--- In [EMAIL PROTECTED], "setyawan_abe" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Masa demi masa, satu demi satu, zaman dan manusia terus bergerak dan berubah, hampir di semua sisi dan sendi kehidupan, kemudian muncullah istilah-istilah : destruksi, reformasi, rekonstruksi, dekonstruksi, dan lain-lain. Lalu jika pada diskusi "Sewindu reformasi mencari visi Indonesia 2030" lalu adalah sebuah keprihatinan dan upaya mencari konsep rekonstruksi (pembangunan ulang) visi dan orientasi bangsa tentang ekonomi, sosial, budaya dan alam kehidupan Indonesia. Jika sistem yang sekarang ada tidak cukup signifikan dampak nyatanya dimana sistem adalah faktor diluar manusia dan atau sistem adalah hasil karya manusia, juga bagaimana dengan korupsi, ketidakadilan dan kedholiman? Maka membahas tentang `diri' manusia adalah hal besar yang melekat padanya. Dan kini, kita berada pada titik nadir sejarah peradaban (semoga mulai kembali bangkit). Sehingga kehadiran model-model manusia ideal teladan sangat dirindukan masyarakat, untuk memandu mengembalikan kondisi dan kejayaan peradabannya. Adalah pernah nyata ada fakta pada jamannya, sebuah masyarakat yang buta aksara dan buta etika, kemudian lahir para pemikir dan ilmuwan besar, seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit, dan sebagainya. Dari masyarakat yang tidak terstruktur itu, lalu lahirlah para pemimpin besar : Pemimpin negara, seperti Abu bakar, Umar, Utsman, Ali atau pemimpin militer seperti Khalid bin Walid, Abu Ubaidah bin Jarrah, Sa'ad bin Abi Waqqash, dll. Juga muncul enterpreneur handal : Abu Bakar, Utsman, Abdurrahman bin Auf dll, lalu kelompok professional Ali bin Abi Thalib dan Syuraih (Ahli hukum), Abu Ubaidah (administrasi), Hudzaifah (Intellijen), Zaid bin Tsabit (Bahasa). Model-model manusia teladan seperti mereka, dengan kematangan akal, emosi dan citarasa yang integral lalu dengan keteladanan dalam amal nyata. Mereka seperti magnet yang menarik dan berpengaruh, seperti `Sang Surya' yang selalu memberi sepenuh energi, seperti oksigen yang menyegarkan, seperti tanaman yang memberi kita makan, atau bagai air yang menyegarkan dan melepas haus dahaga kita saat kita buka puasa Ramadhan (lalu). Ramadhan Berlalu Semua memang telah berlalu pada masa sejarahnya, dan kita sebagai manusia yang selalu belajar bukan berarti harus mengabaikan `Jas Merah' (Jangan lupa sejarah), karena ia adalah bagian dari mata rantai kemarin-kini-esok yang tidak bisa dipenggal, sebagaimana B. Russel mengatakan : "Hystory acquires meaning and objectivity only when it establishes a coherent relation past and future" Sudah menjadi sunatullah, bahwa hidup dan kehidupan adalah sebuah perjalanan, pun sering kita mendengar `siklus', sebuah proses yang berbentuk melingkar atau membulat. Demikian juga bumi, matahari, planet-planet, molekul, atom, berbentuk bulat. Demikian juga dengan peradaban yang mengalami pergulirannya sesuai sunatullah, dengan 8 (DELAPAN) abad naik, 8 (DELAPAN) abad turun, 8 (DELAPAN) abad naik. Berbicara peradaban, maka tak bisa lepas dari membahas `tentang' manusia, jika Allah telah menunjukkan metode training tahunan satu bulan Ramadhan penuh adalah serangakain proses untuk `menjadi' (to be), telah berlalu beberapa waktu. Tak terlalu salah jika kita mengenangnya, dari sana kita belajar bagaimana menahan nafsu. Bangun pagi-pagi sebelum subuh untuk makan sahur, lalu siangnya merasakan lapar sebagaimana rasa laparnya meraka yang berkekurangan, kemudian berikut adab-adabnya : tidak mengganggu orang lain, tidak mengambil hak orang lain, tidak korupsi, tidak dholim dan sebagainya. Ditambah dengan anjuran `ritual' tarawih adalah upaya mendekatkan diri kepada Ilahi, berdiri dengan takbir, rukuk dengan memuji keagunganNYA dan sujud dengan mengakui ketinggianNYA dengan posisi tersungkur, kepala lebih rendah dari pantatnya, lalu ketika kembali berdiri dengan melantunkan `Allahu Akbar' (sekaligus sebagai syarat). Dilakukan berulang-ulang, ada yang 23 rekaat, ada yang 36 rekaat ada juga yang 8 rekaat. Lalu di akhir –sekaligus sebagai rangkaian training- kita dituntut pembuktian amal nyata, dengan 2,5% zakat sebagai salah satu bukti solidaritas sosial kita, adalah bentuk hubungan horisontal bermasyarakat. Dari sini juga pernah terjadi sebuah therapy ekonomi ketika pernah Umar bin Khattab memimpin negaranya, dengan mengumpulkan zakat para warganya, hanya dalam massa 8 tahun negaranya mengalami surplus, bahkan akhirnya sampai-sampai tidak ditemui satu warga pun yang mau menerima zakat, karena semua telah sejahtera. Dan kini kita kembali Fithri. Dan kini Syawal telah kita lalui. Begitu banyak yang bisa kita petik pelajaran, begitu rupa nyata kita juga merasakan nuansa-nuansa kenikmatan dan kedamaian didalamnya, baik sebagai individu maupun berjama'ah, berbangsa dan bernegara. Dan selanjutnya adalah bagaimana nurani kita menerima semua realita-realita tersebut. Namun sejurus kemudian, lagi-lagi yang masih menjadi tanda tanya besar adalah : Akankah berlanjut ke 11 bulan berikutnya setelah Ramadhan ? Akankah berlanjut ke 10 bulan berikutnya setelah Syawal? `Setidaknya' masih ada `ritual' bulanan, puasa ayyamul bidh (setiap tanggal 13, 14, 15 kalender bulan). Ritual mingguan, sholat jum'at dan puasa senin kamis dan Ritual harian, sholat 5 waktu. Semua ada pada siklus yang beraturan dan teratur. Semoga kita terbantu (baca: bukan terbatu). Ramadhan berlalu, sebelas bulan menunggu. Ramadhan+Syawal berlalu, sepuluh bulan menunggu [Non-text portions of this message have been removed] --- End forwarded message ---