================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati 81 tahun Sumpah Pemuda 1928 dan Hari Pahlawan 10 Nopember 2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
TOKOH MUDA INSPIRATIF (14)
Mengelola Keberagaman Indonesia
Kamis, 12 November 2009 | 02:53 WIB
Oleh : Anita Yossihara
Latar belakang pendidikan Islam tidak membelenggu pemikiran Zuly Qodir untuk 
memperjuangkan penghormatan keberagaman di Indonesia. Tenaga dan pemikirannya 
dicurahkan untuk meneliti penyebab konflik atau gesekan antaretnis yang kerap 
terjadi di negara ini. Aktivis muda Muhammadiyah itu pun terlibat dalam 
pembentukan Forum Persaudaraan Umat Beriman Yogyakarta, sebuah forum lintas 
agama yang didirikan bulan Maret 1997.
Baginya, keberagaman etnis atau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) 
merupakan potensi luar biasa yang menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia. 
Keberagaman itu pulalah yang menjadi cikal bakal lahirnya Republik Indonesia.
Konflik terjadi bukan karena perbedaan SARA, melainkan lantaran kurangnya 
penghormatan negara. Negaralah yang justru menciptakan kesenjangan antaretnis 
dengan memprioritaskan etnis tertentu dalam segala bidang pembangunan.
Berikut petikan wawancara Kompas di rumahnya di Desa Sendangtirto, Kecamatan 
Berbah, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sabtu (7/11).
Bagaimana gesekan antaretnis itu bisa terjadi?
Negara kita ini memiliki suku yang beragam, budaya beragam, tetapi selama 
bertahun-tahun tak mengalami perkembangan yang baik. Suku-suku, etnis, yang 
disebut SARA itu hanya dipakai untuk konsumsi politik rezim kekuasaan, terutama 
pada zaman Orde Baru. SARA hanya diterjemahkan menurut rezim kekuasaan.
Rezim Orde Baru merepresentasikan keberagaman dengan membangun Taman Mini 
Indonesia Indah (TMII), yang sebenarnya tidak berkembang sama sekali. Tidak ada 
cermin keragaman budaya di situ, hanya artefak semata.
Kekayaan dari keberagaman SARA itu bahkan dibelenggu oleh negara sehingga yang 
muncul adalah pendaman-pendaman kekecewaan. Akibatnya, beberapa daerah ingin 
merdeka, memisahkan diri dari Indonesia. Lihat saja di Papua, Aceh, dan Riau, 
ada gerakan untuk merdeka. Itu bukti mereka kecewa terhadap penghormatan SARA 
di Indonesia. Penguasa tidak menghormati keberagaman itu dengan baik.
Mengapa negara tidak menghormati keberagaman?
Rezim penguasa selalu ketakutan dengan SARA, merasa bila keberagaman tiap-tiap 
daerah muncul akan membuat negara tidak dominan sehingga negara memilih untuk 
menyeragamkan semuanya.
Sepanjang Orde Baru negara telah melakukan teror terhadap mereka yang menentang 
keseragaman. Mereka yang dianggap menentang dan mengancam persatuan dipenjara 
atau dihilangkan mata pencariannya dan dijauhkan dari komunitasnya.
Sikap seperti itulah yang kemudian memunculkan antipati terhadap negara. Pada 
saat kondisi negara lemah, keberagaman yang sebelumnya menjadi potensi untuk 
mempersatukan bangsa berubah menjadi potensi negatif. Pendaman-pendaman 
kekecewaan terhadap negara itulah yang mengakibatkan konflik terjadi di 
mana-mana.
Apa akar permasalahan yang menyebabkan konflik?
Akar persoalannya adalah diskriminasi. Ada kesenjangan keadilan, pembangunan 
infrastruktur, pendidikan, dan sebagainya.
Saya sudah berkeliling melihat daerah-daerah, kondisi infrastruktur memang jauh 
tertinggal dibanding Jawa. Di Papua itu jalanan belum dibangun dengan baik. 
Infrastruktur di daerah konflik, seperti Ambon dan Ternate, juga belum begitu 
baik.
Pembangunan bidang pendidikan juga masih ada kesenjangan. Fasilitas pendidikan 
di Jawa dengan di daerah-daerah terpencil serta pulau-pulau lain sangat 
berbeda. Tetapi, mengapa masalah kelulusan diseragamkan dengan menggunakan 
ujian nasional. Itu jelas-jelas tidak adil.
Apa yang harus dilakukan untuk meredam potensi konflik?
Etnis dan agama ini memang paling mudah untuk membangkitkan sentimen identitas. 
Agama berkaitan dengan keimanan, sedangkan etnis berkaitan dengan identitas 
kesukuan dalam masyarakat.
Orang akan sangat mudah marah bila disentil masalah keagamaan atau etnis. 
Kesenjangan atau diskriminasi semacam itu harus segera dihentikan. Masyarakat 
dari etnis apa pun, termasuk China, harus diberikan kesempatan yang sama dalam 
bidang politik, perekonomian, dan sebagainya.
Prinsipnya, keadilan harus benar-benar terjadi, baik keadilan politik, keadilan 
hukum, keadilan politik, dan juga pemerataan pembangunan.
Di bidang hukum, selama ini penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, masih 
tebang pilih. Ada kesenjangan antargolongan dalam penegakan hukum di Indonesia. 
Seharusnya hukum itu berlaku sama bagi siapa pun.
Kemudian soal agama dan kepercayaan. Negara tidak perlu terlalu banyak 
intervensi terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan. Biarlah urusan keagamaan 
itu diserahkan kepada tiap-tiap organisasi keagamaan. Kalau Islam, ya, serahkan 
saja kepada Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Nahdlatul Wathon, dan 
sebagainya. Kalau Kristen, ya, diserahkan kepada yang mumpuni, begitu pula 
Katolik diserahkan saja kepada lembaga-lembaga Katolik.
Negara harus memisahkan urusan pemerintahan dengan urusan agama. Sesat atau 
tidak sesat, itu bukan urusan negara. Tugas negara itu mengurus masalah 
pendidikan, kesejahteraan rakyat, dan penegakan hukum.
Lalu, bagaimana mengemas keberagaman agar tidak menjadi sumber konflik?
Keberagaman SARA harus dikelola sebagai kekayaan yang kondusif, dengan 
pemahaman inilah Indonesia yang sangat unik. Baik negara maupun masyarakat 
sendiri harus memahami serta menghormati perbedaan. Negara harus kembali pada 
filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Negara harus menghormati perbedaan suku, agama, 
ras, adat, bahasa, dan perbedaan lainnya. Yang menyatukan adalah bahasa 
nasional, bendera, lagu kebangsaan, dan sebagainya.
Pemerintah jangan menyeragamkan sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan atau 
potensi lokal. Seperti menyamaratakan makanan pokok tiap-tiap daerah. Orang 
Ambon biasa makan sagu, ya biarlah seperti itu.
Kemudian soal kebudayaan yang berkembang, jangan sampai ada klaim budaya yang 
beradab dan tidak beradab. Misalnya, ada orang Dayak, orang Samin, dan Baduy 
yang dianggap tak beradab. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dianggap beradab? 
Ternyata yang dianggap beradab adalah mereka yang dekat dengan rezim kekuasaan.
Tidak sepantasanya suku adat tertentu dianggap tidak beradab karena tidak 
mengikuti pola pikir pemerintah. Mereka bukan tidak beradab, tetapi punya 
sistem nilai sendiri. Perbedaan sistem nilai itu harus dihormati agar tidak 
memicu konflik.
Soal agama, pemerintah tidak perlu membuat dikotomi, agama resmi ataupun agama 
tidak resmi. Dikotomi itu akan menimbulkan gesekan di masyarakat.
Bagaimana tidak, sempalan atau aliran dalam internal agama saja dianggap sesat. 
Orang berbeda pandangan dianggap sesat, orang berbeda pemikiran dianggap sesat.
Selama ini negara tidak pernah tegas. Salah satu contohnya pada saat kelompok 
Ahmadiyah mengalami kekerasan karena dianggap sesat, pemerintah malah 
membiarkan. Kalau negara tidak bisa menghentikan sentimen yang terjadi akibat 
adanya perbedaan, keberagaman suku, agama, dan ras sebagai komponen pembangunan 
tidak akan ada lagi. Negara cukup menjamin seluruh warga negara untuk memeluk 
agama dan kepercayaan serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut.

Zuly Qodir
• Lahir: Banjarnegara, 22 Juli 1971
• Jabatan: 
Dosen Pascasarjana UGM dan Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY, Yogyakarta
• Pendidikan: 
- Sarjana Strata 1, Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 
(1996) 
- Sarjana Strata 2, Magister Studi Islam, Universitas islam Indonesia, 
Yogyakarta (2000) 
- Sarjana Strata 3, Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2006)
• Karier:
- Peneliti di Institut DIAN/Interfidei Yogyakarta (1995-2001) 
- Editor lepas di Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) 
- Pengajar di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta 
- Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM (2004-sekarang) 
- Litbang Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah DIY 
- Peneliti Lembaga Studi Islam dan Politik Yogyakarta (2004-sekarang) 
- Direktur Eksekutif Padepokan Musya Asy’arie 
- Presidium Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah 
- Anggota Majelis Pemberdayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah
• Publikasi:
- Agama dalam Bayang-bayang Kekuasaan; Pustaka Pelajar, 2001 
- Republik Horor; Pustaka Pelajar, 2002 
- Agama dan Etos Berdagang; Pondok Educasia, 2002 
- Islam Liberal; Pustaka Pelajar, 2003  [Kompas, 12/11/09]
---------
 
Marilah melanjutkan semangat juang, kepemimpinan, keteladanan para pahlawan dan 
keberagaman potensi, bagi masa depan bangsa Indonesia.
 
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat. 
 
Best Regards, 
Retno Kintoko                                                                   
                                 
 
 
Ikutilah :
Magnificat Choir Competition 2009 [MCC 2009] 
 
 

                                                 Zuly Qodir
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm [ Alarm gempa ] 
Sedia Bibit Ikan Patin 




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke