================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pluralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pluralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Tahun-tahun produktif dan efisien. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Kuasa, Kisruh, Jernih
Oleh : Gede Prama
Bila menoleh ke tahun 2009, mungkin layak menyebutnya dengan tahun kekisruhan. 
Negeri ini kisruh oleh kisah cicak-buaya, cerita korupsi Bank Century.
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun lalu ditandai perobekan 
piagam PBB oleh Presiden Libya Moammar Khadafi, diikuti teriakan protes keras 
Perdana Menteri (PM) Inggris Gordon Brown sambil berdiri. PM Italia Silvio 
Berlusconi dilempar patung sehingga mukanya berdarah. Mantan Presiden Amerika 
Serikat George Walker Bush pernah dilempar sepatu. Merenung di atas sejarah 
seperti ini, kekuasaan seperti tidak habis-habisnya menghasilkan kekisruhan.
Meminjam penghitungan perputaran waktu di beberapa tradisi, putaran waktu kali 
ini adalah putaran waktu yang gelap. Oleh karena itu, terjadi kekacauan kosmik 
di mana-mana. Tempat-tempat di mana dahulunya turun kesejukan berupa wahyu dan 
nabi (India, Pakistan, dan Timur Tengah) sekarang menjadi tempat membara oleh 
perang. Lembah Swat di Pakistan adalah salah satu tempat langka yang menyimpan 
kisah langka, di situ sekitar seratus ribu manusia pernah mengalami pencerahan 
secara bersamaan. Sekarang, Lembah Swat berdarah-darah oleh tembakan senjata.
Dengan demikian, jangankan kekuasaan yang dari dulunya sudah kotor, berdarah, 
dan menakutkan, tempat-tempat di mana cahaya penerang itu pernah turun pun 
menakutkan. Memang, kadang lahir wajah kekuasaan yang membawa kelembutan. 
Nelson Mandela, Mahatma Gandhi, Mohammad Hatta, dan Dalai Lama hanya sebagian 
contoh. Namun, sebagian kekuasaan tergelincir ke dalam kegilaan seperti 
Ferdinand Marcos dan Hitler, sehingga memberi pilihan kepada setiap pemimpin 
yang sedang berkuasa, akankah dibikin mulya atau dibikin gila oleh kekuasaan?
Sunyi yang mengabdi
Kendati lahir di tempat dan waktu berbeda, ada yang sama di antara pemimpin 
yang dibikin mulya oleh kekuasaan, yakni batinnya Brahmana, badannya Ksatria. 
Setelah melewati kesalehan asketik yang keras, puncak perjalanan seorang 
Brahmana tercapai ketika batin seseorang telah mencapai apa yang disebut tetua 
di Jawa sebagai suwung. Tidak ada keakuan, ketakutan, keinginan, apa lagi 
kerakusan yang tersisa. Semuanya lenyap ditelan suwung. Seperti ruang yang 
memberi tempat bertumbuh pada apa saja dan siapa saja. Kendati terlihat tidak 
ada apa-apa, tetapi ruang melimpahkan kasih sayang secara tidak terbatas.
Karena ada ruang, maka cahaya matahari bisa melaksanakan tugasnya, pohon 
bertumbuh, manusia menjadi lebih dewasa. Begitulah batin yang suwung. Ia kerap 
disebut mengetahui yang satu kemudian membebaskan semuanya. Karena 
ketidakterbatasan kasih sayangnya itulah yang menyebabkan mereka dikenang jauh 
lebih lama dari umur badannya.
Namun, dalam badan ksatria (setelah melewati disiplin ketentaraan yang ketat), 
kaki selalu melangkah tegap tanpa tersisa sedikit pun ketakutan, tangan selalu 
siap menembak tanpa sedikit pun keraguan. Tak ada tempat bagi keragu-raguan. 
Keragu-raguan hanya cermin batin belum suwung. Diterangi batin yang suwung, 
kemudian pemimpin bisa memutuskan apa saja yang harus diputuskan tanpa beban.
Ksatria yang bertindak cepat tanpa dibimbing oleh batin yang suwung, serupa 
dengan tentara yang menembak kesetanan ke segala arah. Pemimpin Brahmana yang 
suwung tanpa disertai oleh kesigapan dan kecepatan bertindak hanya akan menjadi 
tukang doa yang salah alamat. Karena bukan untuk itu dia lahir. Pemimpin 
dilahirkan untuk bertindak, biar segala macam bentuk kemiskinan, kebodohan, 
ketidakadilan, dan keterbelakangan segera bisa dikurangi.
Intisari kepemimpinan
Makanya, seorang ayah pernah berpesan kepada putranya: memandanglah seperti 
langit, bertindaklah seperti bumi. Dalam pandangan langit (baca: suwung), 
semuanya dipayungi dan dilindungi tanpa mengenal pengotak-ngotakan. Namun, 
dalam bertindak, laksanakan hukum bumi secara ketat: bila menanam ketela 
dapatnya ketela, menanam kelapa buahnya kelapa. Siapa yang korupsi akan dicaci, 
ia yang mengabdi akan dihormati. Itu sebabnya tetua menyaring intisari 
kepemimpinan dalam kalimat sederhana: batin yang sunyi, badan yang mengabdi.
Pesan ini yang dibadankan secara mendalam oleh pemimpin seperti Mohammad Hatta, 
Nelson Mandela, dan HH Dalai Lama. Tatkala berselisih paham dengan atasannya, 
tanpa beban Pak Hatta kembali ke profesinya yang semula sebagai dosen di 
Universitas Gadjah Mada. Menyisakan pesan jelas sekali, keegoan dan keakuan 
pemimpin mesti kalah dibandingkan ketertiban dan kesejahteraan rakyat.
Ketika rezim kulit putih jatuh, Nelson Mandela yang dipenjara lebih dari 
seperempat abad plus nyaris mati berkali-kali, lebih memilih memaafkan 
dibandingkan mengumbar dendam. Pelajarannya terang sekali, kekuasaan bukan 
sarana untuk mengumbar dendam dan keserakahan. Namun, hanya kendaraan untuk 
meninggalkan pulau keterbelakangan.
HH Dalai Lama lahir dan bertumbuh di lahan penuh kesedihan dan penderitaan. 
Umur belasan tahun, negaranya diambil orang. Mengungsi di tempat amat sederhana 
di India Utara lebih dari setengah abad. Rakyatnya menjadi minoritas di negeri 
sendiri. Ketika melafalkan doa ini, beliau sering menangis di depan umum: 
semasih ada ruang, semasih ada makhluk, izinkan saya terus-menerus lahir ke 
tempat ini, biar ada yang membimbing para makhluk keluar dari kegelapan 
kemarahan, keserakahan, dan kebingungan.
Cahaya pengertiannya terang sekali, kesedihan dan penderitaan bukanlah api 
untuk mengobarkan amarah ke mana-mana. Ia hanya sapu pembersih yang membuat 
hati manusia semakin jernih dari hari ke hari. Andaikan suatu hari nanti 
peradaban bisa melahirkan pemimpin dengan batin yang sunyi dan badan yang 
mengabdi mungkin di situ baru kekuasaan bisa menjadi sahabatnya kejernihan.
Gede Prama Penulis Buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan Menjadi 
Keteduhan [Kompas, 30/1/10].
---------- 
Memang tidak mudah menjadi pemimpin, karena terlalu banyak pilihan. Dan memang 
di situlah menarik ujiannya.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
  
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke