Rencananya kita pengin jadi tuan rumah Piala Dunia, apa daya Gelora Bung Karno 
saja kita gadaikan juga.


Jakarta - Kebijakan pemerintah yang menetapkan Gelora
Bung Karno Jakarta sebagai tambahan asset yang dijaminkan dalam
penerbitan surat berharga berbasis syariah, sukuk ritel dikecam
sejumlah kalangan. Sebab stadion olah raga dan pusat bisnis itu
dianggap sebagai kebanggaan bangsa. 

“Niat
itu jelas merupakan maksud jahat yang sangat mencederai harga diri
bangsa,” ujar politisi senior Haryanto Taslam. Menurut koordinator
relawan Pandu Prabowo itu, asset Gelora Bung Karno merupakan salah satu
kebanggaan bangsa yang mestinya harus dijaga dan dipelihara dengan baik
sesuai dengan fungsinya.

Karena itu, Hartas—panggilan akrab
Haryanto Taslam mengingatkan kepada pemerintah agar tidak gegabah
menggadaikan asset-aset negara, lebih-lebih asset yang bernama Gelora
Bung Karno. “Pemerintah jangan main-main dengan memanfaatkan fasilitas
dan asset Negara secvara sembrono,” tukas mantan anggota DPR dari
Fraksi PDI Perjuangan ini.

Pada akhir 2008 lalu, Gelora Bung
Karno ditetapkan sebagai aset yang dijaminkan dalam penerbitan sukuk.
Menurut Direktur Kebijakan Pembiayaan Syariah Depkeu, Dahlan Siamat,
seluruh aset itu nilainya Rp 51 triliun, tetapi hanya sekitar Rp 25,9
triliun yang bisa dijaminkan. Untuk mengantisipasi penolakan DPR atas
jaminan asset itu,  pemerintah juga membidik aset sejumlah departemen
dan lembaga senilai 27 triliun untuk aset jaminan. 

Penerbitan
sukuk ritel dimaksudkan untuk menggaet para investor dari Timur Tengah.
Sebelumnya pemerintah melakukan one on one meeting dengan beberapa
investor Timur Tengah yang potensial.  Salah satunya dengan Qatar
Islamic Bank yang tertarik membeli sukuk. Wajar saja sempat beredar
kabar bahwa Gelora Bung Karno akan “digadaikan” kepada Qatar. 

Dijaminkannya
asset Negara dalam penerbitan Sukuk diduga karena pemerintah mengalami
deficit yang serius. Penerbitan sukuk itu merupakan jalan pintas untuk
menutupi deficit anggaran belanja Rp 139,5 triliun dan mengamankan APBN
2009. 

Anehnya defisit negara bukannya ditutup dengan
mengefisienkan pengeluaran negara dan menutupi lobang kebocoran,
sebaliknya menambah utang baru dalam bentuk sukuk.  (*)  (adv/adv)
   wassalam,  ex toto corde,  Berthy B Rahawarin  brahawa...@yahoo.com     Quo 
res cumque cadunt, semper stat linea recta.   (Apa pun yang terjadi, senantiasa 
berdiri di garis lurus.)


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke