http://id.news.yahoo.com/dtik/20090820/tid-dikenal-desa-pengemis-warga-mampu-se-b1ae096.html

Dikenal Desa Pengemis, Warga Mampu Sekolahkan Anak ke Kedokteran
 
Kekhasan budaya berbingkai nilai-nilai agama yang sudah disandang masyarakat 
Madura secara umum terkadang menampakkan kenyataan hidup yang ironi.
 
Pekerja keras dan tanpa menyerah dalam kondisi apapun dan di manapun sudah 
bukan rahasia lagi. Namun berbeda dengan kenyataan yang disandang warga Desa 
Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Sumenep.
 
Desa yang terletak 45 Km dari kota ke arah barat itu berpenduduk 3.500 kepala 
keluarga (KK) atau 9.567 jiwa. Dari jumlah penduduk yang ada itu, 80 persen 
menjadi pengemis (peminta-minta).
 
Tak ayal, jika desa itu mendapat julukan kampung pengemis dan menjadi pusat 
perhatian para peneliti, akademisi dan media massa meski tidak semudah yang 
dibayangkan untuk masuk ke desa tersebut.
 
Setiap orang yang masuk perkampungan pengemis itu tidak akan percaya bila 
warganya menjadi pengemis. Selain tidak ada rumah gedek (Rumah anyaman bambu), 
kendaraan sepeda motor juga ramai terlihat lalu lalang.
 
Meski rumah warga satu dengan yang lain berjarak antara 10 meter hingga 20 
meter, namun terlihat rumah berukuran besar dan kokoh dilengkapi antena 
parabola, lantai keramik lengkap dengan berbagai macam hiasan sudah bukan 
barang langka dan asing lagi.
 
Akses jalan desa yang menjadi penghubung dengan desa tetangga juga beraspal, 
kecuali jalan penghubung kampung di desa itu yang masih jalan makadam dan sulit 
dijangkau dengan mobil mewah.
 
Untuk ukuran desa di Sumenep, kondisi Desa Pragaan Daya sudah maju. Program 
pemerintah sudah masuk dan aktivitas masyarakat seperti layaknya warga desa 
tetangga.
Satu dari penduduk desa pengemis, Ny Halimah (46) yang kesehariannya menjadi 
peminta-minta di Kota Sumenep sudah memiliki 4 ekor sapi. Dia memiliki rumah 
yang selesai dibangun 3 tahun silam lengkap dengan perabotan mewah.
 
Meski sudah tergolong kelas ekonomi menengah untuk ukuran desa, namun Ny 
Halimah mengaku tidak bisa meninggalkan profesinya sebagai penerima sedekah 
dari orang lain yang sudah turun temurun dilakukan.
 
Banyak alasan yang dikemukakan. Selain tidak memiliki lahan pertanian yang 
cukup hingga tidak mempunyai skill yang bisa menghasilkan menutupi kebutuhan 
hidupnya.
"Saya tidak mempunyai pekerjaan lagi, kecuali menerima sedekah dari orang lain. 
Dan ini pekerjaan yang telah turun-temurun dan tidak mungkin ditinggalkan," 
kata Halimah kepada detiksurabaya.com di rumahnya, Kamis (20/8/2009).
Dalam pandangannya, uang hasil meminta-minta itu adalah rezeki halal karena 
uang itu diberikan oleh si empunya secara ikhlas.
"Kalau tidak ikhlas tidak mungkin diberikan pada saya. Jadi, pemberian orang 
itu adalah sedekah yang tidak ada salahnya bila diterima," ujarnya.
 
Menurut dia, warga Desa Pragaan Daya yang meminta-minta tidak hanya dilakukan 
di wilayah Madura, mereka yang masih sehat dan mempunyai kemampuan untuk datang 
ke daerah lain, biasanya banyak mengemis di Jawa Barat, Bandung , Jakarta dan 
DKI.
 
Bahkan, ada yang merantau hingga Kalimantan dan Malaysia . Namun bagi yang 
sudah tua, daerah yang biasa didatangi hanya Kota Surabaya dan kota lain di 
Jawa Timur.
Tidak sedikit bagi mereka yang mengemis di luar Madura mempunyai kemampuan 
lebih. Bahkan, ada yang menyandang predikat haji atau telah mampu melaksanakan 
rukun Islam yang kelima dari hasil mengemis.
 
"Kalau sudah jadi pak haji baru berhenti, tinggal anak-anaknya yang melanjutkan 
pekerjaan menerima sedekah itu," katanya seraya menolak menyebutkan identitas 
orang yang dimaksud.
 
Sementara Sekretaris Desa Pragaan Daya Kecamatan Pragaan Sumenep, Moh Haruji 
Saleh mengaku tidak risau dengan predikat desa pengemis. "Ini sudah bagian dari 
kehidupan warga kami sehingga harus menyandang predikat kampung pengemis. Ya 
tidak apa-apa," ujar Haruji kepada detiksurabaya.com di rumahnya.
 
Dia mengaku sudah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan kebiasaan 
meminta-minta namun menemui kesulitan. Selain mereka tidak mempunyai pekerjaan 
lain, juga ada sebagian yang memang tidak mempunyai lahan pertanian.
 
"Usaha yang bisa dilakukan hanya dengan memutus mata rantai menjadi pengemis. 
Para kawula mudanya jangan sampai ikut mewarisi profesi orang tuanya itu," 
terangnya.
Para kawula muda, kata dia, pendidikannya sudah banyak yang masuk perguruan 
tinggi. Bahkan, ada yang masuk di fakultas kedokteran di sebuah perguruan 
tinggi di Jember. Meski diakui jika biaya untuk menyekolahkan itu dari hasil 
mengemis, bukan berarti harus menjalankan profesi orang tuanya.




________________________________
Dari: Sulaeman_H. <sulaem...@gmail.com>
Kepada: Forum-Pembaca-Kompas@yahoogroups.com
Terkirim: Kamis, 27 Agustus, 2009 23:56:06
Judul: Re: [Forum-Pembaca-KOMPAS] Bagaimana Pengemis Berdasi? Bls: Dilarang 
jadi pengemis?

 
UU atau fatwa anti-pengemis?
Negara kaya dan maju saja masih punya penganggur, gelandangan dan
pengemis dan mereka tidak punya UU atau fatwa haram jadi pengemis.
Jadi jangan gengsi punya rakyat tukang pengemis.
Di beberapa negara di Eropa salah satu pemendangan yang menarik buat
saya justeru kreativitas para pengemis jalanan, Dari manusia patung
sampai pemusik klasik yang bermain bak dipanggung profesional.
SH

Kirim email ke