==================================================== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
==================================================== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009. 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Memberi Tanpa Pertimbangan
Selasa, 26 Mei 2009
Oleh : Herry Tjahjono
Krisis terus melenggang, kesusahan dan penderitaan mendera, situasi politik 
berwajah bopeng. Kehidupan di seputar kita kian tak nyaman dan tak pasti. Dalam 
kondisi seperti ini, biasanya ada beberapa respon manusiawi yang akan 
menentukan eksistensi orang itu di masa depan. Ada yang terperangkap aneka 
kondisi itu. Ini adalah mereka yang cenderung terfokus pada kondisi kegelapan 
saat listrik (kehidupan) padam.
Namun, ada yang terfokus pada setitik sinar. Tipe kedua inilah yang biasanya 
menangkap apa yang pernah diungkap Rhenald Kasali (“Sepuluh Kearifan Krisis”, 
Kompas, 4/4). 
Dua Tipe Manusia
Maka, ada dua tipe manusia. Pertama, mereka yang respon kehidupannya ditentukan 
oleh kondisi sekitarnya (conditional people). Jika kondisi serba krisis, penuh 
tekanan, mereka kehilangan spirit, dan cenderung meringkuk, atau paling tidak 
sekedar mengamankan diri. Mereka biasanya medioker atau sering menjadi 
pecundang (the loser) dalam kehidupan.
Bagi mereka, sukses dan kebahagiaan adalah penantian, tergantung dari kondisi 
yang berpihak. Bagi mereka, sukses dan kebahagiaan adalah cap-cap yang 
dilekatkan kondisi sekitar. Jika lingkungan menentukan, sukses identik uang dan 
kekayaan, maka mereka tak pernah sukses seberapa pun uang dan kekayaan di 
kantongnya. Jika sukses diidentikkan dengan jabatan direktur, mereka belum 
merasa sukses dan bahagia sebagai senior manager atau general manager meski 
jutaan orang mencari pekerjaan atau bawahannya sekedar hidup dengan upah 
minimum.
Kedua, mereka yang memandang hidup adalah pilihan, keputusan, tak peduli 
kondisi sekitar (unconditional people). Maka, segelap apa pun kondisi sekitar, 
merekalah yang menentukan, memilih, untuk tetap bersukacita, bersemangat, 
termotivasi, optimistis menyapa kehidupan. Manusia semacam ini disebut manusia 
besar (great people), the winner. Orang yang tetap bisa bersukacita dan memilih 
untuk bersemangat meski krisis mengancam jabatan dan pekerjaan adalah orang 
yang memenangi hidup.
Seorang office boy yang tetap bersemangat menyapu sebersih mungkin meski 
terancam PHK adalah seorang great employee. Sebaliknya, seorang CEO yang 
dituntut berkinerja kian tinggi oleh owner akibat krisis, lalu mulai stres, 
gampang marah, dan melempar bola panas permasalahan kemana-mana, dia tak lebih 
dari karyawan medioker.
Kondisi dan situasi politik yang memprihatinkan plus ekses krisis yang kian 
menekan kehidupan juga menentukan profil rakyat terkait pesta demokrasi. Ada 
rakyat yang tetap bersemangat dan melakukan hak pilih mesti hatinya mengeluh 
pada kinerja para pemimpin. Bahkan, ada yang tetap penuh semangat ikut memilih 
dalam pemilu presiden mendatang meski jadi korban daftar pemilih tetap (DPT) 
yang amburadul.
Mereka ini adalah para great citizen. Sedangkan para “golput” (di luar korban 
DPT amburadul) yang tidak memilih karena kecewa dan apatis akibat kondisi 
“sosekpol” kacau tak lebih dari para warga medioker.
Bangsa ini memerlukan sebanyak mungkin unconditional citizen-employee-leader 
dan seterusnya. Syarat sebuah bangsa yang besar (great nation) adalah bangsa 
yang dipenuhi manusia yang memilih tetap berwajah riang, bersemangat, tak 
peduli krisis global menghantam atau situasi politik membikin lelah jiwa.
Lebih jauh, hanya unconditional people inilah yang berpotensi melahirkan 
berbagai karya besar, karya agung dalam hidupnya, tak peduli sekecil dan 
serendah apa pun pekerjaan, jabatan, dan statusnya. Jika mengadaptasi salah 
satu elemen penting Daffodil Principles, “memberi tanpa pertimbangan”, hanya 
para unconditional people inilah yang paling mampu menjalankan. Mereka adalah 
manusia pemilih, penentu, untuk bersemangat dan bahagia memenuhi semua tugas 
hidup tanpa syarat, seburuk apa pun kondisi di sekitarnya. 
Prinsip itu pula – meski listrik kehidupan padam dan penuh kegelapan – yang 
membuat mereka tetap bersemangat mengukir karya-karya terbesarnya tanpa 
pertimbangan lain kecuali hanya untuk mengukir. Memberi tanpa pertimbangan 
bukan perkara sederhana. Betapa sering kita maju mundur untuk sekedar 
memberikan uang receh kepada pengemis di pinggir jalan. Berjuta pertimbangan 
menyergap, “Ah paling-paling itu anak sewaan. Masih muda kok sudah mengemis. 
Ini tidak mendidik.” Karena itu, jika akhirnya kita memberi, hati pun 
bersungut-sungut.
Namun para unconditional people justru dengan sukacita memberi sebab ia memberi 
tanpa pertimbangan apa pun. Ia hanya ingin memberi, giving for no reason! Pada 
titik inilah seseorang lebih melihat nyala korek api saat gelap menyelimuti, 
menatap jalan hidup sedang naik saat kakinya terasa berat. 
Maka, pesan moral dari prinsip “memberi tanpa pertimbangan” adalah “Menarilah 
seolah tak seorang pun menonton. Menyanyilah seolah tak seorang pun 
mendengarkan. Bekerjalah seolah tak memerlukan uang gaji, atau jabatan. 
Cintailah seolah tak pernah disakiti. Berbisnislah seolah tak lagi memerlukan 
profit. Mencontrenglah seolah bukan simpatisan atau anggota partai manapun. 
Berpolitiklah seolah tak lagi punya kepentingan. Memimpinlah seolah tak lagi 
memerlukan sebuah kekuasaan.”
Ketika kita memilih itu semua, akan lahir karya-karya terbesar dan agung dalam 
setiap penggalan kehidupan, tak peduli serendah atau setinggi apa pun kedudukan 
kita saat ini, sesedikit atau sebanyak berapa pun uang kita, dan seterusnya.
Itu berarti kita memenangi hidup. [Herry Tjahjono, Motivator Budaya dan 
President The XO Way, Jakarta – Kompas, 23/5]
----------
Bagaimana dengan serial ‘drama demokrasi’ menuju legislatif 2009 dan episode 
menuju RI-1/RI-2. Atau bagaimana dengan kehidupan kita yang sering lebih dahulu 
berasumsi bahwa kita terbatas, sedikit, tidak mampu untuk memberi sesuatu pun 
kepada orang lain, atau bahkan yang lebih ekstrim lagi, sampai-sampai tidak 
tahu lagi apa yang harus dilakukan dan diberikan – bagaimana kalau hal itu 
menjadi sindrom elite, pemimpin, legislatif atau bahkan berbagai lapisan 
masyarakat luas. Kembali kita diingatkan akan sebuah panggilan kehidupan, 
kesadaran dan kemanusian kita. Maka para unconditional people pun akan menjadi 
cahaya, sinar, terang dan harapan - asa bagi kehidupan masyarakat dan bangsa 
Indonesia ke depan.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke