~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ Layanan
Informasi Aktual [EMAIL PROTECTED] ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Hot Spot: Senin, 20 Desember 2004
Hidayatullah.com, Jumat, 10 Desember 2004
“SKB 1/1969 dan Kepekaan Kaum
Muslim” ~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~ |
Ketua PGI Pendeta Nathan Setiabudi yang meminta SKB
dicabut agar memudahkan kalangan Kristen mendirikan rumah ibadah. Tapi
umat Islam masih belum peka. Baca CAP Adian Husaini, MA ke
81
Akhir-akhir ini, masalah SKB No 1/1969 mencuat kembali dan
menjadi perdebatan ramai di berbagai media massa, menyusul pernyataan
Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) Pdt. Nathan Setiabudi setelah
diterima Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, beberapa hari lalu. Kita
pernah mengangkat masalah ini dalam CAP ke-58. Ketika itu, ketika akan
bergabung dengan kubu Megawati-Hasyim Muzadi, Partai Damai Sejahtera (PDS)
mengajukan sejumlah syarat, antara lain pencabutan SKB Menteri Dalam
Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/1969 dan UU Sisdiknas. SKB 1/1969 ini
berisi antara lain: setiap pendirian rumah ibadat perlu mendapatkan izin
dari kepala daerah atau pejabat pemerintahan di bawahnya yang dikuasakan
untuk itu.
Rupanya, meskipun Mega-Hasyim gagal meraih kursi
kepresidenan RI, suara kalangan Kristen untuk menuntut pencabutan SKB
1/1969 tetap berjalan. Mereka biasanya beralasan bahwa Surat Keputusan
Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969,
itu adalah "bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Tap MPRS No
XX/MPRS/1966, Hak Asasi Manusia untuk beribadah, menafikan kebebasan
beribadah umat Kristen dan Katolik di Indonesia, serta menumbuhkan
fanatisme sempit pada umat beragama lain."
Sejak lahirnya, SKB No
1 tahun 1969 sudah menjadi bulan-bulanan pihak Kristen, seperti halnya SK
Menteri Agama No 70 tahun 1978 yang mengatur tentang Pedoman Penyiaran
Agama. SK Menteri Agama No 70 itu misalnya menetapkan, bahwa penyiaran
agama tidak dibenarkan untuk (1) ditujukan terhadap orang-orang yang telah
memeluk agama lain, (2) dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian
materiil, uang, pakaian, makanan/minuman, obat-obatan dan lain-lain agar
supaya orang tertarik memeluk sesuatu agama, (3) dilakukan dengan
cara-cara penyebaran panflet, buletin, majalah, buku-buku dan sebagainya
di daerah-daerah/ di rumah-rumah kediaman umat/orang yang beragama lain,
(4) dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang
telah memeluk agama lain dengan dalih apa pun.
SKB No
01/BER/MDN-MAG/1969 itu adalah SKB tentang "Pelaksanaan Tugas Aparatur
Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya". SKB No 1/1969
ditetapkan tanggal 13 September 1969 dan ditandatangani oleh Menteri Agama
KH Moh. Dahlan dan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud.
Soal yang
berkaitan dengan pembangunan gereja diatur dalam pasal 4 SKB tersebut.
(1) Setiap pendirian rumah ibadah perlu mendapatkan izin dari
Kepala daerah atau Pejabat Pemerintah di bawahnya yang dikuasakan untuk
itu.
(2) Kepala Daerah atau pejabat yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini memberikan izin yang dimaksud setelah mempertimbangkan (a)
pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, (b) planologi (c)
kondisi dan keadaaan setempat.
(3) Apabila dianggap perlu, Kepala
Daerah atau pejabat yang ditunjuknya itu dapat meminta pendapat dari
organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniawan setempat.
Gugatan keras terhadap SKB 1/1969 misalnya pernah datang dari JE
Sahetapy, seorang tokoh PDIP. Tokoh Kristen yang juga pakar hukum dari
Unair Surabaya ini mengaitkan maraknya aksi pembakaran dan perusakan
gereja dengan keberadaan SKB No 1/1969. JE Sahetapy menulis soal ini, "…
sejak tahun 1969 umat Kristiani telah diviktimisasi, antara lain, melalui
SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1969, dan yang
kemudian dilanjutkan dengan berbagai surat instruksi dan surat radiogram,
yang pada intinya, bagaimana mendiskreditkan dan memojokkan kehidupan
beragama/bergereja umat Kristiani."
SKB 1/1969 dikatakan Sahetapy
telah memasung kebebasan HAM. Berdasarkan pasal 29 UUD 1945 dan
penjelasannya, Sahetapy menyimpulkan, secara legalistik positivistik, maka
tidak mungkin kebebasan beragama secara diskriminatif dipasung dengan
suatu produk hukum yang tidak dikenal dan tidak berjiwa Pancasila dan
serta tidak sesuai dengan Tap MPRS No XX Tahun 1966. SKB Nomor 1 tahun
1969 juga disebut Sahetapy sebagai bentuk "penjajahan terselubung" yang
bertentangan dengan makna "kemerdekaan" sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945, "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala
bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan
karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Dari
uraian Sahetapy dapat disimpulkan betapa jengkelnya kaum Kristen dengan
keberadaan SKB No 1 tahun 1969 tersebut. Bahkan, Sahetapy dengan tegas
menyatakan, SKB itu dengan sendirinya batal hukum. Artinya, sesuai
pandangan Sahetapy dan berbagai kelompok Kristen lainnya, SKB yang sudah
berumur 30 tahun itu dianggap tidak ada oleh kaum Kristen di Indonesia.
Apa artinya? Tidak lain, kecuali, kaum Kristen enggan menerima
aturan-aturan yang "mengatur" soal pembangunan gereja. Mereka mau jalan
sendiri, tanpa aturan, dengan alasan kebebasan dan HAM.
Mungkin,
karena menganggap sepi SKB Nomor 1 tahun 1969 itulah, maka persoalan
gereja di Indonesia tidak pernah tuntas. Sebab, pihak Kristen menganggap,
untuk membangun gereja tidak perlu melalui prosedur izin sesuai SKB Nomor
1 tahun 1969. Sementara pemerintah dan kaum Muslim Indonesia menilai SKB
itu adalah peraturan yang sah dan berlaku di negara hukum Indonesia.
Jika logika dan pendapat Sahetapy soal SKB Nomor 1 tahun 1969
tetap dipegang teguh oleh kaum Kristen Indonesia, sementara pihak Muslim
dan pemerintah RI tetap berpegang teguh pada SKB Nomor 1 tahun 1969 itu,
maka "sudah sewajarnya" jika konflik antara kaum Muslim dan kaum Kristen
dalam soal gereja akan terus berlangsung dan tidak pernah berakhir.
Tuntutan pihak Kristen untuk mencabut SKB No 1/1969 dengan alasan
HAM sangatlah tidak masuk akal. Di belahan mana pun di dunia ini, masalah
pembangunan rumah ibadah pasti mendapat perhatian dan aturan serius. Kaum
Muslim juga harus berjuang keras melalui berbagai persyaratan administrasi
yang berat, ketika hendak mendirikan masjid di negara-negara Kristen
Eropa. Tidak mungkin, dengan alasan HAM dan kebebasan, maka kaum Muslim
bebas begitu saja mendirikan masjid. Kaum Muslim di Roma, misalnya, harus
berjuang puluhan tahun untuk dapat mendirikan sebuah masjid. Pada dekade
1930, kaum Muslim pernah meminta ijin kepada Mussolini untuk mendirikan
Masjid, tetapi dijawab Mussolini: “No! When we can build a Roman
Catholic church in Mecca, you can build a mosque in Roma.” Permintaan
Mussolini tentu mustahil dipenuhi kaum Muslim, sebab Kota Suci Mekkah
memang hanya dikhususkan untuk dihuni oleh kaum Muslim.
Kini, jika
SKB 1/1969 itu dicabut, kita bertanya kepada pihak Kristen, apakah mereka
akan dengan seenaknya sendiri mendirikan gereja di mana-mana? Bukankah hal
ini akan semakin memperkeruh situasi hubungan antar agama di Indonesia?
Inikah yang diinginkan PDS, PGI, dan kelompok-kelompok Kristen lain di
Indonesia?
Kaum Muslim Indonesia telah terbukti memberikan sikap
toleransi yang tinggi terhadap kehidupan keagamaan kaum Kristen. Ratusan,
bahkan ribuan Gereja berdiri di mana-mana, dengan atau tanpa ijin.
Kadangkala, Gereja itu sengaja didirikan dengan sangat mencolok di tengah
komunitas Muslim. Tengoklah, misalnya, sebuah Gereja yang amat sangat
megah dan mewah yang dibangun di depan Komplek Kopassus AD, Cijantung. Di
depan Markas Brimob kelapa Dua, sebuah Gereja Megah didirikan. Di tengah
penderitaan bangsa Indonesia, kelompok Kristen justru mau membangun sebuah
Menara Doa Jakarta senilai Rp 2,5 trilyun. Itu semua didirikan ketika SKB
1/1969 masih berlaku.
SKB No 1/1969 sebenarnya masih ideal.
Seperti usul mantan Menteri Agama Tarmizi Taher, masalah ini sebaiknya
dibicarakan secara terbatas. SKB itu bukan hanya berlaku untuk kaum
Kristen, tetapi juga untuk kaum Muslim yang tinggal di daerah mayoritas
Kristen seperti NTT, Papua, dan sebagainya. Aturan semacam ini sangat
diperlukan untuk mencegah semakin memburuknya hubungan antar-agama, karena
sikap agresif sebagian kaum Kristen dalam menyebarkan agamanya terhadap
kaum Muslim di Indonesia. Kaum Kristen tidak dilarang membangun Gereja,
tetapi perlu dicermati, apakah Gereja itu dibangun untuk keperluan ibadah
mereka atau berfungsi sebagai pusat dan alat misi Kristen untuk
memurtadkan kaum Muslim.
Sebab, harus diakui, di kalangan kaum
Kristen, semangat untuk mengkristenkan orang Islam masih sangat besar.
Kita ingat, wawancara pendeta Suradi dengan Majalah GATRA, (20 Maret 2001)
yang bersemangat mengatakan, bahwa yang dilakukan kaum Kristen bukanlah
“Kristenisasi”, tetapi ''selametisasi'', yaitu membawa berita keselamatan.
Maksudnya, supaya orang mendapat berita keselamatan. “Manusia itu mau
selamat atau tidak?,” kata Suradi.
Yang sangat bersemangat dalam
mengupayakan pencabutan SKB 1/1969 ini tampaknya dari kalangan Protestan.
Jika ditelusuri sejarahnya, tokoh Kristen Protestan seperti Martin Luther,
memang memiliki pandangan yang sangat buruk terhadap Islam, dan agama
lain. Luther misalnya, menyatakan, bahwa Kristus akan datang di Hari Akhir
dan menghancurkan semua musuhnya, yaitu kaum Muslim (dia sebut dengan
istilah ‘the Turks’), Yahudi, Paus, dan sebagainya. Kata Luther: “We
know that Christ will come on the Last Day and will destroy all His
enemies: the Turk, the Jews, the pope, the cardinals, the bishops, and
whatever ungodly men they are…” (Lihat, Jaroslav Pelikan (ed),
Luther’s Works, Vol. 2, Lectures on Genesis Chapters 6-14, (Missouri:
Concordia Publishing House, 1960), hal. 256. Luther, juga menggambarkan
Nabi Muhammad saw sebagai laki-laki hina dan cabul yang melakukan studi
dari tempat tidur perempuan pelacur, serta bangga karena diberi kekuatan
fisik oleh Tuhan sehingga mampu tidur dengan 40 wanita sehari. (Vol. 15,
hal. 342). Senada dengan Luther, Pdt Suradi juga menyatakan, bahwa orang
Islam menyembah hajar aswad (batu hitam), dan suara yang didengar Nabi
Muhammad saw di Goa Hira adalah suara setan. Menyebarnya buku Robert A.
Morey “The Islamic Invasion” di kalangan Gereja juga menunjukkan bahwa
serangan terhadap Islam, baik ajaran maupun pemeluknya, masih hidup subur
di kalangan Kristen. Albert Hourani, dalam bukunya, Europe and the
Middle East (London: The Macmillan Press Ltd, 1980), mengakui bahwa
pandangan dasar Luther terhadap Islam memang mengerikan. Meksipun, Luther
juga memuji kesederhanaan peribadahan dan tradisi Muslim dibandingkan
Katolik.
Hal-hal seperti inilah yang mestinya diselesaikan oleh
PGI terlebih dahulu sebelum membicarakan soal SKB 1/1969. Konon, banyak
pendeta yang tidak sejalan dengan Suradi dan sejenisnya, namun, belum
tampak ada keseriusan PGI dalam mengatasi kelompok-kelompok agresif
Kristen yang melakukan serangan terhadap Islam. Jika masalah-masalah ini
bisa diatasi, masalah SKB 1/1969 adalah masalah yang lebih kecil, dan
masalah hubungan antar-agama dapat didiskusikan dalam situasi dan kondisi
yang lebih baik.
Pada sisi lain, dari sudut kaum Muslim, kita
patut bersyukur, bahwa kaum Muslim masih cukup peka melihat permasalahan
SKB 1/1969. Banyak yang meributkan dan memberikan respon. Sayangnya,
kepekaan ini masih sebatas hal-hal yang bersifat superfisial dan tampak di
permukaan.
Di masa sekarang, kepekaan pada batas ini masih belum
mencukupi, khususnya bagi para cendekiawan dan ulamanya. Kaum Muslim ribut
ketika PDS muncul, begitu juga ketika SKB 1/1969 diusik. Tetapi tidak
ribut ketika sejumlah lembaga dan tokoh Islam justru mengadopsi metode
Kristen dalam studi al-Quran. Para cendekiawan Muslim terkemuka tidak
ribut ketika Paramadina menerbitkan buku Fiqih Lintas Agama. Tokoh
Paramadina, Nurcholish Madjid tetap diagungkan sebagai cendekiawan Muslim
terkemuka. Padahal, serangan-serangan dari dalam seperti ini justru lebih
serius dampaknya terhadap kaum Muslim.
Pada 29 November lalu, ada
sebuah artikel di Republika berjudul “Pengaruh Metodologi Bible Terhadap
Studi Al-Qur'an” yang ditulis oleh Adnin Armas dari ISTAC. Artikel ini
menunjukkan, bagaimana sesungguhnya para Orientalis – Yahudi dan Kristen
-- seperti Ignaz Goldziher (m. 1921), Theodor Nöldeke (m. 1930), Friedrich
Schwally (m. 1919), Edward Sell (m. 1932), Gotthelf Bergsträsser (m.1933),
Leone Caentani (m. 1935), Alphonse Mingana (m. 1937), Otto Pretzl (m.
1941), Arthur Jeffery (m. 1959), John Wansbrough (m. 2002) dan muridnya
Prof. Andrew Rippin, serta Christoph Luxenberg (nama samaran) dan masih
banyak lagi yang lain, membawa pandangan hidup (worldview) mereka ketika
mengkaji Islam.
Mereka mengadopsi metodologi Bible ketika mengkaji
al-Qur'an. Ironisnya, metode Bible itu justru kini dipeluk dan diajarkan
di berbagai perguruan tinggi Islam. Para intelektual dari kalangan Muslim
itu tidak segan-segan dan malu-malu untuk mengadopsi dan menjiplak metode
Bible untuk melakukan studi al-Quran. Mohammed Arkoun, misalnya,
menegaskan bahwa studi al-Qur'an sangat ketinggalan dibanding dengan studi
Bible (Quranic studies lag considerably behind biblical studies to
which they must be compared). (Mohammed Arkoun, The Unthought in
Contemporary Islamic Thought, London: Saqi Books, 2002).
Menurut
Arkoun, metodologi John Wansbrough, memang sesuai dengan apa yang selama
ini ingin Ia kembangkan. Dalam pandangan Arkoun, intervensi ilmiah
Wansbrough cocok dengan framework yang Ia usulkan. Framework tersebut
memberikan prioritas kepada metode-metode analisa sastra yang, seperti
bacaan antropologis-historis, menggiring kepada pertanyaan-pertanyaan dan
sebuah refleksi yang bagi kaum fundamentalis saat ini tidak terbayangkan.
(Mohammed Arkoun, "Contemporay Critical Practices and the Qur'an",
di dalam Encyclopaedia of the Qur'an, Editor Jane Dammen McAuliffe,
Leiden: Brill, 2001).
Padahal John Wansbrough, yang menerapkan
analisa Bible, yaitu “form Criticism” dan “redaction criticism” kepada
al-Qur'an, menyimpulkan bahwa teks al-Qur'an yang tetap ada baru ada
setelah 200 tahun wafatnya Rasulullah saw. Menurut John Wansbrough lagi,
riwayat-riwayat mengenai al-Qur'an versi `Uthman adalah sebuah fiksi yang
datang kemudian, direkayasa oleh komunitas Muslim supaya asal-muasal
al-Qur'an dapat di lacak ke Hijaz (Issa J. Boullata, "Book Reviews:
Qur'anic Studies: Sources and Methods of Scriptural
Interpretation", The Muslim World 67: 1977).
Contoh lain
adalah apa yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd, seorang intelektual
asal Mesir. Arkoun menyayangkan sikap para ulama Mesir yang menghakimi
Nasr Hamid. Padahal metodologi Nasr Hamid memang sangat layak untuk
diaplikasikan kepada al-Qur'an. Nasr Hamid berpendapat bahwa al-Quran
sebagai sebuah teks dapat dikaji dan ditafsirkan bukan hanya oleh kaum
Muslim, tapi juga oleh Kristen maupun ateis. Al-Qur'an adalah teks
liguisitk-historis-manusiawi. Al-Quran adalah hasil budaya Arab.
Popularitas Nasr Hamid di Indonesia saat ini sangat tinggi, dan banyak
yang menyebarkan pandangannya.
Bahkan, sejumlah professor dan
tokoh organisasi Islam secara terang-terangan menyebarkan pandangan Nasr
Hamid.
Padahal, menurut Adnin Armas, adopsi metodologi Bible yang
dilakukan sarjana Muslim terhadap al-Qur'an sangat disayangkan. Jika
adopsi ini diamini, maka hasilnya fatal sekali. Otentisitas al-Qur'an
sebagai kalam Allah akan tergugat. Al-Qur'an akan diperlakukan sama dengan
teks-teks yang lain. Ia akan menjadi teks historis, padahal sebenarnya ia
adalah Tanzil (trans-historis). Ia jelas berbeda dengan sejarah Bible.
Sumbernya juga berbeda. Setting sosial dan budaya juga berbeda. Bahkan
Bahasa asli Bible sudah tidak banyak lagi digunakan oleh penganut Kristen.
Sangat berbeda dengan kaum Muslimin, yang dari dulu telah, sekarang masih,
dan akan datang terus membaca dan menghafal al-Qur'an dalam bahasa Arab.
Oleh sebab itu, mengadopsi metodologi Bible terhadap al-Qur'an adalah
adopsi dan metodologi yang salah kaprah.
Tantangan dan dampak yang
ditimbulkan dari adopsi metode Bible dalam studi Islam, apalagi dilakukan
oleh para cendekiawan dan perguruan Islam, jauh lebih besar dibandingkan
dengan masalah SKB 1/1969. Tetapi, hingga kini, kita patut bertanya,
seberapa besar perhatian kaum Muslim terhadap tantangan serius yang sudah
menghunjam jauh ke jantung umat Islam Indonesia ini? Seberapa besar
perhatian organisasi Islam, partai Islam, pengusaha Muslim, dan para
aktivis Islam terhadap masalah ini? Wallahu a’lam. (KL, 9 Desember
2004). |
|