http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0708/25/humaniora/3792060.htm ======================
Jakarta, Kompas - Anugerah Saparinah Sadli untuk pencapaian perempuan Indonesia, Jumat (24/8), diberikan kepada dua "tokoh perempuan" atas komitmen mereka terhadap perjuangan keadilan, pemberdayaan, dan perbaikan kondisi perempuan. Mereka adalah Aleta Ba'un dari Timor Barat dan Mutmainah Korona dari Palu. Aleta adalah nomine Penghargaan Nobel bagi Perempuan untuk Perdamaian. Ia tercatat sebagai koordinator Oat dan pegiat masyarakat di Timor Barat. Sejak tahun 1993 ia membantu suku adat Molo melindungi sumber daya alam dari pencemaran pertambangan pualam di Kabupaten SoE, Nusa Tenggara Timur. Pertambangan itu menyebabkan kerusakan hutan, penyempitan lahan pertanian rakyat, sumber mata air menjadi keruh, serta tanaman rakyat hancur dan hilang karena erosi. "Seluruh perempuan Molo ikut melawan," katanya. Selama mendampingi masyarakat adat, Aleta sering diintimidasi dan diteror pihak yang merasa dirugikan. Tiga bulan terakhir dia diancam dibunuh sehingga dia harus hidup dalam persembunyian. "Saya masih dalam evakuasi, terpisah dari suami dan anak. Saya sesekali bertemu dengan keluarga," tuturnya. Sementara Mutmainah adalah Direktur Komunitas Peduli Perempuan dan Anak Palu, serta Koordinator Presidium Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Sulawesi Tengah. Ia berhasil mengegolkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2006 tentang partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan desa, lembaga kemasyarakatan desa, dan proses pembangunan desa Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Dia juga ikut merancang substansi inti peraturan daerah untuk pemenuhan hak anak Sulawesi Tengah serta menyusun naskah akademik perda antiperdagangan perempuan dan anak Sulteng. Dia juga ikut mendirikan Sikola Mobine, laboratorium politik bagi perempuan. Menurut Ketua Tim Dewan Juri Anugerah Saparinah Sadli, Melani Budianta, anugerah ini diberikan kepada perempuan Indonesia yang menunjukkan komitmen pada perjuangan keadilan, inovatif, dan peduli terhadap pemberdayaan serta perbaikan kondisi perempuan. Mereka diseleksi dari 100 nama. "Mereka luput dari sorotan karena jauh dari pusat pemerintahan. Padahal, dedikasi mereka sungguh luar biasa. Mereka harus berjuang melawan struktur formal dan budaya yang tidak menghargai hak-hak perempuan," katanya. (EVY)