================================================= 
THE WAHANA DHARMA NUSA CENTER [WDN_Center] 
Seri : "Membangun spirit, demokrasi, konservasi sumber daya, 
           nasionalisme, kebangsaan dan pruralisme Indonesia."  
================================================= 
[Spiritualism, Nationalism, Resources, Democration & Pruralism Indonesia 
Quotient] 
Memperingati Hari anti Korupsi 9 Desember 2009 dan Hari HAM 10 Desember 2009 
"Belajar menyelamatkan sumberdaya negara untuk kebaikan rakyat Indonesia." 
Sri-Boediono-Yudhoyono
Selasa, 15 Desember 2009 | 09:46 WIB
Izinkan saya membuat kolom agak personal. Seandainya saya dihadapkan pada 
pilihan untuk memilih Boediono atau Aburizal Bakrie, pilihan saya adalah 
Boediono. Jika pilihan yang tersedia adalah antara Aburizal Bakrie dan Sri 
Mulyani, jawaban saya adalah Sri Mulyani.
Berdasarkan pengetahuan serba terbatas saya mengenai rekam jejak ketiganya, 
kredibilitas dan integritas Boediono dan Sri Mulyani lebih meyakinkan.
Saya mengenal Boediono melalui buku Bunga Rampai Ekonomi Mikro (Gadjah Mada 
University Press, 1976) yang saya baca ketika menjalani tahun-tahun awal 
perkuliahan di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia. Lalu, kami 
berkenalan secara pribadi saat sama-sama dilantik sebagai anggota MPR Utusan 
Golongan, 1 Juli 1998. Selebihnya, kami tak punya interaksi personal.
Namun, saya mengikuti rekam jejaknya sebagai seorang teknokrat yang berperan 
dalam pemerintahan Baharuddin Jusuf Habibie, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo 
Bambang Yudhoyono. Sebelum dikaitkan dengan skandal Bank Century, saya tak 
pernah mendengar namanya dihubungkan dengan kasus-kasus penyelewengan 
kekuasaan. Saya mengenalnya sebagai pejabat yang lurus, bersahaja, dan bersih.
Ia memang kerap dikritik sebagai penganut neoliberalisme dan lamban lantaran 
terlampau berhati-hati. Namun, menimbang rekam jejaknya, Boediono layak 
menduduki jabatan sepenting wakil presiden.
Meyakinkan
Dibandingkan dengan Boediono, Sri Mulyani jauh lebih saya kenal. Reformasi 
kerap mempertemukan kami dalam forum-forum resmi ataupun yang lebih kasual.
Sebagai teman tandem dalam forum-forum seminar, ia adalah pembicara andal, 
penuh ilustrasi, cerdas, dan meyakinkan. Diam-diam, saya banyak belajar hal 
ihwal ekonomi darinya. Sebagai kolega dalam pertemuan-pertemuan kasual dengan 
pejabat publik, ia penuh percaya diri, artikulatif, senang bicara langsung ke 
sasaran, dan berpendirian kukuh.
Sri Mulyani kemudian ditunjuk Yudhoyono menjadi Menteri Keuangan dalam Kabinet 
Indonesia Bersatu. Saya tak secuil pun meragukan kompetensinya.
Terlepas bahwa sejumlah kalangan tak sepaham dengan pendekatan dan orientasi 
kebijakannya, sejarah mencatat bahwa Sri Mulyani mengemban tugasnya dengan 
baik. Di bawah kepemimpinannya, Departemen Keuangan melakukan sejumlah langkah 
reformasi birokrasi yang konkret. Sebagai menteri, ia juga dikenal lurus, 
tegas, dan kukuh dengan sikap-sikap dasarnya — terlepas bahwa sejumlah 
koleganya, bahkan Wakil Presiden, berbeda secara diametral dengannya.
Saya pun mengingat Sri Mulyani sebagai pejabat publik yang kompeten, lurus, 
tegas, dan memiliki orientasi jelas. Bagaimanapun, saya akan tetap mengingatnya 
dalam konotasi itu kecuali nanti ujung dari proses politik dan hukum kasus Bank 
Century mengharuskan saya merevisi ingatan itu.
Sementara itu, dibandingkan dengan Boediono dan Sri Mulyani, saya lebih 
mengenal Yudhoyono secara personal. Pertemanan kami dimulai pada akhir 1994 
ketika Yudhoyono berpangkat kolonel dan menjabat Asisten Operasi Kepala Staf 
Kodam Jaya.
Saya segera mengenalnya sebagai pemilik banyak gagasan besar, tentara pemikir 
yang senang diskusi, dan seorang yang punya cita-cita besar untuk Indonesia. 
Bersama-sama dengan (alm) Agus Wirahadikusumah dan Agus Wijoyo, Yudhoyono 
kemudian berperan mengubah pandangan generik saya tentang tentara. Awalnya, 
saya berpikir bahwa tak mungkin ada ruang diskusi dengan para perwira tentara. 
Ternyata, mereka bertiga adalah teman diskusi yang menantang dalam spektrum 
tema perdebatan yang sangat luas.
Jarak politik kemudian terbentang di antara kami ketika Yudhoyono menjadi 
presiden dan saya berusaha bertahan dalam posisi nonpartisan dan melanjutkan 
ikhtiar memberikan kritik dan masukan kepada para presiden Indonesia.
Kasus Century
Mengemukanya skandal Bank Century tak serta-merta mengubah pandangan saya 
tentang Boediono dan Sri Mulyani. Saya pun tak serta-merta menempatkan 
Yudhoyono sebagai terdakwa.
Saya tak terbiasa memvonis seseorang atau sekelompok orang secara 
tergopoh-gopoh. Keadilan mesti ditegakkan atas siapa pun.
Meski demikian, sebagai warga negara, saya merasa berhak untuk menuntut agar 
skandal ini diusut tuntas dan semua pihak yang bersalah diberikan sanksi 
sepadan.
Dan seandainya Boediono dan Sri Mulyani ternyata kemudian terbukti bersalah, 
dengan menimbang rekam jejak keduanya, saya menduga kedua orang lurus ini tak 
kuat menahan arus politik yang lebih kuat di sekitar mereka.
Adapun mengenai Yudhoyono, terus terang saja saya dibuat makin tak mengerti. 
Mengapa, dengan modal politik dan legitimasi yang sebegitu besar, ia semakin 
terlihat tidak presidensial. Saya dibuat makin tak paham, mengapa ia selalu 
terlambat menjejeri perkembangan politik yang berjalan begitu cepat hari-hari 
ini.
Seandainya Yudhoyono pun terlibat, tentu saja ia pun mesti menerima sanksi 
hukum dan politik setimpal. Saya percaya, penegakan hukum dalam rangka 
pemberantasan korupsi harus berlaku adil kepada siapa pun. [EEP SAEFULLOH 
FATAH, CEO Pol Mark Indonesia, Kompas, 15/12/09]
---------
Belajar dari kasus kebijakkan ekonomi yang dampaknya menguras energi dan waktu 
para pejabat publik negeri ini, bahkan sebelum 100 hari kerja terlewati.
Menuju Indonesia sejahtera, maju dan bermartabat.
Best Regards, 
Retno Kintoko 
 
 
Alarm Gempa [ERDBEBEN Alarm]
Sedia Bibit Ikan Patin




 
SONETA INDONESIA <www.soneta.org>
Retno Kintoko Hp. 0818-942644
Aminta Plaza Lt. 10
Jl. TB. Simatupang Kav. 10, Jakarta Selatan
Ph. 62 21-7511402-3 
 


      

Kirim email ke