Krisis Yunani usai 8 tahun pemerintah neoliberal, data statistik aspal. Jebakan 
utang seperi dinegara kita dijelaskan oleh John Perkins dalam "Confessions of 
an Economic Hitman" (2004). Pemerintah neko-neko berideologi 
neokon-neolib-neofeodal tidak pernah akan dapat tuntas membebaskan negeri dari 
lilitan maut seperti itu.
Indonesia Bisa Bernasib Seperti Yunani 
Rabu, 14 Juli 2010 | 12:23 WIB
 

  
Aktivitas di pelabuhan petikemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta (19/1). 
Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini diperkirakan 5,5%, dan dapat mencapai 
6,5% pada 2011, 7% pada 2012. TEMPO/Subekti


TEMPO Interaktif, Semarang- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi  Partai 
Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Budimanta menilai krisis Yunani juga dapat 
dialami oleh perekonomian Indonesia.  Alasannya,  defisit Indonesia tahun ini  
yang naik  Rp137 triliun  tahun ini , meskipun selisih rasionya menurun.

Menurut Arif, Yunani mengalami krisis dikarenakan kecerobohan pemerintahnya 
dalam anggaran yaitu defisit yang melebihi batas maksimum zona aman sebesar 3 
persen, sekarang sudah mencapai 13 persen. 
"Untuk utang mereka juga gali lubang tutup lubang. Tapi kita susah untuk 
anggaran bisa berimbang, karena utang diperlukan untuk pembangunan," katanya 
dalam diskusi terbatas bertajuk Krisis Eropa, Prospek Pemulihan Ekonomi dan 
Road to Investment Grade di Semarang hari ini.  Total utang pokok Indonesia 
saat ini disebutnya  sebesar US$174 miliar.

Akan tetapi krisis Eropa dinilai Arif tidak memiliki dampak langsung kepada 
perekonomian negara kita. "Neraca perdagangan Indonesia ke Yunani tidak terlalu 
besar,"ucapnya.

Salah satu akibat dari krisis tersebut antara lain adalah pengalihan investasi 
ke pasar di negara berkembang. "Tapi itu bisa berdampak negatif, aliran modal 
asing masuk bisa inflasi tinggi, inflasi tinggi bubble ekonomi bisa pecah kapan 
saja kalo eropa bangun lagi."terangnya.

Untuk mengantisipasi hal tersebut,  Bank Indonesia harus dapat memperkuat 
kebijakan fiskal dan moneternya. Menurutnya, yang terjadi di Eropa bisa 
dijadikan benchmark kebijakan fiskal moneter indonesia. "Kebijakan fiskal 
dengan asumsi makro (pertumbuhan defisit fiskal,defisit APBN, suku 
bunga,inflasi) harus mencerminkan keadaan nyata di masyarakat ,"paparnya. 
Cara lain, papar Arif, adalah dengan memotong anggaran rutin belanja negara 
yang besarannya adalah 55 persen.

RIRIN AGUSTIA 




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke