Oleh Lusiana Indriasari dan Susi Ivvaty
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0707/29/keluarga/3716709.htm
=======================

Suami harus hidup terpisah dari istri dan anak? Sebuah pilihan yang
sulit. Kenyataannya, pekerjaan dapat saja menuntut sebuah keluarga tak
selamanya bersatu di bawah satu atap.

Bagi orang yang tugasnya sering berpindah-pindah, memboyong keluarga
bisa membawa konsekuensi besar dalam rumah tangga. Salah satunya
adalah kehilangan sebagian pendapatan jika pasangan ternyata juga
bekerja. Di lain pihak, pengeluaran semakin membengkak apabila
keluarga itu pindah ke suatu tempat yang berbiaya hidup tinggi.

Anak-anak yang ikut pindah juga harus pandai beradaptasi dengan
lingkungan baru. Jika orangtua terlalu sering pindah, anak malah bisa
tertekan karena mereka tidak sempat menjalin hubungan sosial dengan
lingkungannya.

"Mencari pekerjaan baru sekarang sangat sulit. Makanya, saya dan istri
memutuskan hidup terpisah," cetus Guido S Radityo (32), pekerja swasta
di perusahaan penerbitan di Jakarta. Guido dan istrinya, Khristianna
(31), akrab disapa Anna, sudah lima tahun menjalani hidup terpisah.
Guido tinggal di Jakarta, sedangkan Anna menetap di Yogyakarta bersama
Jalu (4), buah hati mereka.

Sejak menikah, pasangan ini belum pernah merasakan hidup bersama di
bawah satu atap. Anna tidak mungkin ikut pindah ke Jakarta karena ia
bekerja di Yogyakarta. Bahkan, ketika Anna melahirkan, Guido tidak
bisa menunggui.

Pasangan Purnomo (35) dan Yuli Muniawati (33) juga merasakan beratnya
hidup terpisah. Purnomo, pegawai negeri di lingkungan Departemen
Keuangan, saat ini bekerja di Sorong, Papua, sedangkan Yuli adalah
karyawan Indosat di Jakarta. Saat ini Yuli tengah mengandung anak
ketiganya, sementara dua anak sebelumnya, Hirzy (4) dan Thoriq (1
tahun 5 bulan), masih membutuhkan perhatian penuh dari orangtuanya.

"Sebenarnya saya bisa minta pindah ke Sorong, tetapi ada kemungkinan
suami dipindah lagi. Jadi, kalau saya menyusul, saya bisa sulit jika
mau minta pindah lagi," kata Yuli yang tengah hamil tujuh bulan dan
kadang menangis jika Hirzy dan Thoriq menanyakan bapaknya.

Apa yang dirasakan Yuli berbeda dengan yang dirasakan Zainuraida (54),
warga Pondok Gede, Jakarta Timur. Mantan awak penerbangan pesawat
Garuda ini terbiasa menjalani kehidupan berpindah-pindah. Ketika
bertugas dulu, ibu tiga putra ini tidak pernah menetap di satu kota di
Indonesia untuk waktu lama.

Oleh karena itu, ketika akhirnya menikahi Kirono (59) yang berprofesi
sebagai pilot, Ida merasa biasa saja. "Sejak menikah, sebagian besar
hidup saya terpisah dari suami," tutur Ida, panggilan Zainuraida, yang
kini menjadi pembina sofbol.

Hingga kini, Ida dan Kirono masih saja hidup terpisah. Setelah pensiun
dari Garuda, lima tahun terakhir Kirono bekerja di Orient Thai,
perusahaan penerbangan Thailand. Kirono baru bisa menjenguk
keluarganya paling cepat sebulan sekali.

Tidur di kantor

Pasangan suami istri yang hidup terpisah mau tidak mau harus membiayai
dua "dapur". Bagi orang yang tidak pandai menyiasati keadaan,
membiayai dua rumah tangga tentu bisa memberatkan keuangan. Mereka
harus menyediakan uang untuk kos, transportasi, dan makan.

Guido dan istri mampu menyiasatinya. Untuk berhemat, selama lima tahun
itu pula Guido rela tidur di kantor. Cukup Rp 750.000 untuk keperluan
hidupnya sebulan. Ia pun bisa menabung Rp 1 juta setiap bulannya,
sedangkan sisa gajinya dikirim ke istri.

Tidur di kantor tentu tak sebebas tidur di kamar kos. Guido baru bisa
tidur jika semua temannya sudah pulang. Pagi-pagi ia juga harus bangun
dan merapikan diri sebelum teman-temannya datang. Ia hanya membawa
kasur tipis dan lemari kecil untuk menyimpan baju. Barang-barang itu
diletakkan di satu ruangan kantor yang tidak terpakai.

"Wah untungnya saya belum pernah bangun kesiangan. Kan malu kalau
bangun tahu-tahu orang sudah berdatangan," tutur Guido.

Purnomo beruntung bisa menempati rumah dinas meski sederhana. Namun,
jauhnya jarak Sorong dan Jakarta membuatnya sulit untuk pulang. Biaya
pesawat yang mahal menjadi kendala utama meski sebenarnya ia
diperbolehkan pulang setiap dua bulan. "Karena lama tak pulang, Thoriq
pangling, lupa sama bapaknya," ujar Yuli.

Kesepian, mandiri

Bagi istri yang ditinggal di rumah bersama anak-anak, jauh dari suami
justru bisa melatih kemandirian. Setidaknya itulah yang dirasakan Nia
Tresnasari (32), warga Bojong, Depok Baru, Bogor. Sejak suaminya,
Nenda, pindah ke Makassar enam bulan lalu, Nia belajar mengatasi
persoalan rumah tangga sendirian.

Ketika dua anaknya, Bintang (4) dan Bulan (2,5), sakit, Nia bisa
menyikapinya dengan lebih tenang. Padahal, biasanya ia sering panik
dan bergantung kepada suami untuk mengantar ke dokter. Begitu juga
jika ada bagian rumah yang rusak. Nia langsung mencari tukang.
"Pokoknya dari urusan anak sakit sampai genteng bocor saya tangani
semua," tutur Nia. Ia tidak ikut pindah ke Makassar karena harus
bekerja di Bogor.

Hidup mandiri dijalani Ida selama puluhan tahun. Sejak anak-anak
mereka masih kecil, Ida selalu memberi pengertian ayahnya punya
pekerjaan "berbeda" dengan orang lain, jadi tidak bisa ketemu setiap hari.

Meski hidup terpisah, pasangan suami istri tetap bisa membesarkan
anak-anaknya dengan baik. Kuncinya adalah selalu berkomunikasi. Guido
hampir setiap hari menelepon anak dan istrinya, begitu pula pasangan
Purnomo dan Yuli serta Ida dan Kirono.

"Kami mengobrol ngalor-ngidul. Ini untuk menjalin kedekatan. Kalau ada
masalah tidak terpecahkan, baru saya berkonsultasi dengan dia," tutur
Ida yang sangat percaya suaminya tidak akan berbuat macam-macam.

Di satu sisi merasa kesepian, di sisi lain melatih kemandirian.
Begitulah jika satu keluarga hidup terpisah. Yang kadang berat
dirasakan adalah menahan rasa kangen pada anak. Maka itu, anak
cenderung dimanjakan sebagai kompensasi rasa bersalah yang dirasakan.
Guido selalu menuruti apa pun permintaan Jalu, begitu pula Purnomo
yang berusaha semampunya memberi hiburan apa pun yang diinginkan Hirzy
dan Thoriq.

Hidup jauh dari keluarga memang butuh banyak pengorbanan. Apalagi jika
keluarga besar suami atau istri tidak berada di satu kota, seperti
orangtua Yuli yang tinggal di Kuningan, Jawa Barat, dan orangtua
Purnomo di Magelang, Jawa Tengah. Mertua Nia tinggal di Bekasi, tidak
terlalu jauh dari Bogor, tetapi tentu tidak bisa terus menemaninya.
Orangtua dan saudara Nia pun tinggal di kota-kota lain, tidak bisa
terus mendampingi jika Nia membutuhkan bantuan.

Setidaknya, ada hal positif yang bisa dipetik para pasangan yang hidup
terpisah, salah satunya adalah pembelajaran untuk kemandirian dan
kematangan jiwa. 

Kirim email ke