Australia adalah nama sebuah benua yang terisolasi secara geografis sehingga 
juga terisolasi cukup lama dari mainstream peradaban dunia. Lama sekali benua 
itu tidak diketahui keberadaannya oleh mayoritas manusia yang mendiami planet 
bumi ini. 

Karena terisolasi secara, di Australia pun berkembang aneka bentuk kehidupan 
hewan darat yang memiliki bentuk dan ciri yang sangat khas yang tidak bisa kita 
temui di tempat lain. Yang paling unik dari hewan-hewan yang hidup di Australia 
adalah jenis mamalia yang merupakan ordo marsupial dengan ciri khas memiliki 
kantong. 
 
Meskipun terisolasi dari peradaban mainstream, bukan berarti Australia tidak 
dihuni manusia. Benua ini sudah sejak lama ditinggali oleh manusia ras negrito, 
yang memiliki ciri fisik yang sama dengan orang Papua yang juga hidup di pulau 
yang terletak di lempeng benua yang sama. Oleh orang Eropa yang datang 
belakangan, para penduduk asli Australia ini disebut sebagai Aborigin. 

Dalam kurun waktu yang lama 250.000 hingga 1 juta orang Aborigin hidup di Benua 
itu. Level populasi ini diperkirakan pula telah cukup stabil selama ribuan 
tahun. Mereka hidup dengan tenang dan harmonis dengan alam sekitarnya karena 
suku ini memiliki kearifan lokal yang menghargai alam. Tapi semua berubah sejak 
Australia ditemukan oleh orang eropa, sejak saat itu orang Aborigin mulai 
tersingkirkan. Mereka pernah dianggap sebagai setengah manusia. Sehingga bahkan 
membesarkan anak yang mereka lahirkan sendiripun mereka tidak boleh. 

Sejak kedatangan bangsa eropa pula yang dimulai pada tahun 1770 ketika James 
Cook mendarat di pantai timur Australia dan mengambil alih daerah tersebut dan 
menamakannya sebagai New South Wales, sebagai bagian dari Britania Raya. Sejak 
saat itu wajah Australia berubah selamanya. Orang eropa yang eksploitatif 
membawa berbagai makhluk hidup berupa hewan dan tumbuhan asing ke benua ini. 
Akibatnya keseimbangan ekologi di benua inipun rusak. Hewan dan tumbuhan asing 
yang dibawa oleh orang-orang eropa tersebut beberapa diantaranya ternyata 
sangat cocok dengan iklim dan tanah Australia. Akibatnya hewan dan tumbuhan 
baru tersebut dengan cepat menyaingi tumbuhan dan hewan asli Australia, 
sehingga beberapa hewan asli Australia punah karena kalah bersaing.

Sebelum kedatangan orang-orang eropa, hewan yang berada di puncak tertinggi 
rantai makanan di benua Austrlia adalah hewan berkantong yang oleh orang eropa 
dinamai Tasmanian Tigers (Thylacinus cynocephalus), hewan berkantong dengan 
kulit berbulu loreng yang bentuk dan ukurannya seperti anjing. Selain itu ada 
juga Tasmanian Devil, makhluk yang bentuknya terbilang aneh bagi kita yang 
tidak terbiasa hidup di benua itu. Kedua hewan tersebut memiliki anatomi dan 
kemampuan berburu yang dirancang untuk mammpu bertahan hidup dengan berburu 
hewan-hewan yag ada di Australia.

Tapi kedatangan orang-orang Eropa ke benua ini juga disertai dengan hewan 
piaraan mereka, sejenis anjing yang disebut Dingo. Dingo ini memiliki kemampuan 
berburu jauh lebih baik ketimbang dua hewan pemakan daging asli Australia 
seperti yang saya sebut namanya di atas. Hewan ajaib Tasmanian Tigers 
(Thylacinus cynocephalus) dan Tasmanian Devils tadipun kehilangan dominasinya. 
Akibatnya Tasmanian Tigers yang merupakan hewan pemakan daging asli Australia 
itupun kalah bersaing, ditambah dengan mitos di eropa yang membenci serigala, 
hewan inipun diburu habis-habisan dan secara resmi dinyatakan punah pada tahun 
1936. 

Bukan hanya itu,orang eropa yang datang ke Australia membawa hewan pengerat 
bernama kelinci yang tiba di Australia pada abad ke-18. Ada dua versi tentang 
keberadaan hewan ini di Australia. Versi pertama mengatakan kalau kelinci 
sengaja dibawa oleh orang eropa, karena mereka mengharapkan kelinci bisa 
berkembang dengan baik di Australia supaya bisa dijadikan hewan buruan untuk 
memuaskan hobi berburu mereka. Versi lain mengatakan kelinci ada di Australia 
karena sepasang kelinci yang melompat dari kapal dan kemudian beranak pinak 
dengan cepat di Australia yang ternyata sangat cocok untuk tempat hidup 
kelinci. Lalu kelincipun dari yang rencananya akan dijadikan hewan buruan untuk 
bersenang-senang, dengan cepat berubah menjadi hama yang bertanggung jawab atas 
kehancuran ekologi Australia. Kelinci membuat punah beberapa spesies tanaman 
dan juga menyebabkan banyak erosi tanah. Sampai sekarang kelinci masih menjadi 
masalah besar di Australia.

Australia juga pernah bermasalah dengan kaktus yang awalnya ditanam dengan 
maksud mempercantik wajah gurun-gurun Australia. Mungkin yang menanamnya 
pertama kali adalah penggemar film koboi yang ingin menyulap wajah gurun 
Australia supaya mirip dengan wajah gurun-gurun di Arizona yang banyak 
ditampilkan dalam film-film western. 

Sama seperti kelinci, kaktuspun ternyata sangat cocok dengan alam Australia. 
Sejak ditanam pertama kali kaktus tumbuh subur di Australia dan tumbuh di 
mana-mana, tidak hanya di gurun. Seperti kelinci kaktuspun dengan cepat mejadi 
masalah di Australia. Tanpa bisa dikendalikan kaktus tumbuh subur dimana-mana. 
Akhirnya untuk memusnahkan kaktus pemerintah Australia mengimpor serangga yang 
menjadi musuh alami kaktus. Masalah kaktus selesai, tapi kini muncul baru yaitu 
masalah serangga pemakan kaktus tadi yang kemudian menjadi hama untuk tanaman 
pertanian yang lain.  

Entah untuk alasan apa Australia juga pernah mengimpor katak beracun. Sama 
seperti hewan impor sebelumnya, katak beracun inipun ternyata sangat cocok 
hidup di Australia dan seperti yang terjadi katak inipun segera menjadi masalah 
nasional. Untuk memberantasnya pemerintah Australia terpaksa menurunkan tentara 
nasional negara itu untuk berperang dengan si katak.

Masalah dengan Australia bukan hanya dengan hewan dan tumbuhan 'tidak berguna' 
itu. Australia juga menuai masalah ketika mencoba mengembang biakkan hewan yang 
sangat berharga di beberapa kebudayaan tapi tidak bagi orang Australia. Hewan 
itu semacam kerbau yang harga seekornya bisa seharga puluhan juta di Toraja, 
tapi tidak ada yang mau membelinya di Australia. 

Begitu juga ketika Australia mencoba mengembangkan onta yang dibawa ke 
Australia pertama kali pada tahun 1840 untuk membantu penjelajahan di 
gurun-gurun benua itu. Tapi ternyata binatang yang menjadi simbol kekayaan di 
Maroko yang juga berharga puluhan juta ini sama sekali tidak diminati di 
Australia. Sehingga dua jenis hewan besar yang menjadi simbol kekayaan di 
tempat  lain inipun di Australia karena tidak ada yang meminati berkembang biak 
dan beranak pinak sangat banyak dan menjadi hama. Sampai-sampai pemerintah 
Australia berencana untuk melakukan pembantaian massal terhadap Onta.

Di belahan dunia lain, di Takengen di kampung halaman saya, ada sebuah danau 
indah bernama Lut Tawar yang diperlakukan dan bernasib kurang lebih sama dengan 
Australia.

Sejak lama di danau cantik ini hidup berbagai jenis hewan dan tumbuhan yang 
hidup saling tergantung dan mendukung satu sama lain dalam sebuah ekosistem 
yang membentuk keseimbangan ekologis. 

Belakangan satu orang terpelajar dari kampung saya pergi ke Bogor dan 
mengujungi kebun raya. Di Kebun Raya Bogor dia melihat tanaman air yang sangat 
cantik. Tanaman yang hidup mengambang di air yang memiliki bunga berwarna ungu 
dengan kombinasi kuning di bagian tengahnya ini tampak sangat eksotis ketika 
sedang mekar.

Lalu si bapak inipun membayangkan alangkah indahnya seandainya danau di kampung 
kami yang cantik ditumbuhi tanaman eksotis ini. Si bapak ini tidak sekedar 
bermimpi, diapun langsung membawa bibit tanaman itu ketika pulang ke kampung 
kami dan segera meletakkan tanaman ini di air danau kami yang cantik seraya 
berharap tanaman ini bisa tumbuh subur di danau kami dan membuat danau kami 
yang cantik menjadi semakin cantik.

Sebagian besar harapan bapak ini memang terwujud, tanaman cantik yang dia bawa 
dari Bogor tumbuh subur dan berkembang biak dengan cepat di danau kami, karena 
ternyata iklim di tempat kami dan juga suhu air di danau kami sangat cocok 
untuk tumbuh kembang tanaman cantik itu. Lalu karena saking cocoknya, tumbuhan 
cantik yang bernama ENCENG GONDOK atau KERLENG dalam bahasa kami inipun tumbuh 
dengan cepat dan tidak bisa dikendalikan. Sampai-sampai tumbuhan ini menutupi 
sebagian besar permukaan danau kami yang cantik, terutama di bagian pinggir. 
Bahkan di beberapa bagian sungai Wih ni Takengen, yang merupakan saluran 
keluarnya air dari danau kami tertutup tanaman ini sepenuhnya. Sehingga 
alih-alih menjadi lebih cantik, danau kami yang indah malah terlihat menjadi 
sangat kumuh dengan keberadaan tanaman ini. 

Sampai hari ini, keberadaan tanaman KERLENG ini masih menjadi masalah yang 
tidak terpecahkan di daerah kami.

Kemudian entah siapa yang membawa tiba-tiba di danau kami sudah ada jenis ikan 
baru yang bernama ikan Mujair, ikan yang diberi nama sesuai dengan nama orang 
yang pertama kali mengembangkannya di Indonesia. Ikan ini beradaptasi dengan 
baik di danau kami dan segera menjadi salah satu ikan yang memiliki nilai 
ekonomi tinggi.

Mungkin karena melihat keberhasilan ikan Mujair, Pemda Aceh Tengah yang 
bertanggung jawab atas pengelolaan danau kami mengembangkan ikan lain dari 
genus Tilapia yang sama dengan Mujair, tapi dari spesies yang berbeda. Ikan 
Nila, nama ikan baru yang memiliki nama latin Tilapia nilotica ini secara fisik 
sangat mirip dengan mujair, tapi bentuk badannya lebih lebar dan bisa tumbuh 
mencapai lima kali ukuran Mujair yang paling besar.

Ikan ini 'ditanam' di danau Lut Tawar sebagai hadiah bagi Aceh Tengah karena di 
daerah ini Golkar yang merupakan partai berkuasa saat itu berhasil menang dalam 
pemilu, padahal di wilayah Aceh yang lain PPP-lah yang berjaya. 

Supaya ikan ini dapat tumbuh dengan baik di danau kami, bersamaan dengan 
'ditanamnya' ikan ini, ganggang atau SEPOT dalam bahasa Gayo yang menjadi 
kesukaan ikan inipun juga ikut ditanam di danau kami.

Seperti halnya KERLENG, sepot jenis baru yang kami namai sepot GOLKAR sebagai 
rasa terima kasih kepada Partai politik yang membawa tanaman ini ke tempat kami 
inipun tumbuh subur dan segera menjadi tidak terkendali. Seluruh bagian danau 
dan sungai yang berair dangkal segera dipenuhi oleh tanaman ini. Akibatnya 
Pemda jadi pusing, nelayan dan masyarakat yang sehari-hari bergantung kepada 
danau Lut Tawar apalagi.

Untuk solusinya Pemda akhirnya memutuskan untuk melepaskan ikan jenis baru 
pemakan sepot bernama GRASSKAP (saya tidak yakin apakah tulisannya benar 
seperti ini). Ikan ini memang sangat rakus memakan sepot, tapi ukuran ikan ini 
konon sangat besar, sehingga kabarnya ikan ini bahkan sering menyerang perahu 
nelayan yang sedang mencari ikan di danau Lut Tawar. Menurut orang yang sudah 
pernah merasakan daging ikan ini rasa ikan ini sangat tidak enak. Sehingga ikan 
ini tidak memiliki nilai ekonomi, keberadaannya di danau kami malah mengganggu 
keseimbangan ekologi.

Selain urusan KERLENG, NILA, SEPOT dan GRASSKAP, danau kami juga mengalami 
beberapa perlakuan ceroboh, misalnya mengembangkan jenis ikan laga yang 
agresif. Ikan ini menyerang berbagai jenis ikan kecil lain yang hidup di 
habitat yang sama denganya sehingga populasi ikan-ikan itupun jadi berkurang.

Kemudian pemerintah juga pernah menanam belut di danau ini. Belut ini kemudian 
tumbuh memenuhi dan menjadi penguasa di areal persawahan yang ada di sekitar 
danau kami dan juga sawah-sawah yang berada di sepanjang aliran sungai Wih ni 
Takengen. 

Keberadaan belut ini mengancam populasi ikan Lokot yang bentuknya mirip ikan 
gabus tapi hanya bisa mencapai ukuran maksimal sebesar jempol kaki yang 
sebelumnya merupakan 'penguasa' daerah ini. Sehingga sekarang ikan jenis ini 
sudah sangat jarang sekali ditemui di Takengen dan sekitarnya.

Belum jera dengan pengalaman sebelumnya, pemerintah kemudian 'menanam' jenis 
ikan kecil baru berwarna merah keemasan. Maksudnya mungkin supaya ikan kecil 
yang cantik ini bisa menggantikan ikan kecil lokal yang bernama BONTOK yang 
tidak memiliki nilai ekonomi yang penampilan fisiknya kurang cantik 
dibandingkan ikan jenis baru yang oleh orang Gayo kemudian dinamakan 'BONTOK 
ILANG' yang artinya 'BONTOK MERAH'. Cuma lagi-lagi ada hal kecil yang tidak 
diperhitungkan oleh pemerintah ketika 'menanam' BONTOK ILANG ini, yaitu 
karakter ikan ini yang suka menyerang ikan kecil bukan hanya menyerang BONTOK. 
Ikan ini juga  menyerang jenis ikan yang memmiliki nilai ekonomi seperti 
KEPRAS, KAWAN, RELO dan bayi-bayi ikan mas, yang di Gayo kami sebut BAWAL. 
Akibatnya ikan-ikan inipun tak bisa berkembang biak dengan baik dan populasinya 
di danau kami berkurang drastis.

Begitulah kemiripan antara Australia dengan Lut Tawar yang sama-sama dijadikan 
ajang ujicoba ekologis tanpa melalui riset yang benar-benar matang yang 
mengakibatkan banyak masalah yang kemudian hari menjadi masalah serius yang 
tidak pernah bisa terselesaikan.

Bedanya, Australia sekarang sadar sepenuhnya kalau tidak boleh sembarangan 
bermain-main dengan ekologi. Sekarang Australia  menerapkan peraturan sangat 
ketat yang melarang siapapun untuk membawa tumbuhan atau hewan apapun ke 
Australia. Bahkan membawa sebuah apel yang masih ada bijinyapun saat ini 
dilarang keras. Untuk mengekspor barang yang berbahan kayu juga sekarang ini 
sangat ketat peraturannya. Harus ada fumigasi dan berbagai persyaratan lainnya 
untuk memastikan tidak ada serangga hidup yang tertinggal di dalam kayu. 
Kontainer yang masuk dari berbagai negara juga mereka periksa dengan ketat 
untuk memastikan tidak ada bekicot yang tertinggal di sana.

Sementara pemerintah Aceh Tengah tentu sama sekali berbeda. Yang ada di pikiran 
Nasruddin bupatinya adalah proyek, proyek dan proyek untuk 'mengumpani' para 
anggota tim suksesnya. Lut Tawar dan segala permasalahannya adalah urusan nomor 
sekian. 

Alih-alih belajar dari pengalaman. Kini di permukaan danau Lut Tawar dipenuhi 
oleh kolam terapung tempat memelihara ikan. Ini tidak salah, tapi dengan adanya 
berbagai kasus kematian massal ikan-ikan di beberapa waduk dan danau belakangan 
ini akibat menurunnya kadar oksigen di permukaan danau karena budidaya ikan 
kolam terapung yang tidak terkendali, seharusnya membuat Pemda yang bertanggung 
jawab mengelola danau ini menjadi lebih peduli dengan persoalan ini.

Untuk masalah lain yang berkaitan dengan danau seperti ikan depik, ikan endemik 
danau ini yang dieksploitasi berlebihan sampai tidak lagi memiliki kesempatan 
untuk membiakkan diri. Pemda dan DPRK yang memang peduli dengan rakyat dan 
wilayah kekuasaannya harusnya juga memikirkan untuk membuat PERDA yang 
dirancang untuk melindungi danau dan ikan khas Takengen ini.

Tapi Bupati bersama DPRK Aceh Tengah yang prestasi terbesarnya adalah menjual 
mesjid dan panti asuhan ini jelas sama sekali tidak peduli dengan fakta yang 
ada di depan mata yang mengancam kelestarian danau kebanggaan orang Gayo ini. 

Oleh bupati penjual panti asuhan beserta mesjidnya ini (dengan persetujuan DPRK 
tentunya), bagian belakang gunung-gunung yang ada di sekeliling danau Lut Tawar 
dihantam dengan proyek pembangunan jalan. Maksudnya supaya daerah itu bisa 
dijadikan lahan perkebunan. 

Nasruddin tampak jelas sama sekali tidak peduli dengan fakta bahwa volume air 
Danau Lut Tawar yang makin menyusut dari tahun ke tahun akan semakin menyusut 
akibat dari apa yang dia lakukan itu. Meskipun susutnya air danau ini belum 
pasti karena rusaknya ekologi di sekeliling danau, karena juga ada indikasi 
kalau surutnya volume danau ini akibat masalah geologis karena ada retakan di 
dasar danau. Tapi sampai hari ini belum ada publikasi resmi tentang hal itu. 

Apapun itu masalahnya, Nasruddrin dan wakilnya Djauhar Ali yang masa jabatannya 
cuma 5 tahun tampak jelas sama sekali tidak peduli pada nasib danau kami. 
Sepertinya mereka berdua tidak merasa perlu mengurusi hal 'remeh-temeh' seperti 
ini karena berpikir, toh masa jabatannya cuma tinggal beberapa tahun lagi dan 
di Pilkada mendatang, bupati penjual mesjid dan lahan panti ini juga sudah 
pasti akan sulit terpilih kembali. 

Di Indonesia pasca reformasi, otonomi daerah diberlakukan dimana-mana tanpa ada 
aturan dan undang-undang yang mengatur batas-batas kekuasaan kepala daerah.
Sehinggga seorang kepala daerah yang hanya berkuasa selama 5 tahun boleh 
melakukan apapun seenak perutnya di daerah tempatnya berkuasa.

Jadi sangatlah bisa dimaklumi kalau Nasruddin dan Djauhar memanfaatkan waktu 
berkuasa mereka yang tinggal tersisa sedikit ini sebaik-baiknya untuk 
memperkaya diri beserta kroni.


Wassalam

Win Wan Nur

www.winwannur.blog.com
www.winwannur.blogspot.com

Referensi : 

http://id.wikipedia.org/wiki/Aborigin
http://www.ucmp.berkeley.edu/mammal/marsupial/marsupial.html
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Thylacinus_cynocephalus.html
http://www.absoluteastronomy.com/topics/Rabbits_in_Australia
http://www.thejakartapost.com/news/2009/08/09/australia-considers-mass-killings-camels.html


Kirim email ke