Analisis Hubungan Harta dengan Tazkiyyat an Nafs

By: Prof. Dr Achmad Mubarok MA

Manusia sebagai khalifah Allah dilengkapi dengan pelbagai kelebihan, tetapi 
sebagai hamba Allah, ia juga memiliki berbagai kelemahan. Di samping potensi 
kebaikan, manusia juga potensial terjerumus ke lembah kehinaan. Di satu sisi, 
manusia memiliki fitrah berketuhanan seperti yang disebut dalam surat Arrum/30 
: 3 (fa aqim wajhaka liddîni hanîfa fithratallahil latî fatharannâsa ‘alayhâ) 
yang menyebabkan ia rindu mendekatkan diri (taqarab dan taraqqi) kepada Tuhan, 
tetapi pada sisi lain, manusia memiliki hawa nafsu yang cenderung mengejar 
kenikmatan sesaat, yang sifatnya rendah, yang jika dituruti akan menjauhkan 
hubungan manusia itu dengan-Nya.

Dalam surat Ali Imran 14 disebutkan bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk 
mengikuti dorongan syahwatnya menyangkut wanita, anak-anak, perhiasan emas 
perak, kendaraan, ternak dan tanah lading. Kesemua hal tersebut bagi manusia 
mengandung makna kenikmatan, kebanggaan, dan manfaat, serta merupakan harta 
duniawi.
Salah satu penghambat hubungan manusia dengan Tuhannya adalah cinta harta atau 
hub ad dunyâ, mencintai hal-hal yang berskala dekat. Untuk mendekat kepada 
Tuhan, terlebih dahulu manusia harus bersih jiwanya sementara cinta harta 
merupakan salah satu daki yang mengotori jiwanya itu. Salah satu bentuk sifat 
orang yang cinta harta adalah kikir, hal ini benar-benar merusak jiwa manakala 
dipatuhi, seperti dikatakan dalam hadis Nabi riwayat Tabrani bahwa satu dari 
tiga hal yang merusak manusia adalah sifat kikir yang dipatuhi (suhhun 
muthô’un).

Oleh karena itu, metode melawan kekikiran adalah tidak mematuhinya yakni dengan 
cara mengeluarkan sebagian hartanya untuk sedekah, meski hawa nafsunya menyuruh 
yang sebaliknya. Perlawanan terus menerus terhadap sifat kikir itu merupakan 
proses tazkiyyah, dank arena kuatnya pengaruh jiwa nafsu, Alquran 
mengisyaratkan perlunya campur tangan kekuasaan untuk melakukan perlawanan 
terhadap sifat kikir manusia dalam bentuk perintah mengambil zakat bagi yang 
sudah berkewajiban seperti yang disebut dalam surat at Taubah/9 : 103 yu-tî 
mâlahu yatazakkâ.

Alquran sangat konsisten dalam menganjurkan pengeluaran harta, baik yang 
diwajibkan (zakat) maupun yang dianjurkan (sedekah), sampai nafs yang sudah 
tercemar dapat kembali manjadi nafs zakiyyah, seperti pendapat Abu Amr Ibn al 
A’la yang dikutip oleh ar Razi, yakni nafs yang tidak lagi terbelenggu oleh 
dorongan-dorongan syahwat. Apa yang dilakukan oleh Abu Bakar Sidik ketika 
beliau mengeluarkan harta untuk membebaskan Bilal, seorang budak Muslim yang 
sedang disiksa oleh majikannya karena keislamannya dipandang sebagai perwujudan 
dari jiwa yang sudah bersih. Seperti yang banyak disebut oleh para mufasir 
bahwa turunnya suart Allail/95 : 18 adalah berkenaan dengan perbuatan Abu Bakar 
tersebut.

Dapat disebut sebagai puncak tazkiyyah adalah apa yang dilakukan oleh Nabi 
Ibrahim ketika beliau siap melaksanakan perintah Tuhan menyembelih puteranya, 
Ismail karena posisi Ismail bagi Ibrahim adalah harta yang tidak ternilai, 
melebihi nilai seluruh hartanya.
Sebagaimana halnya kodrat manusia di hadapan kekuasaan Tuhan, manusia tidak 
bisa menjamin keberhasilan usahanya melakukan tazkiyyah, sebagaimana Rasul juga 
tidak bisa menjamin keberhasilan usahanya berdakwah sampai-sampai pamannya 
sendiri tidak beriman sebagaimana disebut dalam surat Alqasas/28 : 56. Dalam 
hal ini Alquran di samping memuji orang yang berusaha melakukan tazkiyyah juga 
menyebut tentang adanya hak otonomi Tuhan. Surat Annur 21 dan Annisa/5 : 49 
menyebutkan bahwa Allah menyucikan jiwa orang-orang yang dikehendaki-Nya. 
(balillahi yuzakki man yasyâ-u).

sumber, http://mubarok-institute.blogpsot.com

Wassalam,
agussyafii






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke