Oleh Saldi Isra
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/05/0300102/kpk.minus.antasari





Komisi Pemberantasan Korupsi kembali dilanda musibah. Setelah Suparman, 
penyidik KPK, menerima suap dalam menangani korupsi PT Industri Sandang 
Nusantara, kini musibah menghadang Ketua KPK Antasari Azhar terkait dengan 
kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen.

Meski status tersangka tidak terkait langsung dengan pelaksanaan tugas KPK, 
kejadian yang menimpa Antasari memberikan beban psikologis berbeda bagi KPK 
jika dibandingkan dengan kasus suap yang dilakukan Suparman. Dan, beban itu 
kian berat dengan posisi Antasari sebagai Ketua KPK.

Dengan musibah ini, banyak kalangan khawatir kejadian Antasari potensial 
dimanfaatkan untuk mendiskreditkan sekaligus mendelegitimasi KPK. Kekhawatiran 
itu masuk akal karena para perampok uang negara tidak pernah merasa nyaman 
dengan KPK. Bahkan, beberapa episentrum korupsi yang selama ini sulit disentuh 
penegak hukum merasa terancam dengan kehadiran KPK.

Abaikan "warning"

Pada pengujung 2007, saat proses seleksi dan fit and proper test pimpinan KPK 
generasi kedua sedang berlangsung, sejumlah kalangan yang concern dengan 
pemberantasan korupsi berupaya me- warning tim seleksi dan DPR untuk 
berhati-hati dalam memilih pimpinan KPK. Dalam Menjemput Kematian KPK (Kompas, 
5/12/2007) saya pernah mengemukakan, jika gagal memahami signifikansi kehadiran 
KPK sebagai extraordinary body dalam pemberantasan korupsi, hasil seleksi dan 
fit and propert test akan menjadi kereta mayat yang bergerak menjemput kematian 
KPK.

Meski tulisan itu tidak eksplisit menyebut nama, warning itu salah satunya 
ditujukan kepada Antasari. Bahkan, hasil rekam jejak (tracking) yang dilakukan 
Juli-Oktober 2007, ICW dan sejumlah kalangan meminta Antasari untuk tidak 
diloloskan. Namun, warning dan permintaan itu tidak mampu mengubah keputusan 
politik saat itu. Celakanya, di tengah penolakan itu, DPR justru memilih 
Antasari menjadi Ketua KPK.

Kejadian ini menambah panjang catatan kegagalan DPR dalam memilih pejabat 
publik. Apalagi pada proses fit and proper test pimpinan KPK generasi kedua, 
isu suap amat menyengat ke permukaan. Karena itu, menjadi masuk akal jika ada 
pendapat yang mengatakan, ketidakmampuan KPK menuntaskan skandal korupsi yang 
melibatkan anggota DPR merupakan buah ketidakberesan proses fit and proper test.

Isolasi

Sebagai bagian dari upaya menyelamatkan institusi KPK, langkah cepat pimpinan 
KPK yang lain dengan memberhentikan sementara Antasari menjadi pilihan tak 
terelakkan. Pasal 32 Ayat (2) Undang-Undang KPK menyatakan, dalam hal pimpinan 
KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari 
jabatannya. Maka, pemberhentian sementara itu harus dibaca sebagai langkah 
isolasi agar kewenangan besar yang dimiliki KPK tidak disalahgunakan ketika 
pimpinan KPK tersangkut tindak pidana.

Agar tindakan isolasi berjalan efektif, sesuai dengan perintah Pasal 32 Ayat 
(3) UU KPK, Presiden harus segera mengeluarkan surat pemberhentian sementara 
Antasari. Surat pemberhentian presiden itu menjadi penting agar langkah cepat 
pimpinan KPK tak dimaknai sebagai cuti. Sebagaimana dilansir Kompas.com (3/5), 
Antasari menyampaikan permohonan cuti kepada pimpinan KPK. Karena itu, pimpinan 
KPK dilaksanakan secara presidium. Perlu dicatat, tidak ada istilah cuti bagi 
pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana. Apalagi, secara hukum, 
"cuti" dan "diberhentikan sementara" punya makna dan konsekuensi berbeda.

Selain itu, langkah hukum terhadap Antasari harus dilakukan dengan lebih 
intensif. Dalam kaitan itu, kepolisian harus segera menyelesaikan proses awal 
agar lebih cepat diserahkan ke tahap berikut. Dari spektrum yang ada, bisa jadi 
banyak pihak berkepentingan dengan kasus Antasari. Karena itu, agar kasus ini 
tidak "masuk angin" penyelesaian cepat dan tepat menjadi keniscayaan.

Tidak hanya itu, agar kasus Antasari tidak terlalu lama membebani KPK, jika 
bukti-bukti keterlibatan cukup kuat, kasus ini bisa segera dilimpahkan ke 
pengadilan. Sekiranya hal itu dilakukan, Antasari segera diisolasi permanen 
dari KPK. Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK mengamanatkan, pimpinan KPK berhenti 
atau diberhentikan apabila menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana 
kejahatan.

Minus Antasari

Kesepakatan pimpinan KPK untuk sementara waktu "melepaskan" kewenangan Ketua 
KPK tepat dilakukan untuk memberikan demarkasi tegas antara Antasari dan KPK 
guna mempertahankan citra KPK dalam pemberantasan korupsi. Dengan langkah itu, 
ke depan KPK akan berjalan tanpa Antasari. Bahkan bukan tidak mungkin sekiranya 
kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, keberadaan Pasal 32 Ayat (1) Huruf c UU KPK 
segera akan menamatkan karier Antasari di KPK.

Meski tindak pidana kejahatan yang disangkakan tidak langsung terkait dengan 
tugas KPK, kasus yang menimpa Antasari tetap akan memberikan image negatif bagi 
KPK. Agar hal itu tidak berdampak lebih buruk, pimpinan KPK harus bekerja 
ekstra keras. Apalagi, dalam beberapa waktu terakhir, performance KPK cenderung 
menurun. Dari sejumlah perbincangan di antara sesama penggiat antikorupsi, 
Antasari dinilai memberikan kontribusi atas penurunan kinerja KPK.

Terlepas dari penilaian itu, sebagai bagian dari penyelamatan KPK, pimpinan KPK 
minus Antasari harus mampu memulihkan kepercayaan publik dengan menuntaskan 
penyelesaian semua skandal korupsi yang terbengkalai selama ini. Misalnya, 
kasus aliran dana YPPI Bank Indonesia yang melibatkan sejumlah mantan petinggi 
BI dan elite politik di DPR. Sejauh ini, KPK seperti kehilangan nyali menyentuh 
anggota DPR yang terindikasi menerima aliran dana itu. Atau, penyelesaian kasus 
Agus Condro yang untouchable tidak tentu rimbanya.

Sekiranya pimpinan KPK minus Antasari mampu menyelesaikan aneka skandal korupsi 
yang tidak tuntas karena tebang pilih, harapan dan kepercayaan publik tidak 
akan pernah pudar kepada KPK.

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi FH Unand, 
Padang

Kirim email ke