================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Senin, 27 April 2009 | 05:06 WIB 
Membangun Koalisi
Hari-hari ini itulah kesibukan partai politik. Mereka membangun koalisi untuk 
pemilihan umum presiden pada 8 Juli 2009.
Untuk bisa maju dalam pemilu presiden, pasangan capres dan cawapres minimal 
harus memiliki 20 persen kursi DPR (112 kursi) berdasarkan pemilu legislatif 9 
April atau 25 persen perolehan suara secara nasional.
Andaikata Demokrat dan Golkar tidak pisah, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
dan Wapres Jusuf Kalla bisa melenggang. Tinggal memperkuat koalisi dengan 
menyertakan partai lain. Memang, perolehan Demokrat dalam pemilu legislatif 
paling banyak. Namun, Demokrat masih memerlukan koalisi ketika kerja sama 
Demokrat-Golkar putus karena memburuknya hubungan Yudhoyono-Kalla. Kedua partai 
harus membangun koalisi dengan partai lain. Bahkan untuk Demokrat yang 
memperoleh suara terbanyak, membangun aliansi baru tidaklah sederhana.
Masuk akal sekiranya pada dua partai tersebut, berikut pimpinannya, kini muncul 
penyesalan, kenapa buru-buru pisah kongsi. Ketika pertimbangan yang disertai 
emosi meluap, masuk akal jika keputusan politik dipengaruhi perasaan, apalagi 
jika mempertimbangkan, cukup kuat pendapat pihak independen bahwa 
dilanjutkannya koalisi Demokrat-Golkar lebih besar manfaatnya.
Pemilu legislatif, apalagi pemilu presiden, seperti halnya kompetisi, membawa 
dinamika dan ketegangan yang menarik bahkan mengasyikkan. Semakin seimbang yang 
bertanding semakin seru, menegangkan, dan mengasyikkan. Gambaran itulah yang 
kini mulai kita visualisasikan.
Sebagai capres, secara pribadi, kiranya tetap Yudhoyono yang bersosok paling 
kuat. Namun, panggung pilpres diperkirakan bertambah ramai. Proses pembentukan 
koalisi belum selesai. Namun, mereka dikejar waktu. Itu membuat pembentukan 
koalisi semakin menarik dan menegangkan.
Kita saksikan di atas panggung, perundingan pembentukan koalisi antara PDI-P 
dengan Gerindra dan Hanura dengan tokohnya yang juga bersosok seperti Prabowo 
Subianto yang padat karya kemiliterannya seperti juga Wiranto. Golkar bertemu 
dengan PDI-P. Bentuk koalisinya belum jelas karena Ketua Umum Golkar Jusuf 
Kalla dan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri masing-masing diajukan 
partainya sebagai capres.
Posisi Prabowo lebih fleksibel. Mengacu perolehan suaranya dalam pemilu 
legislatif, masuk akal jika Prabowo menempatkan dirinya sebagai cawapres. 
Mencarikan solusi elegan, terhormat, dan bermanfaat memperkuat koalisi, masih 
harus ditemukan Megawati dan Kalla. Meskipun memperoleh suara terbanyak, 
Demokrat dan karena itu Yudhoyono belum bisa melenggang. Mencari koalisi, 
termasuk mencari posisi cawapres, memerlukan pertimbangan dan perhitungan yang 
lebih cerdas dan tajam.
Pemimpin partai yang memperoleh suara terbanyak dan juga nomor dua dan nomor 
tiga amat sibuk hari-hari ini. [Tajuk Rencana – Kompas]
------
Koalisi untuk Kemaslahatan Bangsa
Senin, 27 April 2009 | 05:04 WIB 
Oleh : Yonky Karman
Hiruk pikuk kisruh penyelenggaraan pemilu dan isu koalisi untuk sementara 
mengalihkan perhatian publik dari potret buram republik ini. Banjir di 
mana-mana. Proses ganti rugi korban lumpur Lapindo yang belum tuntas. 
Perekonomian menurun. Pengangguran meningkat. Kualitas hidup rakyat miskin 
menurun.
Pemilu demokratis bukan cuma soal prosedur, tetapi juga kemaslahatan bangsa.
Pengalaman bernegara selama lima tahun terakhir adalah komplikasi politik. 
Kebijakan eksekutif kerap tersandera di parlemen lantaran presiden tidak 
memiliki basis dukungan kuat di parlemen. Namun, di mata rakyat, koalisi selama 
ini tidak lebih dari oligarki kekuasaan. Daulat elite politik, bukan daulat 
rakyat. Pragmatisme politik untuk berbagi kue kekuasaan. Koalisi hanya 
menyempurnakan persekongkolan yang melibatkan unsur eksekutif dan legislatif.
Konflik kepentingan dalam penyelenggaraan negara dibiarkan dan presiden tak 
mampu bertindak tegas untuk meluruskannya. Koalisi tidak berdampak langsung 
kepada kesejahteraan rakyat dan kemandirian bangsa. Indonesia belum keluar dari 
cengkeraman neokolonialisme ekonomi (korporatokrasi). Ini tentu tidak sehat 
bagi perkembangan demokrasi.
Korupsi dideklarasikan sebagai pembunuh bangsa, demikian sebuah spanduk yang 
dipasang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, pemerintah tidak serius 
memeranginya. Itu sebabnya kendati KPK kerja keras, pengumuman perusahaan 
konsultan Political and Economic Risk Consultancy (3/4) masih menempatkan 
Indonesia sebagai negara terkorup di Asia.
Yang dinilai lebih baik daripada Indonesia adalah India, Kamboja, Thailand, dan 
Vietnam. Vietnam yang pernah dicabik-cabik perang saudara dan lebih lambat 
membangun kini lebih berprestasi dalam pemberantasan korupsi. Yang lebih 
penting lagi, kemajuan pemberantasan korupsi di negeri itu memiliki korelasi 
dengan pertumbuhan ekonomi.
Etika berkoalisi
Indonesia memang bukan Vietnam. Jalan demokrasi telah dipilihnya. Namun, 
demokrasinya belum menyejahterakan rakyat. Tujuan akhir pemilu dan juga koalisi 
sebenarnya adalah masa depan bangsa yang lebih baik, terlebih di era persaingan 
ketat antarbangsa. Tetapi, elite politik menjadi parasit demokrasi. Tujuan 
akhir koalisi berhenti di Senayan, tidak berakhir pada kesejahteraan bangsa 
yang lebih baik.
Politik dagang sapi ini mengingkari hak rakyat untuk menjadi lebih sejahtera. 
Seusai pemilu, politisi menjauh dari aspirasi dan kepentingan rakyat. Demokrasi 
kita dibajak elite politik. Hanya segelintir orang di lingkaran kekuasaan yang 
diuntungkan. Tingginya angka golput kali ini juga harus dibaca sebagai 
peringatan bahwa mereka terpilih disertai banyak catatan dan skeptisisme publik.
Pemilu adalah kesempatan untuk mereposisi dan meluruskan tujuan akhir koalisi 
partai. Memang perolehan suara Partai Demokrat meningkat secara fenomenal, 
sementara partai-partai lain terkena degradasi (kecuali PKS). Padahal, calon PD 
relatif tak dikenal. Infrastruktur partainya juga belum mengakar di masyarakat.
Jelas PD amat bergantung pada ketokohan SBY (politik figur), yang dalam hal ini 
banyak diuntungkan karena posisinya sebagai incumbent. Maka, suka atau tidak, 
PD lima tahun yang akan datang secara tak langsung bergantung pada langkah 
politik SBY.
Persoalan besar PD yang mendadak menjadi demikian populer adalah bayang-bayang 
menjadi partai gembos pada tahun 2014, sebab SBY tidak mungkin maju lagi 
sebagai calon presiden. Itu akan terjadi jika PD mengabaikan prinsip-prinsip 
partai modern yang kuat dalam kaderisasi dan infrastruktur.
Dilema cawapres
Meski posisi SBY enteng jodoh, penentuan calon wakil presiden tidak sederhana. 
Selain menentukan suara pemilih dalam pemilihan berikut, juga menentukan 
perjalanan PD pada Pemilu 2014. Tentu tidak elok mengambil jatah cawapres dari 
PD lagi.
Masalahnya, secara tak langsung itu ikut mempersiapkan calon presiden dari 
partai lain untuk 2014. Praksis koalisi seperti itu terbukti melahirkan 
persaingan terbuka antara presiden dan wakilnya, seperti terjadi antara SBY dan 
JK. Sebuah fenomena persaingan yang tidak lazim dan jalannya pemerintahan 
terdistorsi.
Alternatifnya, SBY memilih cawapres yang tidak membuat kalangan partai-partai 
papan tengah iri, yakni dari nonpartai.
Bagaimana dengan JK dan Megawati, yang masing-masing sudah diberi mandat oleh 
partai mereka untuk menjadi capres? Dapatkah mereka berkoalisi? Belum lagi ada 
Prabowo dan Wiranto yang juga ingin menjadi capres atau paling tidak cawapres. 
Idealnya, siapa pun yang terpilih sebagai presiden harus diterima dengan besar 
hati dan pihak-pihak yang kalah dapat mengimbanginya sebagai koalisi oposisi di 
parlemen.
Yang penting adalah koalisi untuk kemaslahatan bangsa karena kekuatan eksekutif 
yang dominan dan didukung mayoritas legislatif akan cenderung koruptif. Bahkan, 
tidak mustahil akan teramat korup! [Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi 
Teologi Jakarta]
-------
Koalisi untuk Negeri
Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan untuk membangun dan mengembangkan 
masyarakat Indonesia seutuhnya. Saat ini pun elite politik Indonesia sedang 
gencar-gencarnya berkoalisi, dengan bekal suara yang sudah dicapai pemilu 
legislatif yang lalu, kemudian berupaya dengan sungguh-sungguh bagaimana dapat 
menggapai kekuasaan Negara. Kita kembali menimbang; apakah semua itu hanya 
puncak dari ambisi, ego, dan harga diri para elite negeri ini? Atau kah niat 
dan semangat dari seluruh Rakyat Indonesia? 
Ketika mandat dan kekuasaan berpadu kasih, maka kemuliaan dan kemaslatahan 
bangsa lah yang dijunjung.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm 



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke