http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/27/swara/3793233.htm
=======================

Perkawinan dalam Islam pada dasarnya menganut asas monogami. Karena
itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menganut asas
monogami.

Pernyataan tersebut diungkapkan Prof Dr Quraish Shihab MA dan Prof Dr
Hj Huzaemah T Yanggo di depan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) di
Jakarta, Kamis (23/8). Keduanya memberi pandangan sebagai saksi ahli
pemerintah dalam sidang gugatan Undang-Undang Perkawinan (UUP) oleh M
Insa sebagai pemohon.

Dalam sidang ketiga tersebut, pemohon dan pemerintah (diwakili Dirjen
Bimas Islam Prof Dr Nasaruddin Umar) mengajukan saksi ahli
masing-masing. Dari pihak pemohon, saksi ahli adalah Dr Ahmad Sudirman
Abbas MA dan Dr Eggi Sudjana SH MSi. Selain itu, juga didengar
keterangan pihak terkait, yaitu dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan
terhadap Perempuan dan Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3).

Pernyataan Quraish Shihab dan Huzaemah itu menjelaskan pandangan
keduanya mengenai permohonan M Insa. Pemohon menyebut, UUP Pasal 3, 4,
5, 19, dan 24 berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 karena membatasi
poligami. Dalam Pasal 3 Ayat 1 disebutkan, "Pada asasnya dalam suatu
perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami".

Dengan asas tersebut, pasal-pasal berikut menentukan syarat jika suami
akan beristri lebih dari satu, antara lain mengajukan permohonan
kepada pengadilan (Pasal 4) dengan persetujuan istri atau istri-istri,
kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka, dan suami berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka (Pasal 5).

Monogami

Dalam sidang yang dipimpin Prof Dr Laica Marzuki SH itu, Quraish
Shihab menyebutkan, poligami tidak termasuk ibadah murni, melainkan
ibadah umum, yaitu aktivitas apa pun selama motivasinya karena
tuntunan agama. Karena ibadah umum, harus dicari tujuan aktivitas itu
dan hukumnya dan karena itu hukumnya dapat berubah sesuai zaman.

Pandangan serupa disampaikan Huzaemah, yaitu pada dasarnya perkawinan
menurut Al Quran berasas monogami. Surat An Nissa mensyaratkan dapat
berlaku adil, dan jika tidak dapat berlaku adil, cukup satu istri.
Meskipun demikian, keduanya menyebutkan, UU Perkawinan tetap membuka
peluang poligami, tetapi dengan syarat. Disebutkan juga pandangan Imam
Syafei bahwa suami harus dapat menjamin hak anak dan istri. "Kalau
satu istri sudah berat tanggungannya bagi suami, apalagi lebih dari
satu istri," kata Huzaemah.

Dalam konteks itulah, menurut Huzaemah, pemerintah perlu mengatur
poligami demi kebaikan umat. Disebutkan juga, dalam kasus poligami
terdapat suami yang menelantarkan istri dan anak dan ini melanggar HAM.

"Hak istri dan anak-anak yang sudah ada harus dipelihara," kata Huzaemah.

Sebelumnya, Eggi Sudjana menyebutkan, Pasal 3 UUP diskriminatif dan
melanggar HAM. Jika terjadi ketidakserasian dalam perkawinan, pasangan
dapat bercerai atau menikah kembali. Menurut Eggi, meskipun Islam
membolehkan perceraian, hal ini tidak disukai, sementara UUP
mempersulit perkawinan (poligami). Hal ini, demikian Eggi, mendorong
perselingkuhan dan perzinaan.

Menjawab pertanyaan anggota majelis hakim MK apakah pernyataan
tersebut berdasarkan hasil penelitian atau hipotesis, Eggi
menyebutkan, di tempat pelacuran dapat ditemukan laki-laki yang sudah
beristri. Ditanya lagi apakah di antara laki-laki yang sudah beristri
itu ada yang berpoligami, Eggi mengatakan, hal itu mungkin sekali.

Hak konstitusional warga

Dalam keterangannya, Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandra Kirana
menyebutkan, landasan konstitusional UUP selain Pasal 29 tentang
kebebasan hak warga negara memeluk agama dan menjalankan ibadat
menurut agama dan kepercayaannya adalah juga Pasal 27 UUD 1945, yaitu
setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Kamala
menyebutkan pernyataan HM Amin Iskandar dalam risalah rapat pembahasan
UUP pada 1973 bahwa perceraian dan poligami perlu diatur untuk
mencegah kesewenang-wenangan.

Menurut Kamala, perkawinan bukan hanya ibadah, tetapi juga institusi
sosial seperti disebutkan dalam Pasal 1 UUP. Dalam institusi sosial,
individu dijamin haknya secara sama oleh konstitusi. Perempuan ketika
memasuki perkawinan bertujuan mendapat kebahagiaan. Hak untuk tidak
didiskriminasi dan mengalami kekerasan juga dijamin UU.

Selain itu, mekanisme seperti disebutkan UUP sudah berjalan. Menurut
Kamala, catatan lima tahun terakhir pengadilan negeri agama
menunjukkan, 80 persen perkara poligami sudah diputus pengadilan.

Pada awal persidangan, Nasaruddin Umar menyebutkan, UUP masih
membolehkan poligami, tetapi dengan syarat dan itu tampak pada data
pengadilan agama. Pada tahun 2004 dikeluarkan 809 izin poligami dari
1.600 permohonan, 2005 ada 803 izin dari 989 permohonan, dan pada 2006
ada 776 izin dari 948 permohonan. Pada periode sama tercatat jumlah
perceraian dengan alasan poligami 813, 879, dan 983 perceraian.
Nasaruddin juga menyebutkan hasil penelitian yang menyebutkan,
poligami menyebabkan penelantaran istri dan anak-anak.

Sementara itu, Ratna Batara Munti mewakili JKP3 menyebutkan,
kepentingan pemohon bersifat individual, subyektif, tidak
mempertimbangkan kepentingan umum. Jika tidak dibatasi, poligami
meningkatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti hasil
temuan LBH Apik, juga anggota JKP3. Ratna juga menolak anggapan
poligami berasal dari tradisi Islam sebab Islam justru membatasi
perkawinan poligami dengan jumlah istri tak terbatas.

JKP3 meminta agar MK mempertahankan UU Perkawinan seperti bentuknya
saat ini sampai ada revisi UU itu di DPR. JKP3 sudah mengusulkan
revisi atas UU Perkawinan sebab ketika dibuat tidak memasukkan
kepentingan perempuan. UU tersebut menjadi kompromi politik dan hanya
ada satu perempuan ikut dalam pembahasannya. (Ninuk MP) 

Kirim email ke