Keharusan memakai busana
Islam (bagi siswa/i Islam) seperti dberlakukan di Padang mengandung banyak
persoalan. Bagaimana Direktur Pusat Studi Antar komunitas (Pusaka) di Padang,
Sudarto? Inilah penuturannya kepada Novriantoni (19/5) dari Kajian Islam Utan
Kayu (KIUK).
Seperti apa kisah mewajibkan jilbab di Padang
itu?
Di Sumbar (Sumatera Barat) secara tidak langsung ada asumsi
yang mengasosiasikan keminangan dengan keislaman. Jadi, orang-orang menyatakan
Minangkabau adalah Islam dan Islam adalah Minangkabau.
Karena itu,
sekalipun muncul kebijakan daerah menyangkut agama (Islam), mereka akan selalu
mengasosiasikannya dengan keminangkabauan itu sendiri.
Kebijakan ini
digulirkan karena asumsi menurunnya moral kalangan muda dan remaja Padang karena
pakaian mereka dianggap kurang Islami. Karena itu, pilihan kebijakannya
mengembalikan identitas keislaman masyarakat Padang dengan busana muslim.
Kedua, sejak Wali Kota Fauzi Bahar terpilih, dia memang berupaya
mengembangkan kegiatan keagamaan dalam bentuk program Pesantren Ramadan. Karena
program itu berhasil, mereka terpikir untuk merambah kebijakan-kebijakan
keagamaan lain.
Selain kewajiban Pesantren Ramadan, anak-anak SMP dan
SMU juga diwajibkan ikut program Wirid Remaja dua minggu sekali. Ada juga
kegiatan Didikan Subuh bagi anak-anak TK dan SD. Kegiatan itu diwajibkan tiap
Minggu pagi. Salah satu syarat yang menyertai semua kegiatan itu adalah
kewajiban mengenakan jilbab bagi yang putri.
Pada awalnya, kewajiban itu
hanya dikenakan kepada siswa-siswa sekolah dasar dan menengah muslim. Tapi,
kemudian muncul pertanyaan tentang anak-anak Islam yang bersekolah di luar
sekolah Islam seperti Don Bosco, tempat saya mengajar agama Islam, atau sekolah
negeri.
Usul yang muncul: yang Islam wajib mengenakan jilbab, sementara
yang tidak Islam dianjurkan memakai baju kurung. Tapi, yang menghebohkan, di
beberapa SMU ternyata sudah ada beberapa kasus pemaksaan. Pada waktu ujian,
anak-anak yang nonmuslim bahkan ditanya, "Kenapa Anda tidak pakai jilbab?" Jadi,
itulah kronologi singkatnya.
Apakah instruksi ini turun
setelah dibincangkan secara luas di masyarakat?
Perbincangan
dengan masyarakat umum dan luas memang tidak ada. Tapi, saya kira, wali kota
sudah punya tim ahli yang membisikkan tentang perlunya program-program
formalisasi syariat.
Jadi, dengan dukungan itu, dia tidak butuh lagi
perbincangan yang partisipatif. Karena itu, ketika kebijakan sudah marak
dibincangkan, anak-anak Islam di Don Bosco mulai gelisah walaupun kebijakannya
baru akan berlaku efektif secara formal pada tahun ajaran depan. Mereka gelisah
karena kebijakan ini butuh ongkos lagi karena mereka telah mengenakan pakaian
umum seperti biasa.
Menurut Anda, apakah wali kota Padang pernah
berdialog dengan komunitas lintas agama sebelum mengambil
kebijakan?
Sepengetahuan saya, belum pernah. Tetapi, dia mendapat
dukungan dari tokoh-tokoh Islam. Karena sudah merasa mendapat dukungan kuat dari
masyarakat, dia tidak merasa perlu lagi bermusyawarah dengan kaum minoritas.
Mungkin, baginya, yang lain hanya tamu di Padang.
Apakah ada
resistensi dari masyarakat atas kebijakan ini?
Kemarin saya
mendengar, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) menolak kebijakan itu. Mereka
menganggap ini sudah bentuk intervensi pemerintah atas persoalan yang sangat
pribadi; menyangkut apa yang orang pakai.
Sayang, di mainsteam
masyarakat Padang sudah ada pola pikir yang monolitik soal ini. Karena itu,
resistensi masyarakat sipil Islam sendiri tidak ada karena kebijakan itu sudah
dianggap kebaikan bagi masyarakat. Resistensi yang lebih mirip suara lirih
datang dari masyarakat Katolik. Mereka menyatakan, mengapa hal-hal seperti ini
mesti dipaksakan?
Katanya umat non-Islam hanya dianjurkan
berbusana Islami, tidak diwajibkan!
Tapi, saya juga mendengar
dari beberapa komunitas Katolik bahwa ada pemaksaan tidak langsung. Misalnya,
muncul pertanyaan seperti ini: kenapa Anda tidak patuh? Lebih dari itu, di
Padang ada jargon ’adat basandi syara’; syara’ basandi kitabullah.
Jargon itu secara tidak langsung mengandaikan bahwa orang non-Minang
tidak harus ada di ranah Minang. Atau, kalaupun ada, mereka harus menaati
sepenuhnya aturan-aturan di sana agar tidak dianggap menyimpang dari adat dan
syara’.
Wali Kota Padang Fauzi Bahar memang menampik kalau dia
mewajibkan nonmuslim berbusana muslim. Tapi, dia juga beranalogi dengan
menyatakan tidak senang melihat sekawanan domba berbulu putih di sela beberapa
domba yang berwarna lain.
Bagaimana Anda melihat logika
seperti ini?
Saya kira, logika itu naif. Mengapa persoalan yang
bersifat simbolik seperti itu mesti diatur dan ingin diseragamkan sedemikian
rupa? Masih banyak persoalan lain yang lebih substansial.
Bagi saya,
mengurusi pakaian merupakan bagian dari intervensi pemerintah dalam praktik
keagamaan masyarakat. Itu tidak bisa dibenarkan. Kenapa Pak Wali Kota tidak
berpikir seperti kabupaten ber-PAD (pendapatan asli daerah) rendah di Bali, tapi
justru mampu membebaskan siswa-siswanya dari SPP atau biaya sekolah? Kenapa
tidak memikirkan hal-hal yang lebih substansial seperti itu?
Karena itu,
wajar kalau sebagian LSM, seperti Lembagai Bantuan Hukum (LBH) Kota Padang,
mengajukan gugatan. Bagi mereka, kebijakan simbolisasi agama itu hanya cara lain
untuk menutupi problem Padang yang lebih besar. Soal yang lebih penting
umpamanya soal pembangunan pasar-pasar modern yang cenderung memarjinalkan
masyarakat miskin.
Hanya, karena masyarakat Padang cenderung sudah
terjebak pada kebijakan simbolis, mereka lalu menerima saja dan tidak sempat
mengontrol perilaku pemerintah lainnya. Mereka secara aklamasi mendukung dan
tidak ada resistensi.
Konon, program ini bagian dari paket
pemberantasan pekat (penyakit masyarakat). Anda melihat
kaitannya?
Lupakan dulu soal kaitan itu! Sebab, sudah ada asumsi
dari awal bahwa penyebab kemaksiatan adalah pakaian yang tidak sopan dan
cenderung terbuka. Nah, agar kemaksiatan lebih minim, harus ada kebijakan
pewajiban jilbab. Tapi, yang terlupa, sebetulnya kebijakan itu tidak berpengaruh
signifikan terhadap pemberantasan pekat.
Bahkan, ada indikasi bahwa
kebijakan itu akan cenderung menodai agama. Misalnya, anak-anak yang memakai
jilbab tidak dari keinginan batinnya langsung akan tetap saja menganut pola
pergaulan umumnya muda-mudi. Dia bisa saja mojok di pantai dengan mengenakan
jilbab. Saya kira, hal seperti itu lebih tepat disebut degradasi syariat, bukan
penerapan syariat.
Apa problem mendasar Padang selain soal
pekat?
Yang paling kasat mata dalam bidang pendidikan adalah
soal susahnya membayar SPP, seperti yang saya dengar langsung dari anak didik
saya. Menurut saya, ini persoalan yang lebih serius. Soal yang lebih luas dari
itu adalah soal kemiskinan yang mestinya ditangani lebih serius. Pemberian
tunjangan dan lainnya untuk orang miskin mestinya harus diutamakan. Kenapa bukan
soal itu yang dijadikan prioritas?
Selain itu, masih ada soal yang masih
masuk lingkup pendidikan. Dua tahun lalu, Sumbar ternyata berada di posisi
terendah dan terpuruk dalam prestasi pendidikan. Ranking Sumbar terendah di
seluruh Indonesia, bahkan di bawah Irian Jaya.(*)
http://search.jawapos.com/index.php?act=detail_tgl&id=173109