==================================================== 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme bangsa Indonesia."  
==================================================== 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Menyambut Pesta Demokrasi 5 Tahunan - PEMILU 2009.  
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Nyoman Mimpi Jadi Presiden
Oleh : Gede Prama
Pada zaman Orde Baru pernah ada rencana membuat film Nyoman Jadi Presiden, 
ternyata tidak lolos sensor. Ketika itu, jangankan manusia beneran, judul film 
pun tidak boleh ada kata “menjadi presiden”. Kini berubah terbalik. Siapa saja 
boleh jadi presiden.
Ini membawa implikasi kemana-mana, termasuk membuat anak kecil di Bali bernama 
Nyoman berfantasi menjadi presiden. Begitu kuat fantasinya, sampai-sampai semua 
kegiatan di lakukan sambil membayangkan dirinya jadi presiden.
Hubungan antara fantasi dan mimpi memang belum seluruhnya terang. Namun, suatu 
malam, Nyoman bermimpi jadi presiden, dilantik dan berpidato. Sebagaimana 
tradisi Timur umumnya, Nyoman juga diajari tetua untuk berdoa pada saat-saat 
penting. Untuk itu, dalam mimpi menjadi presiden, Nyoman berdoa, “Kapan saja 
berjumpa orang, akan kupandang diriku yang paling hina. Dan jauh dikedalaman 
batin, akan kutempatkan orang lain di tempat paling mulia”.
Setelah melantunkan doa ini, Nyoman merenung sejenak, heran, tak mengerti dari 
mana inspirasi doa datang. Rasanya ia muncul spontan, bukan hafalan. Dan, 
seperti doanya belum lengkap, lagi-lagi bibirnya bergerak di luar kesadaran, 
“Bila ada yang datang dengan sikap bermusuhan, membawa pedang amarah, api 
dendam, biarlah ia hadir seperti permata yang sulit ditemukan. Karena hanya 
melalui bara api dendam dan pedang amarah, bisa lahir bayi-bayi kesabaran dan 
kebijaksanaan”.
Seusai berdoa, Nyoman teringat guru yoga. Melalui sujud dan bakti kepada guru, 
segala kegelapan keraguan berubah menjadi cahaya terang pengertian dan 
bimbingan. Ia pun melakukan guru yoga dalam mimpi.
Merendah itu indah
Di Barat, lengkap dengan sejarah budayanya yang panjang, manusia diajarkan 
untuk percaya diri. Kualitas seseorang amat ditentukan seberapa tinggi percaya 
dirinya. Perhatikan mereka yang berhasil menjadi presiden AS. Jangankan saat 
benar, saat kalah pun berbicara penuh percaya diri. Ini layak dihormati sebagai 
salah satu cara bertumbuh.
Di Timur lain lagi. Meski sudah mulai ditinggalkan, bahkan dicurigai menjadi 
biang banyak keterbelakangan, tetua mengajarkan, “Merendahlah, dan engkau akan 
diagungkan”. Perlambang yang kerap dikutip adalah padi di sawah, semakin berisi 
ia semakin merunduk. Simbol lain adalah bambu. Saat muda bambu bertumbuh ke 
atas, begitu dewasa ia merunduk rendah hati.
Inilah junjungan tetua di Timur. Seorang siswa pernah masuk ke pedalaman Dieng, 
Jawa Tengah. Di tengah penelitian, tiba-tiba ia dipanggil seorang tetua di 
tempat itu yang berjanggut panjang, mengenakan peci. Tetua itu berpesan, “Orang 
bijaksana seyogianya berada di atas dualitas. Bukan dipermainkan dualitas 
(bersahabat dengan yang memuji, bermusuhan dengan yang mencaci), namun dengan 
sabar merangkul semuanya”.
Dan tugas merangkul Iebih mudah dilakukan bila merendah. Bagi sebagian anak 
muda, merendah itu musibah. Namun, bagi tetua yang kaya rasa dan kaya makna, 
merendah itu indah. Persahabatan, kebahagiaan, ketenangan, keheningan, itulah 
buah kehidupan yang suka merendah.
Selain itu, dalam batin yang sudah bertumbuh dewasa, ia melihat jika kita 
sebenarnya adalah daun-daun di pohon yang sama, bintang-bintang di langit yang 
sama. Setiap pelayanan yang di berikan kepada pihak lain akan balik ke diri ini 
sebagai pelayanan. Inilah yang melampaui dualitas.
Itu sebabnya semua manusia di jalan ini mengabdikan hidup untuk pelayanan. Ada 
yang melayani orang sekarat, seperti Ibu Theresa. Ada yang menyelamatkan korban 
perang, seperti Thich Nhat Hanh. Ada yang menghabiskan waktu dengan memerangi 
kemiskinan, seperti Muhammad Yunus. Tentu lebih indah lagi bila tugas-tugas 
pelayanan ini dilakukan saat seseorang masih duduk di kursi kekuasaan. Dalam 
bahasa tetua, kekuasaan adalah terbukanya gerbang pelayanan, bukan kesempatan 
untuk melakukan pembalasan.
Bayi kebijaksanaan
Tetua berpesan, kesulitan itu ada tidak untuk membuat kita tumbang, tetapi 
kesempatan untuk menunjukkan kekokohan. Seperti pepatah tua, bad weather makes 
good timber. Cuaca buruk menyisakan kayu-kayu kokoh. Begitulah pohon-pohon 
kebijaksanaan memperlihatkan dirinya. Dengan demikian memberi pelajaran, api 
amarah, pedang dendam lawan, memang bisa mematikan. Namun, dalam kelenturan 
air, api maupun pedang sama-sama tidak berdaya. Api tidak bisa membakar air, 
pedang tidak berdaya memotong air.
Kelenturan air kerap digunakan sebagai simbol kebijaksanaan. Air berjalan dari 
hulu yang jauh, tetapi sampai kesamudera.
Dan, satu-satunya kekuatan yang membuat air bisa melewati semua penghalang 
karena sifatnya yang lentur. Berbicara kelenturan, lagi-lagi harus kembali ke 
ladang pelayanan. Karena itulah hakikat kepemimpinan.
Kesehatan, pendidikan, kemiskinan, dan keterbelakangan adalah ruang publik yang 
lapar pelayanan. Kesehatan bermakna lebih luas dari sekadar berobat gratis, 
tetapi juga melibatkan pendidikan. Dulu, sebagian penyakit disebabkan salah 
makan. Kini (sebagaimana dikemukakan banyak peneliti), sebagian besar penyakit 
bersumber pada salah pikiran.
Pikiran inilah yang lebih layak disehatkan. Menambah daftar larangan untuk 
menyehatkan pikiran masyarakat hanya akan memperpanjang guncangan. Namun, 
memulai langkah keteladanan yang lurus, jujur bersih, dan jernih lebih membantu 
dalam hal ini. Lee Kuan Yew adalah seorang guru. Tahun pertama diteriaki, tahun 
kedua di maki, tahun ketiga dilempari api, tetapi karena lurus, jujur, dan 
konsisten, semua teriakan kemudian berhenti.
Maka, ada yang menulis, the inner science of transformation, aspiration, 
habituation, commitment, consistency. Niat itu langkah awal. Membiasakan diri 
agar niat menjadi kenyataan, itu langkah kedua. Membuat komitmen agar tetap 
berjalan lurus tanpa bisa ditawar, itu hal berikut. Namun, konsistensi kemudian 
mengibarkan bendera perubahan.
Ah, maafkanlah mimpi. Meminjam istilah Sigmund Freud dalam The Interpretation 
of Dream, mimpi bagi kebanyakan orang memang bunga tidur. Namun, tidak sedikit 
para Sufi dan Yogi yang menggunakan mimpi sebagai medium penting untuk 
terhubung ke alam lebih tinggi. Maka, di Timur dikenal praktik dream 
yoga. [Gede Prama, Penulis buku Simfoni di Dalam Diri: Mengolah Kemarahan 
Menjadi keteduhan – Kompas 20/6/09]
-------
Bila kita cermati dari ketiga calon presiden dan wakil presiden yang saat ini 
sedang gencar berlaga, biarpun sudah pernah menjadi presiden toh tetap saja 
ingin menggapai impian si Nyoman tuk kembali menjadi presiden. Paling tidak 
tinggal dua langkah lagi. Hal itu memang penting bagi mereka, dan kita semua 
pun mungkin tahu alasannya… Namun yang lebih penting setelah impiannya nanti 
tercapai dan sebagian lagi tentu tidak tercapai, maukah mereka semua berfikir 
kembali dan siap untuk menjadi Nyoman sepenuhnya? Bagi kebaikan, kemajuan 
demokrasi, kehidupan dan kesejahteraan bangsa Indonesia ke depan. Maka siapapun 
nanti yang akan terpilih menjadi presiden Indonesia ke depan, hendaklah langkah 
dan praktiknya senantiasa berhati dan berjiwa Nyoman.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat! 
 
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
The Flag 
Air minum COLDA - Higienis n Fresh ! 
ERDBEBEN Alarm



 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke