Oleh JOS DANIEL PARERA
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/03/utama/3735989.htm
=========================

Pengenalan makna sebuah kata sering berlangsung secara primitif, tidak
perlu buka-buka kamus. Saya berkenalan dengan makna kanon ketika
belajar bernyanyi di sekolah rakyat alias sekolah dasar. Para murid
diajarkan belajar menyanyi bersahut-sahutan. Guru mengajak murid
membawakan "Burung Kakatua". Kelompok pertama membawakan larik pertama
burung kakatua, hinggap di jendela. Saat mereka menyanyikan larik
kedua nenek sudah tua, giginya tinggal dua, datang kelompok kedua
membunyikan burung kakatua, hinggap di jendela. Begitu seterusnya
hingga terdengar sahut-sahutan antara grup pertama dan grup kedua di
sepanjang lagu. Guru mengatakan kita bernyanyi kanon.

Ketika tentara datang, kami ketakutan karena mendengar bunyi meriam
latihan perang. Guru mengatakan itu namanya bunyi kanon. Ketika
belajar agama, baru saya tahu ada kanon atau peraturan baku dari
gereja yang harus ditaati oleh umatnya. Baru ketika saya belajar
linguistik, saya mengenal hukum kanon dalam bunyi bahasa Indonesia.
Setiap bunyi vokal pada awal kata bahasa Indonesia akan didahului atau
disertai dengan bunyi hamzah, misalnya anjing, ikut, ombak, ukur,
elok. Oleh karena itu, di depan kata-kata tersebut tidak perlu diberi
huruf hamzah. Sifat kanon disebut kanonik (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi Pertama, 1988) atau kanonis (KBBI Edisi Kedua, 1991).

Di samping kanon terdapat kata kanun yang berarti (1) undang-undang;
peraturan; kitab undang-undang dan (2) hukum; kaidah [KBBI (1988)
halaman 387; KBBI (1991) halaman 442]. Saya tidak tahu apakah ada
hubungan antara kanon dan kanun karena keduanya masih mempunyai
hubungan makna umum yang berarti 'peraturan, kaidah, undang-undang'
walaupun kata kanon lebih banyak dipakai dalam hukum Gereja Katolik.

Dalam bahasa Indonesia terdapat saling silang antara bunyi /o/ dan
bunyi /u/. Simak misalnya korban dan kurban, fondasi dan fundasi, yang
tidak bersifat fonemis. Variasi ini tidak bersifat eksklusif dan sudah
menjadi kata umum milik bersama.

Satu peristiwa kebahasaan muncul ketika dalam Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dipergunakan qanun Aceh. Dalam
undang-undang tersebut qanun Aceh didefinisikan sebagai "peraturan
perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh". Qanun
yang ditulis dalam huruf q tidak terdapat dalam kamus-kamus bahasa
Indonesia semacam KUBI, KBBI, dan sejenisnya.

Pertanyaan yang muncul ialah apa alasan menuliskan kata qanun dengan
huruf q. Apakah kata qanun hanya dipakai secara eksklusif untuk
pemerintah Aceh? Padahal, makna kata kanun yang ditulis dengan huruf k
sama dengan makna qanun yang ditulis dengan huruf q.

Peristiwa kebahasaan ini mengharuskan pula penyusun kamus bahasa
Indonesia memasukkan kata qanun ke dalam entri kata-kata dengan huruf
q karena entri ini belum ada. Atau, kembalikan saja penulisan qanun ke
dalam kanun.

JOS DANIEL PARERA Munsyi 

Kirim email ke