(Tulisan ini juga disajikan dalam website http://kontak.club.fr/index.htm)


Catatan A. Umar Said


            Sesudah Suharto meninggal


Sesudah Suharto dikuburkan di Astana Giribangun dengan upacara yang terasa
bagi banyak orang berlebih-lebihan, dan sesudah sekitar tiga minggu pers dan
televisi menjejali masyarakat dengan  berbagai siaran  - yang juga dengan
cara-cara  yang “kebablasan” -  mengenai sakitnya dan kemudian mengenai
meninggalnya, maka sekarang orang mulai bertanya-tanya apa saja  yang akan
terjadi selanjutnya.  Umpamanya : apa yang akan terjadi dengan berbagai
perkara anak-anaknya, bagaimana kelanjutan proses hukum tentang kasus 7
yayasan, apa jadinya dengan kasus laporan PBB dan Bank Dunia tentang harta
yang dicurinya, dan apakah kesalahan dan dosa-dosanya bisa dima’afkan
rakyat, atau, apakah ia bisa diangkat sebagai “pahlawan nasional” ?  Atau,
apakah Suharto adalah orang yang perlu atau pantas dihormati karena sudah
“berjasa besar”? Atau, lainnya lagi, apakah Suharto seorang “negarawan yang
terhormat”?



Bukan hanya itu saja, melainkan masih banyak sekali soal-soal besar dan
parah, yang ditinggalkan sebagai warisan Suharto, yang harus dihadapi rakyat
dan negara. Jadi, persoalan Suharto tidak habis dengan dikuburkannya di
Giribangun, tetapi masih akan mempunyai buntut yang panjang sekali.Sebab,
persoalan Suharto adalah persoalan yang besar, serius, dan menyangkut banyak
masalah, dan yang kebanyakan menjadi masalah yang sangat kontroversial.



Makin jelas : Orde Baru jilid II



Satu hal yang patut menjadi perhatian kita semua adalah bahwa dengan “hiruk
pikuk” selama lebih dari 3 minggu selama ia sakit sampai meninggalnya pada
tanggal 27 Januari, para Suhartois dan para pendukung Orde Baru telah
membuang kedok mereka dengan terang-terangan menyatakan masih menaruh
simpati yang besar dan hormat yang tinggi kepada orang yang selama ini sudah
dikutuk atau dihujat oleh banyak orang, baik  di Indonesia maupun  di
kalangan internasional. Dan mereka ini terdiri dari “tokoh-tokoh”  penting
di bidang eksekutif, legislatif, judikatif, partai-partai politik, kalangan
agama, dan militer di negeri kita.



Dari serentetan peristiwa yang berkaitan dengan sakitnya sampai meninggalnya
Suharto sudah nampak dengan jelas sekali bahwa pengaruh Orde Baru masih kuat
sekali di kalangan “elite” negeri kita, dan bahkan sebagian besar kekuasaan
politik (dan media !) ada di tangan para simpatisan Suharto. Fenomena ini,
sekali lagi, dan untuk kesekian kalinya, menunjukkan dengan jelas bahwa pada
pokoknya, atau pada intinya, pemerintahan di negeri kita dewasa ini, adalah
Orde Baru jilid dua. Ini adalah masalah penting (dan serius !) , yang patut
jadi pegangan kita dalam membaca situasi dan melakukan berbagai kegiatan
demi perbaikan kehidupan bangsa dan negara kita.

Dengan kacamata yang demikian maka kita bisa melihat lebih jernih
bagaimanakah sebenarnya pemerintahan SBY-JK, dan bagaimana pulakah  Golkar
yang merupakan kekuatan politik dominan yang banyak menduduki pos-pos
penting dalam bidang eksekutif, legislatif, judikatif ( dan militer !).
Dengan kacamata yang begini kita bisa juga melihat bahwa ucapan presiden SBY
pada upacara di Giribangun tentang Suharto adalah sepenuhnya bernafaskan
Orde Baru  ( Kalimatnya : “Kita telah kehilangan putra terbaik bangsa,
seorang pejuang setia, prajurit sejati dan seorang negarawan terhormat
Dengan jujur dan hati yang bersih, kita patut mengakui begitu banyak jasa
yang almarhum berikan kepada bangsa dan negara” – Gatra 28 Januari).

Dengan kalimat SBY yang lain “yang meminta seluruh bangsa Indonesia agar
berjiwa besar dan tulus memberikan terimakasih dan penghargaan yang tinggi
atas darma bakti Suharto kepada bangsa  dan negara, maka nyatalah bahwa
seruannya ini (sama dengan yang dilontarkan oleh banyak
simpatisan-simpatisan Suharto lainnya, terutama dari kalangan Golkar) adalah
bertentangan sama sekali dengan aspirasi rakyat yang menuntut diadilinya
Suharto karena dosa-dosanya yang banyak dan besar.

Suharto dan Golkar adalah satu dan senyawa

Dengan kacamata yang demikian itu pulalah kita bisa melihat mengapa Ketua
DPR Agung Leksono, yang juga pimpinan utama Golkar juga bicara muluk-muluk
tentang Suharto dalam upacara di jalan Cendana, dan mengapa pimpinan fraksi
Golkar di DPR berusaha dengan getol mengusulkan supaya Suharto diberi gelar
pahlawan nasional. Sebab, Suharto adalah orang penting (ketuanya) dalam
Dewan Pembina Golkar, dan selama puluhan tahun menjadi “pemilik” atau
“penguasa” Golkar. Dalam kaitan ini maka bisalah kiranya  diibaratkan bahwa
Suharto adalah Golkar atau bahwa Golkar dan Suharto adalah satu dan senyawa.
Atau untuk lebih jelas lagi, yaitu bahwa Suharto dan Golkar dan Orde Baru
adalah satu.

Karena masih kuatnya orang-orang Suhartois dalam berbagai bidang
pemerintahan itulah maka kita bisa mengerti bahwa tuntutan untuk mengadili
Suharto tadinya (sebelum ia meninggal) mendapat begitu banyak halangan, dan
sekarang pun masih sulit untuk mengusut perkara 7 yayasannya atau
mengembalikan harta yang dicurinya (menurut program PBB dan Bank Dunia StAR
Initiative). Malahan, diberitakan  bahwa dalam sidang konferensi UNCAC di
Bali , delegasi Indonesia-lah yang justru menghalang-halangi dibicarakannya
soal korupsi Suharto dalam konferensi itu (Jawapos 29 Januari)

Dari segi ini kita bisa melihat bahwa bagi Golkar (dan pendukung-pendukung
Orde Baru lainnya yang terdapat di berbagai kalangan), membela nama baik
Suharto adalah sangat penting untuk menjaga kepentingan mereka sendiri,
mengingat begitu eratnya hubungan antara Suharto dengan Golkar. Jatuhnya
nama Suharto  atau rusaknya citranya adalah satu hal yang sama sekali tidak
menguntungkan Golkar bahkan ikut juga merusaknya. Oleh karena itu, dengan
berbagai cara dan jalan, Golkar dan para Suhartois lainnya berusaha sekuat
mungkin supaya Suharto jangan sampai dituntut pengadilan atau dicemarkan
namanya.

Gelar “pahlawan nasional” untuk Suharto

Untuk tujuan ini, antara lain, maka diusahakan supaya proses hukum terhadap
Suharto dihentikan, atau supaya perkaranya di-deponir, atau dibatalkan,
dengan alasan sakit permanen, atau karena usia lanjut, atau dima’afkan
kesalahan-kesalahannya karena “mengingat jasa-jasanya”. Dengan tujuan yang
searah ini pulalah maka Golkar melontarkan kampanye pembentukan opini umum
tentang  perlunya Suharto diberi gelar pahlawan nasional. Sebab, kalau gelar
pahlawan nasional itu berhasil diraih untuk Suharto, maka akan makin
sulitlah usaha untuk menuntut diadilinya dosa-dosa yang begitu banyak telah
dibuatnya. Jadi, gelar pahlawan nasional itu bukan hanya menyelamatkan nama
baik Suharto saja, melainkan juga juga kepentingan menyelamatkan citra
Golkar dan para Suhartois umumnya. Gelar pahlawan nasional kepada Suharto
adalah “perisai” atau “payung” bagi Golkar dan para Suhartois lainnya, untuk
menyelamatkan diri dari hujatan banyak orang.

Dengan kacamata bahwa pemerintahan dewasa ini adalah Orde Baru jilid dua,
maka kita akan bisa melihat bahwa perspektif tentang situasi negara dan
bangsa kita di masa datang yang dekat ini sama sekali tidaklah cemerlang.
Kerusakan moral dan pembusukan mental di kalangan para pejabat dan kalangan
elite, yang sudah berjalan puluhan tahun (!!!) akan diteruskan oleh
orang-orang Orde Baru jilid dua ini. Seperti yang bisa sama-sama kita
saksikan, apa yang buruk di jaman Orde Baru akan terus berlangsung, dalam
bentuk dan cara baru, dan dengan kadar yang baru juga.

Kita sudah sama-sama melihat bahwa banyak soal parah yang diwariskan oleh
Orde Baru tidak atau belum bisa diatasi atau dipecahkan, bahkan banyak yang
tambah makin parah.Korupsi besar-besaran malahan makin menjadi-jadi (ingat
kasus-kasus yang terbaru : kasus pimpinan Bank Indonesia dan anggota-anggota
DPR yang tersangkut dengan dana BLBI, kasus mantan Letnan Jenderal dan
Menteri Dalamnegeri Hari Sabarno soal pengadaan mobil-mobil pemadam
kebakaran). Pengangguran dan kemiskinan masih tetap merupakan sumber
penderitaan rakyat banyak. Angka kemiskinan malah meningkat dari 35 juta
dalam tahun 2005 menjadi 39 juta dalam tahun 2007 (Tempo Alternatif 31
Januari 2008).

Dengan GOLKAR tidak akan ada perubahan besar

Dengan adanya kekuaaan politik yang pada pokoknya masih dikuasai oleh
orang-orang Orde Baru jilid dua sekarang ini, maka tidak banyak yang bisa
diharapkan dari mereka adanya perubahan-perubahan besar dan fondamental
untuk perbaikan kehidupan rakyat banyak, terutama rakyat miskin yang
jumlahnya puluhan juta keluarga ini. Keadaan yang demikian ini akan tetap
berlangsung terus, selama orang-orang Suhartois masih menduduki pos-pos
penting di berbagai bidang pemerintahan. Singkatnya, dari para Suhartois
sama sekali tidaklah bisa diharapkan adanya perbaikan besar untuk kehidupan
rakyat banyak.

Kalau Golkar (dan kalangan Suhartois lainnya) sudah terbukti – dengan jelas
pula ! - tidak bisa berbuat banyak untuk perbaikan hidup orang banyak selama
32 tahun Orde Baru ditambah 10 tahun pasca-Suharto, maka tidaklah ada alasan
bagi kita semua untuk bisa percaya bahwa dalam masa dekat ini mereka akan
bisa berbuat lebih baik lagi dari pada yang sudah-sudah. Malahan sebaliknya,
situasi akan makin parah di berbagai bidang. Banyak tanda-tandanya sudah
bisa kita baca mulai sekarang.

“Arus balik” perlawanan terhadap Orde Baru jilid II

Karenanya, kita semua patut gembira bahwa sesudah  meninggalnya Suharto,
maka akhir-akhir ini muncul tanda-tanda tentang adanya “arus balik”, yang
berupa perlawanan keras dari banyak kalangan masyarakat terhadap Orde Baru
jilid dua. Arus balik perlawanan ini bukan hanya berupa penolakan terhadap
seruan para Suhartois untuk mema’afkan algojo pembunuhan besar-besaran
terhadap jutaan orang tidak bersalah apa-apa atau pencuri uang rakyat nomor
satu di dunia ini, melainkan juga perlawanan politik, yang antara lain
berupa penolakan untuk mengibarkan bendera setengah tiang, atau penampikan
usul untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepadanya.

Yang lebih menggembirakan lagi adalah kenyataan bahwa “arus balik
 perlawanan” terhadap Orde Baru jilid dua ini lahir dari berbagai kalangan
yang luas sekali, dan bukan lagi hanya terdiri dari para korban Orde Baru
saja atau golongan “kiri” lainnya, melainkan juga terdiri dari
kalangan-kalangan lainnya dalam masyarakat. Mereka telah membentuk berbagai
macam organisasi front bersama, ada yang dinamakan Aliansi Rakyat Mengadili
Suharto, ada yang dengan nama Kesatuan Rakyat Adili Suharto (KERAS). Ada
yang di Solo .menamakan dirinya AMUK RAKYAT (Aliansi Rakyat untuk
Kesejahteraan Rakyat)

Dalam berbagai organisasi front luas ini ambil bagian bermacam-macam
organisasi, yang terdiri dari kaum intelektual, seniman, ahli hukum, buruh,
tani, perempuan, rakyat miskin dll. Yang paling menggembirakan ialah adanya
kegiatan atau aksi-aksi yang banyak dilakukan oleh generasi muda, yang
terdiri dari kalangan mahasiswa atau kalangan pemuda lainnya.

Di Bali dalam demo yang diadakan oleh berbagai organisasi  mahasiswa telah
dibagi-bagikan pernyataan yang berisi tuntutan supaya kasus korupsi Soeharto
terus diusut hingga ke kroni-kroninya. “Tidak ada alasan untuk menghentikan
apalagi hanya karena ingin memberi gelar pahlawan,” tegas Hasan yang menjadi
Korlap aksi itu. Poster yang dibuat antara lain bertuliskan, “Adili kroni
Soeharto”, “Tidak ada Kata Maaf untuk Pelanggar HAM”, dan lain-lain.

Di Semarang para mahasiswa menyatakan menolak keras jika pemerintah
memberikan gelar pahlawan kepada mendiang mantan Presiden RI Suharto.
Mahasiswa menilai, “Suharto bukanlah sosok pahlawan yang berhasil membawa
bangsa ini ke arah yang benar dan mensejahterakan rakyat”

Tampilnya generasi muda adalah menggembirakan

Aksi-aksi yang serupa atau searah jiwanya telah diadakan juga oleh berbagai
kalangan (terutama generasi muda) di Jakarta, di Solo, di Jogya, di Medan
dll Tampilnya generasi muda dalam banyak aksi-aksi perlawanan terhadap Orde
Baru jilid dua dan penolakan terhadap usul-usul untuk pemberian gelar
pahlawan kepada Suharto adalah penting, baik untuk dewasa ini maupun untuk
masa datang. Masa depan bangsa dan negara kita adalah di tangan mereka, di
samping pentingnya peran golongan-golongan lain dalam masyarakat.
Kebangkitan generasi muda sekarang ini adalah investasi yang berharga bagi
rakyat di kemudian hari. (Harap baca « Kumpulan berita » dalam rubrik
Sesudah Suharto meninggal dan Meninggalnya mantan presiden Suharto di
website http://kontak.club.fr/index.htm ).Mengingat hal-hal itu semua, maka
menjadi makin jelaslah bahwa perjuangan bersama dari seluruh kekuatan
demokratis di Indonesia melawan Orde Baru jilid dua menjadi satu dengan
perlawanan terhadap usul diberinya gelar pahlawan nasional kepada Suharto,
dan perlawanan terhadap perma’afan terhadap segala dosa-dosanya yang  besar
di bidang HAM dan KKN. Melawan bersama-sama  - dengan segala cara dan
bentuk - terhadap Orde Baru jilid dua yang masih tetap didominasi oleh
kekuatan-kekuatan pro Suharto (baca : terutama Golkar dan sebagian dari
militer)  adalah satu-satunya jalan untuk menuju tercapainya
perubahan-perubahan fondamental bagi kehidupan rakyat banyak, terutama
rakyat miskin.

Singkatnya dan jelasnya, akan sama-sama kita saksikan, nantinya,  bahwa
negara dan bangsa Indonesia akan bisa mengadakan perubahan-perubahan besar
hanya kalau para Suhartois (dalam Golkar dan kalangan-kalangan lainnya)
sudah dapat disingkirkan dari kekuasaan politik. Hanya kekuasaan politik di
tangan kekuatan-kekuatan demokratis yang benar-benar pro-rakyatlah yang akan
bisa menciptakan perubahan-perubahan besar di Indonesia, seperti yang
ditunjukkan oleh pengalaman berbagai negeri di Amerika Latin dewasa ini..

Paris, 31 Januari 2008











No virus found in this outgoing message.
Checked by AVG Free Edition.
Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.19.17/1252 - Release Date: 30/01/2008
20:51

Kirim email ke