**************************
Artikel Lepas: 09  Juli 2001
--------------------------------

"Penegakan Konstitusi Butuh Kedamaian"
````````````````````````````````
    Oleh: Augustinus Simanjuntak, SH


Perseteruan antara badan legislative (DPR) dengan badan eksekutif
(Presiden) akan mencapai puncaknya pada awal Agustus mendatang. Sidang
Istimewa (SI) MPR akan digelar guna meminta pertanggungjawaban Presiden
atas tuduhan melanggar haluan negara. Hal ini, menurut DPR/MPR, sesuai
dengan konstitusi bahwa apabila Presiden dinilai tidak memperhatikan
peringatan/Memorandum I dan II DPR maka DPR dapat meminta MPR untuk
mengadakan SI meminta pertanggungjawaban Presiden.

Namun, di sisi lain Presiden Abdurrahman Wahid mengungkapkan tekadnya untuk
tidak akan memberi pertanggungjawaban di SI mendatang karena konstitusi
mengatur mengenai pertanggungjawaban Presiden hanya dilakukan pada akhir
masa jabatannya. Lagi pula, sejak awal Presiden Gus Dur tidak merasa
melakukan pelanggaran konstitusional sehingga Memo I dan II dianggap tidak
konstitusional pula. Bahkan Pansus Buloggate dan Brunaigate, yang menjadi
dasar lahirnya Memo I, dinilai Presiden tidak sah atau inkonstitusional.

Dengan demikian, baik DPR maupun Presiden sama-sama mempunyai pendirian
teguh berada dalam posisi yang benar secara konstitusi. Hal ini jelas
menimbulkan konflik politik yang tidak kunjung selesai dengan
mengatasnamakan konstitusi. Dalam situasi semacam ini tampaknya konstitusi
tidak lagi bisa dijadikan dasar dalam pemecahan konflik. Namun justru
konstitusi seolah-olah dijadikan alat politik oleh kubu yang sedang
berseteru. Dengan kata lain, semangat penegakan konstitusi itu berangkat
dari faktor persaingan antar elit dan perebutan kekuasaan.

Suasana konflik politik ini sudah mencuat sejak pemilu tahun 1999 lalu,
termasuk dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dimana
masing-masing kelompok kekuatan politik adu strategi untuk mencapai
tujuannya. Selain konflik elit, konflik horizontal juga merebak di berbagai
daerah, seperti kasus Sambas, Maluku dan Poso. Jadi, suasana konflik telah
mengiringi bangsa ini dalam memulai suatu pemerintahan (hasil pemilihan
demokratis) untuk menjalankan UUD 1945 dan GBHN. Konflik itu terus
berlanjut sampai sekarang, dan mengarah kepada konflik konstitusional
akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan UUD 1945 antara Presiden dan
DPR. Tentu sangat disayangkan apabila perbedaan penafsiran ini semata-mata
berangkat dari perbedaan kepentingan politik.

Padahal, hakekat dan tujuan penegakan konstitusi tidak lain adalah
menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi rakyat dan bagi para
penyelenggara negara. Konstitusi bukan untuk kepentingan sesaat atau
kelompok tertentu Oleh karena itu, upaya penegakan konstitusi tidak mungkin
dilakukan dengan pertikaian atau tindakan saling menjatuhkan. Dalam situasi
politik yang terus-menerus memanas akan sulit dilakukan penegakan hukum
dengan berangkat dari pemikiran jernih. Justru situasi politik yang
demikian, disadari atau tidak, bisa menimbulkan penyalahgunaan secara
substantif terhadap konstitusi.

Apabila terjadi penyalahgunaan konstitusi maka yang menjadi korban adalah
rakyat. Mempermainkan konstitusi berarti mempermainkan negara dan rakyat.
Oleh karena itu, para elit politik yang sedang bertikai perlu menyadari
bahwa persoalan konstitusi bukan hal sepele yang sewaktu-waktu bisa
diotak-atik sembarangan sesuai selera kelompok elit. Kalau hal itu yang
terjadi maka konstitusi bukan lagi alat pemecah persoalan pelik yang sedang
dihadapi oleh rakyat saat ini, malah menjadi penambah beban rakyat. Sangat
mahal harga yang harus dibayar oleh rakyat untuk membiayai konflik politik
para elit ini.

Penilaian sementara kalangan bahwa rumitnya persoalan politik akhir-akhir
ini sebagai akibat krisis konstitusional tidak lagi sepenuhnya benar.
Konstitusi RI (UUD 1945) sebenarnya sudah tergolong bagus. Sekarang
dikembalikan kepada semangat dan motifasi para penyelenggara negara.
Sebagus apa pun sebuah konstitusi kalau semangat dan motifasi para
penyelenggara negara hanya untuk kepentingan sesaat dan tidak murni untuk
kepentingan rakyat maka hakekat dan tujuan penegakan konstitusi itu akan
sulit dicapai. Sebaliknya, biarpun sebuah konsitusi tidak terlalu rinci
mengatur masalah ketatanegaraan akan tetapi bila para penyelenggara negara
berjiwa besar, memiliki semangat dan motifasi yang berpihak pada rakyat
secara keseluruhan maka hakekat dan tujuan penegakan konstitusi akan lebih
mudah untuk dicapai.

Jadi, persoalan penegakan konstitusi sebenarnya terletak pada para
penyelenggara negara, baik legislative maupun eksekutif. Dan salah satu
faktor yang sangat penting dalam penegakan konstitusi adalah kata damai.
Kedamaian di antara para elit semestinya menjadi sebuah titik awal yang
baik dari pelaksanaan sebuah konstitusi, sekaligus sebagai contoh bagi
masyarakat. Bahkan, sikap menjunjung kedamaian sebenarnya sudah menunjukkan
suatu sikap yang konstitusional.  Dari sudut  etika, menolak cara-cara
damai merupakan sikap inkonstitusional, karena salah satu  tujuan kontitusi
pasti mengarah pada terciptanya suasana damai dalam hidup berbangsa dan
bernegara.

Penegakan konstitusi dengan berlatar belakang permusuhan politik bisa
dipastikan akan mengarah pada "win-lose solution", dimana salah satu pihak
merasa menang dan pihak lain merasa dikalahkan. Akan berbeda hasilnya bila
penegakan konstitusi itu dilakukan dalam suasana damai sehingga tidak ada
pihak yang merasa dipermalukan ("win-win solution").

Berdamai secara personal maupun institusional adalah modal utama untuk
mencegah dampak konflik yang lebih parah. Berdamai paling tepat menghindari
penegakan konstitusi yang asal-asalan dan sempit untuk kepentingan pihak
yang bertikai. Sehingga rakyat tidak terus-menerus menjadi korban permainan
konstitusi. Alangkah baiknya bila tokoh-tokoh politik yang berbeda
pandangan dan kepentingan bisa bertemu dalam suasana santai, misalnya,
sambil main golf atau memancing ikan,  guna menetralisir kebuntuan politik
sebelum masuk ke arena penyelesaian legalistik (Sidang Istimewa).

Perlu dihindari penyelesaian legalistik semata. Lebih aman jika substansi
persoalan banyak dibahas di forum informal atau non legalistik, seperti
halnya dalam dunia bisnis, lebih banyak menginginkan penyelesaian sengketa
secara non litigasi ketimbang litigasi (peradilan), karena non litigasi
bisa mencegah salah satu pihak merasa dirugikan. Oleh karena itu, proses
konstitusional yang sedang dipersiapkan saat ini (SI) tidak perlu lagi
menjadi ajang saling menyalahkan. Cukuplah SI sebagai forum pengesahan
hasil kompromi-kompromi damai di luar proses legalistik. (Sekian)

"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
***********************************************************************
Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan
tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED]
Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772
atau
BCA Cab. Darmo Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838
***********************************************************************
Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan:
subscribe eskolnet-l    ATAU    unsubscribe eskolnet-l

Kirim email ke