PERNYATAAN SIKAP
PERDA TIBUM : BENTUK PEMBERANGUSAN PENGHIDUPAN WARIA Arus Pelangi, Yayasan Srikandi Sejati, Forum Komunikasi Waria, Bandung Wangi, Yayasan Pelangi Kasih Nusantara dan Aliansi Rakyat Miskin Minggu lalu, tepatnya hari Senin, 10 September 2007, DPRD Prov. DKI Jakarta telah mengesahkan revisi Perda DKI Jakarta No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Latar belakang pengesahan revisi Perda Tibum itu tidak lain untuk menjaga ketenteraman dan ketertiban guna terwujudnya kota Jakarta sebagai kota jasa, kota perdagangan dan kota pariwisata yang masyarakatnya nyaman, aman dan tenteram. Kondisi tersebut akan menjadi daya tarik bagi masyarakat internasional untuk datang dan berkunjung serta menanamkan investasi yang pada akhirnya memberikan kontribusi dalam pengembangan dan pembangunan Kota Jakarta. Kemudian pengaturan mengenai ketertiban umum harus diarahkan guna pencapaian kondisi yang kondusif bagi seluruh aspek kehidupan masyarakat kota Jakarta. Saat ini perda tersebut sudah sampai di tangan Departemen Dalam Negeri. Apabila kita melihat latar belakang pengesahan revisi Perda Tibum di atas, sepertinya semua orang akan setuju apabila Jakarta sebagai ibukota NKRI menjadi kota yang tenteram, tertib, dan nyaman bagi seluruh penduduknya. Namun apabila kita melihat lebih jauh pasal per pasal revisi Perda Tibum itu, maka terlihat jelas bahwa Perda itu tidak akan berhasil menciptakan Jakarta menjadi kota yang tenteram, tertib, dan nyaman bagi penduduknya. Mengapa demikian?. Hal itu disebabkan karena dengan diberlakukannya perda tibum itu, maka banyak lapangan pekerjaan informal yang selama ini telah dibangun dan dijalani oleh sebagian masyarakat miskin Jakarta akan diberantas oleh Pemprov. DKI Jakarta. Tidak terkecuali lapangan pekerjaan informal yang selama ini digeluti oleh kelompok waria Jakarta. Karena sebagaimana kita ketahui, banyak waria di Jakarta yang menjalani profesi sebagai pekerja informal, seperti pengamen dan PSK. Profesi-profesi informal itu muncul karena selama ini pemerintah tidak pernah memberikan kesempatan kepada kelompok waria untuk bersaing dan mendapatkan pekerjaan-pekerjaan di sektor formal. Selain itu, akibat tidak adanya perlindungan dan pendidikan yang memadai yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, banyak diantara para waria itu yang mengidap penyakit HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya. Berdasarkan data yang kami peroleh dari Forum Komunikasi Waria DKI Jakarta, jumlah waria di DKI Jakarta mencapai angka 3500 jiwa. Waria yang menjadi PSK mencapai 60 % dari jumlah tersebut. Kemudian jumlah waria yang menjadi pengamen mencapai 10 % dan jumlah waria yang merupakan OdHA (Orang dengan HIV/AIDS) mencapai 30 %. Pemberangusan lapangan pekerjaan informal yang selama ini digeluti oleh kelompok waria dan warga miskin lainnya, terlihat jelas di dalam perda itu. Kita ambil contoh ketentuan Pasal 40 yang menyebutkan bahwa Setiap orang atau badan dilarang : (a). Menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; (b). menjadi pengemis, pengamen, pedagang asongan, dan pengelap mobil; dan (c). membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, pengamen, dan pengelap mobil. Ketentuan Pasal 41 menyebutkan bahwa Setiap orang yang mengidap penyakit yang meresahkan masyarakat tidak diperkenankan berada di jalan, jalur hijau, taman, dan tempat-tempat umum lainnya. Kemudian ketentuan Pasal 42 ayat (2) menyebutkan bahwa Setiap orang dilarang: a. menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain untuk menjadi penjaja seks komersial; b. menjadi penjaja seks komersial; dan c. memakai jasa penjaja seks komersial. Dari ketiga bunyi pasal di atas, jelas bahwa tidak ada tempat bagi warga miskin kota, termasuk waria, untuk berjuang mempertahankan hidupnya di Jakarta. Karena profesi-profesi informal yang dijalankan dan menjadi penghidupan utama kelompok waria selama ini tidak akan diperbolehkan lagi atau dengan kata lain dilarang atau diberangus oleh Pemprov. DKI Jakarta. Tidak hanya itu, bentuk-bentuk pelarangan terhadap profesi-profesi informal itu juga diikuti dengan dilakukannya stigmatisasi dan kriminalisasi terhadap profesi-profesi informal itu dengan menganggap profesi-profesi itu sebagai suatu kejahatan dan dapat diberikan sanksi kepada orang yang melakukannya. Hal itu dengan tegas diatur di dalam Pasal 61 yang menyebutkan bahwa '(1). Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan ........... Pasal 40 huruf b, huruf c, ........ dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 10 (sepuluh) hari dan paling lama 60 (enam puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp. 20.000.000,- (Dua Puluh Juta Rupiah); (2). Setiap orang atau badan yang melanggar ketentuan ........... Pasal 40 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf b, huruf c, ......... dikenakan ancaman pidana kurungan paling singkat 20 (dua puluh) hari dan paling lama 90 (sembilan puluh) hari atau denda paling sedikit Rp. 500.000,- (Lima Ratus Ribu Rupiah) dan paling banyak Rp. 30.000.000,- (Tiga Puluh Juta Rupiah). Dengan adanya pemberangusan dan bentuk-bentuk kriminalisasi terhadap profesi-profesi informal yang selama ini dijadikan sebagai tumpuan hidup warga miskin kota itu, termasuk waria, maka tujuan diberlakukannya perda tibum ini, yaitu menjadikan Jakarta sebagai kota yang tenteram, tertib, dan nyaman bagi penduduknya, tidak akan tercapai. Hal itu disebabkan karena dengan diberlakukannya perda tibun, maka pemprov. DKI Jakarta akan menambah jumlah penganggur di Jakarta secara drastis. Mau tidak mau, bentuk pengangguran secara masif itu akan membuat banyak penduduk Jakarta menjadi resah, karena banyak di antara mereka yang akan kehilangan pekerjaannya. Jumlah warga miskin kota pada tahun 2006 mencapai 4,57 % dari keseluruhan jumlah penduduk Jakarta atau sekitar 407.000 jiwa. Kemudian jumlah penduduk Jakarta yang menganggur sampai dengan tahun 2006 mencapai 14,31 % dari keseluruhan jumlah penduduk Jakarta. Sehingga bisa dibayangkan kelanjutannya. Ketika ada jutaan orang di Jakarta yang menjadi resah karena harus kehilangan pekerjaannya, maka keresahan itu akan menciptakan persoalan baru, seperti munculnya konflik, baik yang bersifat vertikal maupun horisontal, serta munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru di Jakarta. Selain itu, dengan disahkannya perda tibum ini, Pemprov. DKI Jakarta telah melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan melanggar hak-hak dasar masyarakat miskin dan masyarakat rentan Jakarta. Pelanggaran itu jelas terlihat karena di dalam konsideran mengingat revisi perda tibum, tidak ada satu pun peraturan perundang-undangan tentang HAM yang dicantumkan di dalamnya. Sehingga, jelas terlihat bahwa ketika DPRD Prov. DKI Jakarta menggodok perda tibum ini, tidak memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Padahal dengan jelas ketentuan Pasal 28A UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Kemudian ketentuan Pasal 28H UUD 1945 menyatakan bahwa (1). Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan; (2). Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Di dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang telah diratifikasi oleh indonesia melalui UU No. 11 Tahun 2005, di dalam Pasal 6 dijelaskan bahwa (1). Negara Pihak dari Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak semua orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah yang memadai guna melindungi hak ini; (2). Langkah-langkah yang akan diambil oleh Negara Pihak pada Kovenan ini untuk mencapai perwujudan hak ini sepenuhnya, harus meliputi juga bimbingan teknis dan kejuruan serrta program-program pelatihan, kebijakan, dan teknik-teknik untuk mencapai perkembangan ekonomi, sosial dan budaya yang mantap serta lapangan kerja yang penuh dan produktif, dengan kondisi-kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar bagi perorangan'. Kemudian di dalam Pasal 11 ayat (1) Kovenan Ekosob dijelaskan bahwa Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela. Pasal 5 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan dengan tegas bahwa Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Di dalam Pasal 38 UU No. 39 Tahun 1999 dinyatakan bahwa '(1). Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak; (2). Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil. Selanjutnya di dalam Pasal 139 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa (1). Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda; (2). Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Dari penjelasan beberapa pasal di atas, jelas bahwa perda tibum melanggar hukum, karena tidak sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, perda tibum juga telah melanggar hak-hak dasar warga miskin kota, termasuk waria. Karena sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang HAM, pemenuhan dan perlindungan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negara merupakan tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah. Beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemprov. DKI Jakarta adalah melindungi lapangan pekerjaan informal, bukan malah mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan itu. Kemudian Pemprov. DKI Jakarta seharusnya dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi warga miskin dengan merelokasikan dana-dana yang mereka habiskan untuk operasional Dinas Trantib untuk menginjak-injak warga miskin Jakarta. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), pada tahun 2007 saja, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk mendanai operasional Dinas Trantib itu mencapai angka Rp. 303, 2 milyar. Berdasarkan beberapa hal di atas, dengan ini kami mendesak : 1. Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan perda tibum. 2. Pemprov DKI Jakarta untuk melindungi semua pekerjaan informal yang digeluti oleh waria. 3. Pemprov. DKI Jakarta untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi waria. 4. DPRD DKI Jakarta untuk membuat perda yang benar-benar berpihak pada waria dan melibatkan partisipasi waria seluas-luasnya di dalam pembahasannya. Demikianlah pernyataan sikap ini kami sampaikan. Jakarta, 25 September 2007 ____________________________________________________________________________________ Be a better Globetrotter. Get better travel answers from someone who knows. Yahoo! Answers - Check it out. http://answers.yahoo.com/dir/?link=list&sid=396545469 [Non-text portions of this message have been removed] ===================================================== Pojok Milis Komunitas FPK: 1.Milis komunitas FPK dibuat dan diurus oleh pembaca setia KOMPAS 2.Topik bahasan disarankan bersumber dari KOMPAS dan KOMPAS On-Line (KCM) 3.Moderator berhak mengedit/menolak E-mail sebelum diteruskan ke anggota 4.Kontak moderator E-mail: [EMAIL PROTECTED] 5.Blogroups http://forum-pembaca-kompas.blogspot.com/ 6.Untuk bergabung: [EMAIL PROTECTED] KOMPAS LINTAS GENERASI ===================================================== Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/Forum-Pembaca-Kompas/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/