http://www.kompas.com/kompas-cetak/0603/22/opini/2504216.htm


Kemampuan Membayar Utang 


Ivan A Hadar

"There is a real need for significant debt reduction or restructuring not only 
for the least developed countries but also for middle-income developing 
countries" (Susilo Bambang Yudhoyono, At the Meeting on Financing for 
Development New York, 14/9/2005).

Beberapa waktu lalu, Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Andrew Steer 
mengatakan, Indonesia tidak akan mendapat pemotongan utang luar negeri karena 
negeri ini dianggap mampu membayar utang luar negerinya. Menurut dia, 
pembayaran utang tidak akan menghambat Indonesia mencapai tujuan pembangunan 
mileniumnya (Kompas, 24/10/2005). Benarkah?

Secara tidak langsung, Pemerintah Indonesia membantah pernyataan itu. Sri 
Mulyani, misalnya, mengatakan, "Salah satu kesulitan pemerintah mencapai tujuan 
pembangunan nasional, termasuk pembangunan milenium, adalah utang luar negeri. 
Atas dasar itu, Indonesia akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang 
bersama negara berkembang lainnya" (Koran Tempo, 24/10/2006).

Masalah utang baru

Baru-baru ini, bekerja sama dengan Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB 
(UNCTAD), Indonesia menjadi tuan rumah "Regional Workshop on Debt 
Sustainability and Development Strategy". Perwakilan dari 17 negara debitor di 
Asia mencoba merumuskan variabel baru yang dapat digunakan untuk menghitung 
kemampuan negara berkembang dalam membayar utang kepada para kreditor (Kompas, 
21/2/2006).

Negara-negara itu berharap kemampuan pembayaran pinjaman tidak hanya diukur 
dari rasio utang terhadap produk domestik bruto seperti diterapkan para 
kreditor, tetapi mempertimbangkan variabel pembangunan seperti investasi bidang 
sosial, terutama biaya pemberantasan kemiskinan.

Namun, kini berbagai pernyataan tentang pentingnya penghapusan utang dan 
rekomendasi terkait debt sustainability masih sebatas retorika. Konon, untuk 
menutupi kebutuhan pembiayaan APBN 2006, pemerintah dalam pertemuan CGI 
(Consultative Group on Indonesia), yang direncanakan di Jakarta dalam waktu 
dekat, memastikan mengajukan pinjaman sebesar 3,55 miliar dollar AS (sekitar Rp 
33 triliun). Termasuk menerima tawaran 1 miliar dollar AS dengan bunga lebih 
tinggi dari Jepang. Prinsip "gali lubang, tutup lubang" masih berlaku.

Dengan demikian, jumlah utang luar negeri kita tahun ini (akan) kembali sama 
atau lebih besar ketimbang sebelum pembayaran cicilan stok dan bunga utang 
2005. Logika sederhana, jika ingin meminta penghapusan utang, Indonesia harus 
menghindari membuat utang baru.

Pemerintah "berjanji" konsisten menerapkan kebijakan hanya akan membuat utang 
baru jika diperlukan, dengan jangka waktu panjang dan bunga utang lunak, serta 
terus menurunkan porsi kredit ekspor. Ada pula rencana menurunkan rasio utang 
terhadap produk domestik bruto yang kini berjumlah sekitar 50 persen menjadi 30 
persen dalam beberapa tahun ke depan (Kompas, 11/1/2006).

Namun, banyak yang meragukan keberhasilan ambisi itu. Konon, Indonesia juga 
satu-satunya negara yang tidak memiliki Debt Management Office. Lebih dari itu, 
ambisi yang dikemukakan pemerintah masih sebatas pernyataan yang belum memiliki 
landasan hukum.

Sebuah ironi, negeri yang tergolong "pengutang berat" (SILIC) ini proses 
Rancangan Undang- Undang (RUU) Pinjaman dan Hibah Luar Negeri, RUU Pengelolaan 
Utang, dan RUU Pembatasan Utang berjalan lambat.

Ironi lain, terungkap dalam konferensi pers terbentuknya Kaukus Anggota 
Parlemen tentang Utang (KAPU), ialah meski "pemerintah telah membayar pokok dan 
bunga utang luar negeri Rp 173 triliun lebih tinggi dari jumlah utang baru yang 
diperoleh", jumlah utang luar negeri dari tahun ke tahun terus bertambah 
(Kompas, 6/2/2006).

Tak perlu malu

Secara teoretis, Daseking dan Kozack (2004) memprediksi, negara seperti 
Indonesia akan gagal mencapai target pertama MDGs (Millenium Development Goals) 
berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali mempunyai 
pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan 
kebijakan prorakyat kecil, serta tidak terperangkap utang.

Kini, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah memakan porsi 
31 persen hasil pajak. Jumlah yang seharusnya digunakan untuk pembangunan 
prorakyat miskin, membiayai pembangunan infrastruktur dan investasi sosial 
lainnya. Tahun 2000, sekitar 15,4 persen penerimaan dalam negeri pemerintah 
untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri setelah dikurangi utang yang 
dijadwal ulang.

Tahun 2001-2005 rasio ini mengalami kenaikan 22 persen. Perlu diingat, sejak 
2003 utang luar negeri yang dijadwal ulang melalui Paris Club 1 (September 
1998) dan Paris Club 2 (April 2000) banyak yang habis masa jeda bayarnya (grace 
period).

Tahun 2004, alokasi pemerintah untuk membayar pokok dan bunga utang luar negeri 
menjadi Rp 69,6 triliun atau sekitar 32 persen dari total penerimaan PPh dan 
PPN tahun itu. Artinya, nyaris sepertiga PPh dan PPN yang dibebankan kepada 
masyarakat dipakai untuk membayar utang luar negeri pemerintah.

Tambahan utang baru 3,4 miliar dollar AS pada awal 2005 kian melambungkan 
alokasi cicilan bunga dan pokok utang. Hal yang kini berlanjut dengan keputusan 
mengambil utang baru sebesar 3,55 miliar dollar AS pada 2006.

Dampaknya terlihat dalam beberapa kenyataan. Data BPS terbaru menunjukkan, 
lebih dari sepertiga populasi anak-anak di bawah lima tahun mengalami 
kekurangan gizi.

Sementara itu, meski sudah naik dalam APBN terakhir, anggaran di bidang 
pendidikan masih kecil. Sebagai perbandingan, proporsi anggaran pendidikan 
Indonesia hanya 8,7 persen dari total anggaran pembangunan saat Thailand 
menghabiskan 30 persen, Myanmar 18 persen, dan Banglades 16 persen.

Dalam hal itu, kita tak bosan mengingatkan peringatan Unicef, Indonesia bakal 
kehilangan generasi akibat kekurangan gizi, buruknya kesehatan, dan rendahnya 
pendidikan.

Kembali ke kutipan pidato SBY, pemerintah mengakui ketidakmampuan membayar dan 
karena itu membutuhkan pemotongan utang demi pencapaian tujuan pembangunan 
milenium.

Kita tak perlu malu, apalagi "sok gengsi". Ini adalah bentuk kejujuran yang 
perlu diapresiasi karena memiliki tujuan mulia, yaitu pencapaian pengurangan 
jumlah orang miskin secara signifikan.

Ivan A Hadar Direktur Eksekutif Indonesian IDE (Institute for Democracy 
Education)


[Non-text portions of this message have been removed]



Ingin bergabung ke milis ekonomi-nasional?
Kirim email ke [EMAIL PROTECTED] 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ekonomi-nasional/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke