************************
     Layanan Informasi Aktual
          eskol@mitra.net.id
************************
Hot Spot: Jumat, 20 Januari 2006

Menyoal Rancangan Revisi SKB 2 Menteri
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Oleh: Augustinus Simanjuntak*

Dalam waktu dekat pemerintah berencana akan mengesahkan revisi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri No. 01/BER/MDN-MAG Tahun
1969 tentang pendirian rumah peribadatan. Salah satu poin pentingyang menjadi sorotan akademis atas rancangan revisi SKB tersebut adalah bab khusus mengenai Pembinaan Kerukunan Umat Beragama.

Pasal 2 revisi SKB mengatakan bahwa pembinaan kerukunan umat beragama ditujukan untuk membina, membangun dan mewujudkan keadaan hubungan
sesama umat beragama yang dilandasi rasa saling  pengertian, saling menghormati, toleransi dan kerjasama dalam mengamalkan agamanya serta menjaga persatuan, ketertiban dan ketentraman bermasyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Selanjutnya, pembinaan dimaksud ditugaskan kepada Gubernur dan Bupati/ walikota, dan dibantu oleh Kepala Kantor Wilayah  Departemen Agama setempat. Para kepala daerah bertugas memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan daerah dibidang ketentraman  dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.

Walaupun norma pembinaan di atas bersifat mengatur (bukan  memaksa), akan tetapi pengaturan yang demikian otomatis membawa konsekuensi
logis terhadap urusan birokrasi peribadatan yang rumit dan berbelit-belit, walaupun melibatkan apa yang disebut Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Mengapa demikian?

Sebab Bab itu mau menunjukkan kepada publik bahwa kerukunan umat beragama itu masih sangat tergantung pada peran negara. Kerukunan itu
mau dikondisikan bersumber dari atas (pola 'top down'), bukan dari bawah, sehingga format atau konsep kehidupan yang rukun  serta-merta
diambil alih oleh pemerintah. Konsekuensinya, kerukunan menjadi sesuatu yang bernuansa politis karena musti dikaitkan dengan dalih-dalih stabilitas negara atau gangguan ketertiban masyarakat.

Politisasi kerukunan umat beragama ke dalam aspek kekuasaan secara mutatis mutandis akan memudahkan agama dijadikan sebagai alat politik
kepentingan, termasuk kebiasaan "membisniskan" alat birokrasi yang dibentuk seiring dengan tuntutan pembinaan tadi.
Kecurigaan pun muncul, jangan-jangan hidup rukun yang lahir dari kesadaran masyarakat dikondisikan tidak terlalu rukun atau tak terlalu aman
biar birokrasi semakin penting dan mahal.

Tantangan Demokrasi
```````````````````
Memang, apa yang diungkapkan di atas benar-benar menjadi  tantangan berat dalam kehidupan berdemokrasi di negara kita akhir-akhir ini.
Para birokrat belum siap dan enggan untuk melakukan debirokratitasi sebagai tuntutan demokrasi. Malah membuat kehidupan berbangsa dan
bernegara kian rumit.

Di negara kita, kekuatan politik birokrasi masih sangat berkepentingan atas sebuah birokrasi, apalagi bagi kekuatan politik
yang sumber dananya masih tergantung pada mesin uang (birokrasi).
Bila perlu, birokrasi itu terus-menerus diperluas. Selain mesin uang, bukankah jumlah suara dari pegawai birokrasi cukup signifikan dalam
memenangkan pemilu?

Sebenarnya, kalau pemerintah mau sungguh-sungguh mejadikan rakyat faham berdemokrasi dan dewasa dalam menyikapi perbedaan serta
sungguh-sungguh hidup rukun (bukan dikondisikan oleh negara), maka negara semestinya cukup mengacu pada "prescribe" (rambu-rambu) hukum
yang menjadi patokan dalam negara hukum yang demokratis.

Negara tidak perlu mengambil alih konsep kerukunan umat (rukun versi kekuasaan), karena negara kita bukanlah negara kekuasaan, melainkan
negara hukum. Ibarat mendewasakan seorang anak, sang orang tua tidak perlu banyak turut campur dalam proses pertumbuhan
anaknya. Tetapi orang tua berhak membuat aturan yang ditaati secara bebas, bukan dengan memaksa untuk taat melalui jalur birokrasi.

Semestinya, rukun itu dimaknai sebagai konsekuensi dari  penerapan hukum  ang adil dan universal, bukan menurut kelompok tertentu.
Tujuan hukum adalah ketertiban, keadilan, dan kepastian.
Di sinilah negera tidak boleh hanya melihat persoalan dari satu pihak atau kelompok tertentu saja.

Kebijakan kekuasaan, misalnya masalah ijin rumah ibadah,  semestinya tetap mengacu pada nilai-nilai hukum (nasional) yang adil, benar, dan
mendidik masyarakat untuk taat hukum plus prosedurnya. Oleh karena itu, dalam suatu negara yang beradab, pemerintah  semestinya tidak
membiarkan perusakan atau penutupan rumah ibadah secara paksa (main hakim sendiri).

Sebenarnya tidak ada larangan bagi negara untuk membina kerukunan warganya. Akan tetapi pembinaan itu tidak harus diatur, apalagi
akhirnya berimplikasi birokratis. Akan jauh lebih efektif kalau pembinaan kerukunan beragama dilakukan lewat lembaga pendidikan,
iklan layanan masyarakat di berbagai media, dan contoh-contoh yang diberikan oleh para pejabat negara.

Idealnya, kerukunan itu harus dibiarkan tumbuh dari bawah ("bottom up") dengan kesadaran semua warga, bukan karena diatur atau
dibirokrasi-kan. Sedangkan pemerintah berposisi sebagai pengarah dan menerapkan hukum bila terjadi pelanggaran atas rambu-rambu
hukum yang telah dibuat.

Rambu-rambu dimaksud harus  kembali kepada hukum, misalnya; hukum pidana bila ada warga yang melakukan penghinaan terhadap
agama, hukum perdata kalau menyangkut sengketa tanah peribadatan, hukum pemerintahan bila menyangkut izin (dikaitkan dengan
kebijakan tata ruang kota/ wilayah).

Jadi, dalam situasi rukun plus nuansa demokratis, masalah  izin peribadatan sudah tidak jamannya lagi mengacu pada pertimbangan "like
and dislike" atau pertimbangan politis-sosiologis. Oleh karena itu, di sini dibutuhkan pemerintahan yang bijak dan arif dalam mendewasakan rakyatnya dalam menyikapi perbedaan. Bukan meniadakan perbedaan, tetapi mengelola perbedaan itu agar bertumbuh menjadi sesuatu yang indah dan harmonis dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Sekali lagi, apa yang diatur dalam revisi SKB 2 Menteri itu bukanlah rambu-rambu dalam konteks peningkatan kerukunan umat beragama,
melainkan sekedar aturan pem-birokrasi-an pembinaan kerukunan beragama. Beranikah negara untuk memulai perannya sebagai
pendewasa kerukunan rakyat melalui pola "bottom up"?

*Penulis adalah mahasiswa program doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga.

Source: Harian Surabaya Post, 19 Januari 2006
*************************************************************************************************
Satu tangan tak kuasa menjebol 'penjara ketidakadilan'.
Dua tangan tak mampu merobohkannya.
Tapi bila satu dan dua dan tiga dan seratus dan seribu tangan bersatu,
kita akan berkata, "Kami mampu!"
 
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
*************************************************************************************************
Redaksi Eskol-Net menerima informasi/tulisan/artikel yang relevan.
Setiap informasi/tulisan/artikel yang masuk akan diseleksi dan di edit seperlunya.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan masukan harap menghubungi
Redaksi Eskol-Net <eskol@mitra.net.id>
*************************************************************************************************

Kirim email ke