YANG TAK MAU TERKUBUR DI DAPUR

Oleh Tabrani Yunis

Melintasi  jalan-jalan di pasar Thamel, Katmandu, Nepal menjelang malam Jum’at, 
7 Mai 2010,  beberapa perempuan, berpakaian agak kumal, berjualan di emperan 
toko dan tembok bangunan yang tinggi.  Sebuah gerobak kecil yang berisi 
dagangan yang kalau dihitung-hitung nilai dagangannya tidak lebih dari Rp 
500.000,-. Hanya ada barang berupa sejumlah permen, beberapa botol air mineral 
dan makanan kecil. Orang-orang yang membelipun hanya dari kalangan kelas bawah.

Melongok keadaan itu, sontak pikiran penulis berjalan menerawang pada para 
perempuan usaha kecil yang di beberapa negara lain. Sebut sajalah di Philipina, 
Thailand bahkan juga di Malaysia. Di tahun 2006, penulis pernah  melihat para 
perempuan yang berbisnis di Manila bay, yang terletak di pinggir pantai, di ibu 
kota Philipina, yakni Manila.  Di sepanjang jalan itu banyak orang berjualan. 
Mereka juga para perempuan. Begitu pula ketika penulis berada di Maesot, sebuah 
kota di Thailand dekat perbatasan dengan Burma, ada banyak perempuan yang 
berbisnis. Juga di Malaysia, negera tetangga kita. Di negri persemakmuran ini 
Inggris ini, banyak perempuan yang berdagang di gerai-gerai makanan di 
pinggiran jalan seperti Chawkit dan lain-lain. Apalagi di negri kita tercinta 
Indonesia. Di setiap kota, termasuk Aceh kita menyaksikan betapa banyaknya  
perempuan yang  kini berbisnis. Kita tidak perlu melewati atau melintasi semua- 
lorong, cukup melihat di kaki lima saja.
 Di sinilah kita menemukan apa yang dinukil oleh Hartoyo Andangjaya dalam 
sajaknya ” Perempuan-perempuan Perkasa”. Berikut ini.

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka. Ke 
stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa
sebelum peluit kereta pagi terjaga
sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, kemanakah mereka
di atas roda-roda baja mereka berkendara
mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan perkasa yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Dari awal tulisan ini, memotret  perjalanan sosok perempuan yang selama ini  
berkutat di sumur, dapur dan kasur. Karena dalam kacamata budaya dan penafsiran 
agama yang sempit, kita selama berabad-abad secara tidak adil  dan tidak 
demokratis,telah membagi peran yang juga diskrimintif antara laki-laki dan 
perempuan. Perempuan diposisikan pada sektor domestik, yang hanya mengurus 
rumah tangga. Sehingga dalam keseharian, perempuan hanya berkutat pada tiga 
wilayah domestik, yakni sumur dapur, kasur. Walaupun wilayahnya hanya tiga, 
namun bebannya sangat berat dan sarat. Pekerjaan peempuan di sektor ini seperti 
tidak pernah selesai. Mulai sejak sebelum terbit matahari, hingga sebelum 
terbenam mata suami. Posisi perempuan di sini, terkonstruksi sebagai penerima 
nafkah yang dibawa pulang  suami. Karena suami diposisikan bereparan sebagai 
pencari nafkah. Dengan demikian dilihat dari perspektif tempat atau wilayah, 
laki-laki berperan di ruang publik. Laki-laki
 mencari nafkah di luar rumah, tanpa ada beban mengurus rumah tangga dalam 
ruang sumur, dapur dan kasur itu.

Selanjutnya bisa dibaca di majalah POTRET edisi 33 yang beredar hari ini.
Majalah POTRET mengundang rekan-rekan untuk berkontribusi baik berupa tulisan, 
berlangganan, pemasangan iklan produk, ucapan selamat dan ucapan bela sungkawa. 
Hubungi Majalah POTRET lewat email : ccde.a...@gmail.com.

wassalam

Tabrani Yunis
0811685623



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke