http://www.indopos.co.id/index.php?act=detail_c&id=214792


Senin, 06 Mar 2006,



Freeport dan Derita Rakyat Papua
Oleh Endang Suryadinata



Tanah Papua terus jadi sorotan media, baik nasional maupun internasional. Yang 
terbaru adalah pemblokiran kegiatan PT Freeport McMoran oleh massa di Timika 
serta demo para aktivis Papua di kantor Freeport di Jakarta (koran ini, 1 
Maret, hal 3).

Ribut-ribut soal yang terakhir itu, saya jadi ingat bahwa sebenarnya, akar 
semua persoalan tersebut bermuara pada kebijakan awal pemerintah Orba. Soekarno 
dengan kebijakan Orla-nya hanya berpaling ke Poros Beijing-Moskow. Akibatnya, 
sama sekali tidak ada investasi di Indonesia. 

Tetapi, ada juga untungnya karena Indonesia tidak memiliki utang. Sebaliknya, 
Soeharto sebagai penguasa baru Indonesia ketika itu mulai menengok ke Barat, 
khususnya Amerika Serikat. 

Soeharto melihat investasi asing sebagai jalan keluar untuk mempercepat 
pertumbuhan ekonomi. Itu tampak dari kebijakan UU Penanaman Modal Asing No 
1/1967 yang salah satu pasalnya memberikan jalan bagi masuknya investasi asing 
di bidang pertambangan (lihat pasal 8 UU No 11/1967). Tak lama berselang, 
keluarlah UU No 11/1967 tentang Pertambangan, yang semakin mengukuhkan jalan 
bagi investasi asing di bidang mineral.

Maka, masuklah Freeport ke Papua dan mulai beroperasi sejak 1967 atas izin 
rezim Soeharto. Tapi, banyak kalangan yakin bahwa bukan karena UU No 1 Tahun 
1967 Freeport berani masuk, tetapi karena adanya New York Agreement (1962) yang 
sebenarnya menyimpan agenda tersembunyi demi kepentingan ekonomi-politik AS. 

Kita ketahui lewat perjanjian New York itu, AS memang bernafsu memasukkan Papua 
ke wilayah Indonesia dengan jaminan pengelolaan sumber daya alam di Papua yang 
kaya mineral, pertambangan, energi, dan kehutanan serta perikanan. 

Guyonan Lama

Tidak heran jika setiap kali muncul isu terkait Freeport, ada guyonan lama 
bahwa Papua itu memang merupakan salah satu negara bagian dari Amerika Serikat. 
Guyonan satir tersebut kian menemukan signifikansinya saat Senator AS Russel 
Feingold bertemu dengan Presiden Yudhoyono justru di tengah demo warga Papua 
anti-Freeport.

Guyonan itu juga makin menemukan relevansinya jika kita mengkaji kontrak karya 
yang ditandatangani 1967, yang 90 persen menguntungkan Freeport. Bayangkan 
dengan kontrak karya itu, Freeport bebas menguasai wilayah yang amat luas di 
bumi Papua Barat. 

Bukan hanya itu, salah satu klausul kontraknya juga menyebutkan bahwa Freeport 
berhak memindahkan penduduk yang berada di areal pertambangan. Hak-hak asasi, 
hak adat, dan warisan leluhur penduduk setempat sama sekali tidak diakomodasi. 

Bencana lingkungan juga terjadi seiring dengan kegiatan Freeport. Para aktivis 
lingkungan dunia tentu masih ingat peristiwa 4 Mei 2000 ketika terjadi 
longsoran tumpukan batuan limbah di tempat pembuangan di Danau Wanagon yang 
menewaskan empat pekerja. 

Kejadian jebolnya Danau Wanagon itu merupakan yang ketiga. Bahkan, berdasar 
foto satelit telah terjadi pencemaran lingkungan yang sangat luas di sekitar 
Freeport. Tidak heran jika sosok sekaliber Amien Rais pun lantang menyuarakan 
agar kontrak karya Freport ditinjau kembali.

Sayang, jika disinggung soal peninjauan kembali kontrak karya itu, pemerintah 
Indonesia (saat ini) seperti ketakutan. Pemerintah berargumentasi takut masalah 
tersebut dibawa ke Badan Arbitrase Internasional. Pemerintah kita memang 
seperti trauma dengan kasus Karaha Bodas. Gara-gara dianggap mencederai 
perjanjian, Indonesia oleh Arbitrase Internasional pada Desember 2000 didenda 
USD 261 juta. 

Padahal, jika kita mau berkaca pada kasus serupa di Bolivia, ketakutan semacam 
itu tidak perlu lagi. Di Bolivia, banyak perusahaan multinasional yang ditinjau 
kontrak karyanya serta tidak dibawa ke Badan Arbitrase. 

Meski begitu, ada rumor yang menjadi rahasia umum bahwa ketakutan pemerintah 
kita untuk meninjau kontrak karya sebenarnya terkait dengan jaminan dari 
pemerintah Indonesia sendiri bahwa Freeport akan selalu mendapatkan back up 
dari TNI. 

Koran New York Times pernah menurunkan laporan investigatif terkait PT Freeport 
berjudul "The Cost of Gold, The Hidden Payroll. Below a Mountain of Wealth, a 
River of Waste". Di antaranya disinggung soal upeti yang harus diberikan 
Freeport kepada militer di Indonesia yang melibatkan sejumlah perwira menengah 
dan tinggi untuk melindungi kegiatan PT Freeport Indonesia. Tahun lalu saja, 
dana yang telah disetor PT Freeport untuk TNI mencapai Rp 50 miliar.

Akibatnya, Freeport lebih memilih untuk menjalin relasi yang baik dengan 
militer atau pejabat pemerintah daripada menerapkan tanggung jawab sosial 
perusahaan yang perwujudannya antara lain melalui program pengembangan 
masyarakat (community development/CD). 

Memang dalam laporannya, Freeport konon mulai 1996-2005 sudah menghabiskan Rp 
1,7 triliun untuk CD. Tetapi, buktinya, di sekitar Kota Kuala Kencana, tempat 
tambang Freeport, kita biasa menyaksikan pemandangan yang sangat mengusik rasa 
kemanusiaan itu. 

Misalnya, penduduk Papua sering mengais-ngais sisa makanan yang dibuang para 
karyawan Freeport. Mal atau tempat belanja di sana sangat eksklusif dan 
orang-orang Papua hanya bisa menonton kemewahan yang sangat mahal di depan 
matanya dengan hati teraniaya.

Bahkan, demo dan pemblokiran oleh warga Papua yang diberitakan media sebenarnya 
dipicu soal sepele. PT Freeport Indonesia tak rela melihat penduduk sekitar 
mengorek-ngorek limbah tambangnya untuk mengais emas apkiran. Kapolsek 
Tembagapura beserta anggota Brimob dan satpam Freeport mulai meminta penambang 
pergi karena mereka dianggap melakukan kegiatan ilegal. 

Padahal, kegiatan penduduk mengais sisa-sisa itu sudah berlangsung enam tahun 
terakhir. Tidak heran jika demo dan pemblokiran di areal tambang Freeport 
sebenarnya merupakan puncak dari akumulasi kekecewaan warga setempat.

Meski begitu, semoga penanganan para pendemo atau pemblokir tidak mengulang 
tragedi pada 1977. Ketika itu, Suku Amungme dan enam suku lainnya meledakkan 
jalur pipa Freeport karena merasa frustrasi. 

Secara resmi, pemerintah Indonesia mengumumkan 900 jiwa meninggal pada 
peristiwa 1977 di Tembagapura, tetapi angka di lapangan menunjukkan dua kali 
lipat lebih banyak daripada angka-angka resmi pemerintah.


Endang Suryadinata, peminat sejarah Indonesia-Belanda, alumnus Erasmus 
Universiteit Rotterdam


[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke