangat pendiam dan cenderung tertutup.

“Sebenarnya kami juga selalu ingin membantu, cuma suami dan istrinya itu
jarang bicara. Jadi yang kita ajak bicara biasanya cuma anak-anaknya,”
terang Mina.

Herman, tetangga korban lainnya juga menuturkan, warga sekitar masih jarang
yang akrab. Selain pendiam, mereka juga sangat jarang bergaul. “Bahkan
selama ini, mereka masih menggunakan KTP Bantaeng,” katanya.
Sementara istri Dudding, Hasna mengungkapkan, kehidupan keluarga Basri
memang sangat memilukan.

Bayangkan, mereka makan tanpa sayur. “Paling kalau makan kuahnya pakai
minyak bekas penggorengan. Karena tidak punya uang untuk beli ikan, mereka
juga hanya makan garam. Saya tahu, sebab saya sering melihat mereka makan
dan memberinya ikan,” ungkap Hasna.

TRAGIS dan menyedihkan, memang. Kalimat itulah yang terasa pas disematkan
untuk keluarga Basri. Dalam sehari, dia kehilangan istri, anak, dan jabang
bayi dalam kandungan istrinya; Basse.

Rumah kayu yang berdiri di ujung lorong blok 4 Jl Dg Tata I, menjadi saksi
bisu begitu beratnya hidup di Kota Makassar. Rumah tersebut tampak sangat
kontras dengan rumah di sekelilingnya. Letaknya juga agak tersembunyi,
sehingga tak tampak jelas dari luar.

Di atas rumah panggung itulah Basri dan keluarganya tinggal sejak lima bulan
lalu. Sebagai pengayuh becak dengan berpenghasilan pas-pasan, kondisi tempat
tinggal Basri begitu memprihatinkan. Bagian atas rumah yang ditempatinya
dibagi empat petak. Untuk dapur, ruang tengah, ruang tidur, serta gudang.

Di tempat itu, jangan berharap mencari lemari atau perabot mahal lainnya.
Sebab di situ hanya ada karung-karung berisi pakaian, rak piring, satu
kompor, satu tungku, serta sejumlah peralatan masak, seperti panci dan
piring tua, serta dua kasur usang.

Di atas kasur itulah, Basse dan anaknya, Bahir, meninggal karena kelaparan
dan sakit. “Dia pertama sakit pada Kamis, sore. Saat itu, sepanjang malam ia
menangis dan berteriak kesakitan. Ia sempat tidur saat Jumat subuh, namun
hanya beberapa menit lalu terbangun lagi dan menangis kembali,” tutur Hasna,
tetangga Basri yang menemani Basse hingga ajal menjemput.  (Berita agak
disingkat sedikit).








No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.21.2/1305 - Release Date: 29/02/2008
18:32

Kirim email ke