Assalamu'alaykum warahmatulLahi wabarakatuhu,

Salah satu dari 12 orang Indonesia yang ada di armada Freedom Flotilla
adalah Santi Soekanto. Ia mantan wartawati harian the Jakarta Post, sempat
menjadi konsultan media bagi WHO Jakarta, kemudian memutuskan menjadi ibu
rumah tangga sepenuhnya. Suaminya, Wisnu Pramudya, juga ada di atas kapal.
Wisnu juga wartawan, sempat memimpin majalah Hidayatullah.

Kemarin, Santi mengirim email ini pada saya. Isinya menyentuh. Saya teruskan
pada kawan-kawan, semoga juga bisa bermanfaat. Silakan teruskan pada
kawan-kawan lain.

Sampai saat mengirim email ini, saya belum tahu kabar mereka dan 10 orang
Indonesia lain (selain Santi dan Wisnu, ada juga M. Yasin/ TV One, Surya
Fachrizal/ majalah Hidayatullah, Ferry Nur/ Komite Indonesia untuk
Solidaritas Palestina, tiga orang dari MER-C, sisanya saya belum tahu).

Mohon terus doakan mereka.

Salam,
-- 
Tomi Satryatomo
skype: tomi.satryatomo

http://wisat.smugmug.com
http://www.trekearth.com/members/wisat/photos/
http://www.jpgmag.com/people/wisat

"We shall build good ship here,
at a profit if we can,
at a loss if we must,
but... always a good ship."

*From:* Santi Soekanto
*Sent:* Sunday, May 30, 2010 8:47 AM
*To:* Tomi Satryatomo; Tomi Satryatomo
*Subject:* Just sharıng - Gaza Tidak Membutuhkanmu



*Gaza Tidak Membutuhkanmu!*

* *

*Di atas M/S Mavi Marmara, di Laut Tengah, 180 mil dari Pantai Gaza.*

Sudah lebih dari 24 jam berlalu sejak kapal ini berhenti bergerak karena
sejumlah alasan, terutama menanti datangnya sebuah lagi kapal dari Irlandia
dan datangnya sejumlah anggota parlemen beberapa negara Eropa yang akan ikut
dalam kafilah Freedom Flotilla menuju Gaza. Kami masih menanti, masih tidak
pasti, sementara berita berbagai ancaman Israel berseliweran.

Ada banyak cara untuk melewatkan waktu – banyak di antara kami yang membaca
Al-Quran, berzikir atau membaca. Ada yang sibuk mengadakan halaqah. Beyza
Akturk dari Turki mengadakan kelas kursus bahasa Arab untuk peserta Muslimah
Turki. Senan Mohammed dari Kuwait mengundang seorang ahli hadist, Dr Usama
Al-Kandari, untuk memberikan kelas Hadits Arbain an-Nawawiyah secara singkat
dan berjanji bahwa para peserta akan mendapat sertifikat.

Wartawan sibuk sendiri, para aktivis – terutama veteran
perjalanan-perjalanan ke Gaza sebelumnya – mondar-mandir; ada yang
petantang-petenteng memasuki ruang media sambil menyatakan bahwa dia “tangan
kanan” seorang politisi Inggris yang pernah menjadi motor salah satu konvoi
ke Gaza.

* *

*Activism*

Ada begitu banyak *activism, heroism…*Bahkan ada seorang peserta kafilah
yangmengenakan T-Shirt yang di bagian dadanya bertuliskan “Heroes of Islam”
alias “Para Pahlawan Islam.” Di sinilah terasa sungguh betapa pentingnya
menjaga integritas niat agar selalu lurus karena Allah Ta’ala.

Yang wartawan sering merasa hebat dan *powerful* karena mendapat perlakuan
khusus berupa akses komunikasi dengan dunia luar sementara para peserta lain
tidak. Yang berposisi penting di negeri asal, misalnya anggota parlemen atau
pengusaha, mungkin merasa diri penting karena sumbangan material yang besar
terhadap Gaza.

Kalau dibiarkan riya’ akan menyelusup, *na’udzubillahi min dzaalik*, dan
semua kerja keras ini bukan saja akan kehilangan makna bagaikan buih air
laut yang terhempas ke pantai, tapi bahkan menjadi lebih hina karena menjadi
sumber amarah Allah Ta’ala.

* *

*Mengerem*

Dari waktu ke waktu, ketika kesibukan dan kegelisahan memikirkan pekejaan
menyita kesempatan untuk duduk merenung dan tafakkur, sungguh perlu bagiku
untuk mengerem dan mengingatkan diri sendiri. Apa yang kau lakukan Santi?
Untuk apa kau lakukan ini Santi? Tidakkah seharusnya kau berlindung kepada
Allah dari ketidak-ikhlasan dan riya’? Kau pernah berada dalam situasi
ketika orang menganggapmu berharga, ucapanmu patut didengar, hanya karena
posisimu di sebuah penerbitan? *And where did that lead you? Had that
situation led you to Allah, to Allah’s blessing and pleasure, or had all
those times brought you Allah’s anger and displeasure?*

Kalau hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, *
Subhanallah,* sungguh banyak orang yang jauh lebih layak dihargai oleh seisi
dunia di  sini. Mulai dari Presiden IHH Fahmi Bulent Yildirim sampai seorang
Muslimah muda pendiam dan shalihah yang tidak banyak berbicara selain sibuk
membantu agar kawan-kawannya mendapat sarapan, makan siang dan malam pada
waktunya… Dari para ‘ulama terkemuka di atas kapal ini, sampai beberapa pria
ikhlas yang tanpa banyak bicara sibuk membersihkan bekas puntung rokok
sejumlah perokok *ndableg*.

Kalau  hanya sekedar penghargaan manusia yang kubutuhkan di sini, *Subhanallah,
*di tempat ini juga ada orang-orang terkenal yang petantang-petenteng karena
ketenaran mereka.

Semua berteriak, “Untuk Gaza!” namun siapakah di antara mereka yang
teriakannya memenangkan ridha Allah? Hanya Allah yang tahu.



*Gaza Tak Butuh Aku*

Dari waktu ke waktu, aku perlu memperingatkan diriku bahwa Al-Quds tidak
membutuhkan aku. Gaza tidak membutuhkan aku. Palestina tidak membutuhkan
aku.

Masjidil Aqsha milik Allah dan hanya membutuhkan pertolongan Allah. Gaza
hanya butuh Allah. Palestina hanya membutuhkan Allah. Bila Allah mau,
sungguh mudah bagiNya untuk saat ini juga, detik ini juga, membebaskan
Masjidil Aqsha. Membebaskan Gaza dan seluruh Palestina.

Akulah yang butuh berada di sini, suamiku Dzikrullah-lah yang butuh berada
di sini karena kami ingin Allah memasukkan nama kami ke dalam daftar
hamba-hambaNya yang bergerak – betapa pun sedikitnya – menolong agamaNya.
Menolong membebaskan Al-Quds.

Sungguh mudah menjeritkan slogan-slogan, *Bir ruh, bid dam, nafdika ya
Aqsha…* *Bir ruh bid dam, nafdika ya Gaza!*

Namun sungguh sulit memelihara kesamaan antara seruan lisan dengan seruan
hati.

* *

*Cara Allah Mengingatkan *

Aku berusaha mengingatkan diriku selalu. Namun Allah selalu punya cara
terbaik untuk mengingatkan aku.

Pagi ini aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri sekedarnya – karena tak
mungkin mandi di tempat dengan air terbatas seperti ini, betapa pun gerah
dan bau asemnya tubuhku.

Begitu masuk ke salah satu bilik, ternyata toilet jongkok yang dioperasikan
dengan sistem vacuum seperti di pesawat itu dalam keadaan
*mampheeeeet*karena ada dua potongan kuning coklaaat…menyumbat
lubangnya! Apa yang harus
kulakukan? Masih ada satu bilik dengan toilet yang berfungsi, namun kalau
kulakukan itu, alangkah tak bertanggung-jawabnya aku rasanya? Kalau aku
mengajarkan kepada anak-anak bahwa apa pun yang kita lakukan untuk membantu
mereka yang *fii sabilillah* akan dihitung sebagai amal *fii sabilillah*,
maka bukankah sekarang waktunya aku melaksanakan apa yang kuceramahkan?

Entah berapa kali kutekan tombol flush, tak berhasil. Kotoran itu
*ndableg*bertahan di situ. Kukosongkan sebuah keranjang sampah dan
kuisi dengan  air
sebanyak mungkin – sesuatu yang sebenarnya terlarang karena semua peserta
kafilah sudah diperingatkan untuk menghemat air – lalu kusiramkan ke toilet.

Masih *ndableg.*

Kucoba lagi menyiram…

Masih *ndableg.*

Tidak ada cara lain. Aku harus menggunakan tanganku sendiri…

Kubungkus tanganku dengan tas plastik. Kupencet sekali lagi tombol
*flush.*Sambil sedikit melengos dan menahan nafas, kudorong tangan
kiriku ke lubang
toilet…

Blus!

Si kotoran *ndableg* itu pun hilang disedot pipa entah kemana…

Lebih dari 10 menit kemudian kupakai untuk membersihkan diriku sebaik
mungkin sebelum kembali ke ruang perempuan, namun tetap saja aku merasa tak
bersih. Bukan di badan, mungkin, tapi di pikiranku, di jiwaku.

Ada peringatan Allah di dalam kejadian tadi – agar aku berendah-hati, agar
aku ingat bahwa sehebat dan sepenting apa pun tampaknya tugas dan
pekerjaanku, bila kulakukan tanpa keikhlasan, maka tak ada artinya atau
bahkan lebih hina daripada mendorong kotoran *ndableg* tadi.

*Allahumaj’alni minat tawwabiin…*

*Allahumaj’alni minal mutatahirin…*

*Allahumaj’alni min ibadikas-salihin…*

* *

*29 Mei 2010, 22:20*

*Santi Soekanto*

*Ibu rumah tangga dan wartawan yang ikut dalam kafilah Freedom Flotilla to
Gaza Mei 2010.*


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke