http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

[ Selasa, 07 September 2010 ] 


Teror Pencitraan Jelang Lebaran 
Oleh Atik Catur Budiati


ADA sebuah guyonan dari seorang ulama dari Jombang ketika bertemu penulis pada 
acara seminar di Australia. "Mendekati akhir puasa, jamaah masjid mulai 
mengalami 'kamajuan signifikan'," kata dia. Pernyataan itu cukup mengherankan 
karena sejak dulu negeri kita memang dikenal berpenduduk muslim terbesar di 
dunia. Pernyataan ulama tersebut jelas kontradiktif dan terkesan tidak 
realistis. Lantas, apa maksud "kemajuan signifikan" itu? 

Dengan sedikit senyum merekah dari bibirnya, beliau pun segera menyudahi 
keheranan saya. Menurut dia, "Kemajuan signifikan yang saya maksud adalah 
barisan jamaah yang semakin lama semakin maju. Dengan begitu, jamaah salat yang 
dulu memadati masjid sampai ke barisan paling belakang, mendekati Lebaran, kini 
mulai berkurang dan tinggal dua barisan di paling depan saja". Itu tentu 
sindiran pedas dan kritik tajam bagi masyarakat muslim di negeri Indonesia. 

Di Negeri Nonmuslim 

Hal tersebut jelas cukup berbeda dengan keadaan di negeri rantau, misalnya, 
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat, yang jumlah jamaahnya di masjid selalu 
"stabil", pada awal puasa hingga detik-detik menjelang Lebaran tiba. Itu 
menunjukkan bahwa umat beragama di negeri yang mayoritas penduduknya nonmuslim 
memiliki kekokohan dan solidaritas keagamaan yang masif. 

Dalam teori solidaritas sosial-teologis Durkheim, fenomena tersebut merupakan 
ungkapan emosional dan ekpresi kebatinan kolektif yang secara otomatis 
membangkitkan spirit kebersamaan dan rasa tali persaudaraan tanpa mengenal 
batas wilayah dan ideologi keagamaan. 

Dengan demikian, komunitas teologis yang berbeda sudut pandang dalam tafsiran 
ayat suci sebuah agama akan menjadi tampak biasa dan saling meleburkan diri di 
negeri Barat. Islam sudah ada dan eksis di negeri Barat. Umat Islam yang 
berasal dari negeri mayoritas muslim (Indonesia, Timur Tengah, dan lain-lain) 
justru cenderung mengurai konflik horizontal yang memanas dan eskalatif di 
negeri sendiri. Rasa superioritas komunitas itu akan mencair dan melebur 
menjadi rasa toleransi apabila mereka berada di negeri Barat dan Eropa. 

Yang lebih unik lagi, masjid di Barat akan selalu diupayakan diisi dengan 
beragam kegiatan keagamaan mulai yang sunah hingga yang wajib, baik pada 
masa-masa normal maupun masa Ramadan. Citra yang ingin dibentuk di negeri Barat 
adalah umat Islam merupakan komunitas yang solid, penuh persaudaraan, toleran, 
antiteror, inklusif, dan taat menjalankan nilai-nilai agama. Kegiatan teologis 
umat Islam di Barat, khususnya pada Ramadan kali ini, terbilang berbeda dengan 
Ramadan yang sudah-sudah. 

Kegiatan teologis muslim di Barat, mulai mengagendakan aksi syiar Islam ke luar 
masjid hingga saling berdialog dengan nonmuslim. Itu dilakukan karena akhir 
Ramadan dan Lebaran kali ini bertepatan dengan peringatan 11 September di AS. 
Terlebih, ada seorang pastor di AS yang menyerukan melakukan gerakan membakar 
kitab suci umat Islam (Alquran) pada saat momen peringatan 11 September 
mendatang (tepat pada saat umat Islam merayakan Lebaran). 

Nah, sikap umat Islam di Barat itu merupakan upaya counter pencitraan orang 
Barat yang berpikiran naif, sempit, dan dikotomis. Citra yang berusaha 
dikibarkan oleh umat Islam di Barat berkaitan dengan citra Islam yang notabene 
secara hakiki adalah rahmatan lil alamin (agama rahmat bagi alam semesta), 
cinta damai, dan nir kekerasan.

Membalikkan Nilai-Nilai 

Logika terbalik dan kontradiktif justru terjadi di negeri kita sendiri. Hingga 
saat ini, tidak sedikit masyarakat kita yang justru membangun citra buruk di 
mata orang luar. Korupsi merajalela, teror bom dilakukan atas nama tuhan 
(jihad), kekerasan dijadikan solusi oleh kelompok garis keras saat menertibkan 
kegiataan yang mengganggu bulan Ramadan, serta konflik masal terjadi di antara 
umat Islam sendiri karena persoalan tafsir dan kegiatan keagamaan yang dianggap 
patologi. Masih banyak lagi contoh kasusnya. 

Kasus mutakhir yang sering disuguhkan ke hadapan publik adalah praktik 
konsumtif. Menjelang akhir puasa dan memasuki detik-detik Lebaran, banyak 
masyarakat muslim di negeri ini yang kecanduaan pergi ke mal secara masal. 
Mulai pagi hingga tengah malam, mereka sibuk membeli baju, celana, dan 
perlengkan Lebaran yang bermerek serta trendi di mal-mal. Data sementara 
menunjukkan, mal-mal di kota besar (Jakarta, Surabaya, Jogja, Medan, dan 
lain-lain) mengalami peningkatan pengunjung, terutama pada malam hari. 

Mal semakin ramai hingga tengah malam karena ada diskon midnight hingga 70 
persen yang ditawarkan oleh konter-konter pakaian. Akibatnya, masjid yang 
seharusnya digunakan untuk beriktikaf dan tadarus secara intensif menjelang 
akhir Ramadan justru tampak sepi, sedangkan mal tampak semakin padat merayap.

Ada semacam teror pencitraan dari iklan-iklan komersial yang telah merasuk ke 
jiwa dan pikiran masyarakat kita. Fungsi pakaian sebagai penutup tubuh kini 
dilogikakan sebagai "benda magis" yang menampilkan simbol kekayaan, kesuksesan, 
borjuis, dan ekonomis kaum metropolis. Pakaian muslim dan perlengkapan ibadah 
yang digunakan untuk mendekatkan diri pada Ilahi pun justru berubah menjadi 
gengsi sosial bagi si pemakainya karena pengaruh iklan gaya hidup dan merek 
pakaian ternama. 

Tragisnya lagi, model iklan pakaian, alas kaki, dan busana muslim yang 
belakangan marak di televisi justru lebih banyak menampilkan lekukan tubuh para 
perempuan yang sebetulnya tidak etis ditampilkan ke hadapan penonton. Hal itu 
dilakukan agar kita sebagai penonton tergoda oleh bujuk rayu iklan televisi 
tersebut dan membeli produk yang ada di iklan bersangkutan. 

Kondisi itulah yang dinamakan oleh Baudrillard sebagai kondisi masyarakat 
konsumtif yang sedang dimabuk dan kecanduan oleh teror pencitraan televisi. Apa 
pun alasannya, karakteristik masyarakat konsumtif tersebut tidak bersendi pada 
nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran kritis kita. Itu hanyalah bagian dari 
strategi kapitalisme yang diimpor dari Barat untuk menjerumuskan masyarakat 
kita ke jurang konsumerisme tiada akhir. Prinsip kejar terus pencitraan itu 
adalah membelokkan hakikat dasar realitas aslinya (ini yang disebut teori 
simulakrum). 

Karena itulah, untuk membalikkan nilai-nilai teror pencitraan tersebut, 
diperlukan kekuatan jiwa, pikiran, dan hati nurani agar tidak mudah tergoda 
bujuk rayu kapitalisme. Caranya? Kembalilah pada ajaran-ajaran agama yang 
memosisikan manusia sebagai mahluk cerdas, pintar, berpikir, serta humanis 
sekaligus sadar (dan tahu diri) tentang tindakan bujuk rayu "setan" dan 
tindakan yang diharapkan Tuhan. Semoga. (*)

*Atik Catur Budiati MA, sosiolog dari UNS (Solo), sedang riset gender dan anti 
kekerasan bekerja sama dengan UNICEF 

 



Kirim email ke