Nasib Gelandangan Menggelandang di Belanda

Mengalami musim dingin 2009 di Belanda kuanggap dinginnya tak berbeda dengan 
rasa dingin di 25 tahun yang lalu. Rasa dingin meyengit sampe ke tulang sum-sum.

Dari sisi nilai estetika hujan salju di musim dingin, memang memberi suasana di 
luar rumah kelihatan indah dan cantik untuk dinikmati. Di waktu malam hari pun 
di taman-taman masih memancarkan cermin keelokannya, pohon-pohon bagaikan 
terhias indah gemerlapan di sepanjang bentangan gaun sutra putih bertabur 
butiran mutiara.
Hampr semua warga penduduk di Belanda menyempatkan waktu bersama keluarga untuk 
jalan-jalan ke taman sembari bermain-main dengan salju.

Pesta natal dan malam tahun baru 2010 pun buat sebagian besar penduduknya 
menganggap lebih lengkap rasanya untuk bisa dirayakan bersama anggota 
keluarganya, karena suasananya pun menjadi lebih menyenangkan untuk bisa 
mengalaminya.

Lalu bagaimana nasib sebagian orang-orang yang bertahun-tahun hidup 
menggelandang karena tidak punya rumah atau tidak punya tempat tinggal tetap, 
bahkan tanpa punya hubungan kekeluargaan? Udara dingin dan bekunya musim dingin 
dengan suhu udaranya sampai 15 derajat di bawah nul selsius buat kaum 
gelandangan dimana saja memang benar-benar sengsara dan merana.

***

Untuk mengetahui jumlah kaum gelandangan di Belanda secara hitungan eksak 
memang tak pernah diketahui. Tapi kalau kita pergi keluar rumah untuk belanja 
ke supermarket terdekat, maka di depan pintu masuk supermarket sudah ada satu 
orang yang menawarkan majalah gelandangan "Z- Magazine".

Sang penjual majalah itulah salah satunya dari sekitar 50 ribu orang 
gelandangan yang sering kita ketemui di hampir setiap supermarket di kota-kota 
besar di Belanda, seperti misalnya di Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan 
Utrecht.

Menurut sumber informasi tentang berita kemiskinan dari hasil laporan 
penelitian tahun 2007, dinyatakan bahwa tahun 2005 ada 660.000 dari 6,7 juta 
rumah tangga yang berpendapatan sebulannya dibawah standart gaji rata-rata.

Dengan kondisi rumah tangganya yang hidup dibawah garis kemiskinan itu, 
dianggap tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari selama sebulan. 
Dirasakan tekanan hidupnya semakin terjepit dengan setiap bulannya berhutang 
100 euro pada banknya.

Akibatnya kategori dari 660 ribu keluarga ini tak mampu lagi membayar sewa 
rumah, air, pemakaian listrik dan gas, juga setiap hari tidak bisa makan sehat 
yang bergizi, biarpun ada inisiatip penyediaan sembako gratis di 110 tempat 
buat kaum miskin itu. Dan nyatanya penyediaan sembako gratis tersebut hanya 
mampu menolong 15 ribu keluarga.

Banyak anggota keluarga yang mengalami persoalan krisis perkembangan 
sosial-emosional maupun kesehatan fisik dan psykhisnya yang semakin memburuk. 
Dengan mengalami persoalan psykhis berat, akhirnya mereka tak mampu mengatur 
cara hidup teraturnya.

Terutama untuk golongan berkategori miskin, antara lain karena berpendidikan 
rendah, menjadi pecandu alkohol, heroin dan sejenisnya. Juga faktor 
diskriminasi terhadap golongan penduduk asing berperan dominan dalam masyarakat 
Belanda.

Dengan begitu sekitar 200.000 rumah tangga, yang terutama berasal dari 
berpendapatan terendah itu hidupnya di himpit hutang yang semakin membengkak 
karena bunga hutangnya. Maka pada tahun 2006 korbannya pun meningkat sampai 
377.000 rumah tangga.

***
Persoalan kemiskinan di perkotaan banyak di kecam oleh masyarakat umum, 
lantaran dianggap menganggu keamanan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

Pemandangan gelandangan yang menggelandang di jalan-jalan telah mengiasi 
kehidupan di perkotaan negara maju ini, katanya tidak lagi menghalalkan tradisi 
sistim masyarakat "welfare state" untuk peningkatan "kesejahteraan dan 
kemakmuran rakyat" dengan menjunjung tinggi hak asasi  manusia dan keadilan 
sosial.

Kalau kita membaca berita di beberapa surat kabar di Belanda sejak tahun 1996, 
pada umumnya isinya selalu mengabarkan tentang ribuan orang di paksa keluar 
dari rumah tempat tinggalnya.

Dan sampai antara tahun 2007 dan 2008 diberitakan kaum miskin kota di paksa 
keluar dari rumah sewanya berjumlah antara 7.500 sampai 8.100 orang. Akan 
tetapi jumlah data tersebut masih dianggap sebagai berita hisapan jempol belaka 
karena tak pernah ada data yang jelas mengenai penghitungan total jumlah 
keluarga yang kehilangan rumah sewa atau rumah hypotik.

Juga menurut berita koran lokal dari kota Rotterdam, pernah diberitakan bahwa 
pada tahun 2006 ada 15 orang gelandangan yang menggelandang tanpa tempat 
penginapan, namun pihak Lembaga sosial mengeluh dan memprotes karena masih ada 
346 orang yang tidak tertampung di tempat penampungan gelandangan.

Belum lagi di hitung dengan jumlah angka peningkatan kemiskinan akibat krisis 
kapital yang telah menggelobal di tahun 2009. Banyak pula mengorbankan kaum 
golongan menengah karena kehilangan perkerjaannya.

Hal ini mengakibatkan proses peningkatan perceraian dalam hubungan suami-istri. 
Sehingga golongan keluarga menengah ini kehilangan rumah huninya karena tidak 
mampu membayar hypotik pada banknya. Dan terpaksalah mereka mencari rumah sewa 
atau menggelandang lalu malamnya tidur di tempat-tempat penampungan.

Dengan adanya peningkatan pengangguran golongan menengah ini tentunya akan 
menambah jumlah gelandangan di perkotaan maupun di pedesaan. Padahal persoalan 
penampungan ribuan keluarga pertahunnya yang terus mengalir deras tak pernah 
tertangani secara tuntas. 

Dan pemerintahnya dalam menangani proses pengentasan kemiskinan, kebijakannya 
seakan-akan seperti "menambal-sulam" tumpukan kain lusuh. Misalnya pihak 
Lembaga sosial "Het Leger des Heils" memprotes keras dengan adanya penurunan 
30% pada penyediaan fasilitas tempat tinggal buat gelandangan, yaitu dari 21 
ribu sampai 14 ribu tempat penampungan di Belanda.

Kalau pun mereka bisa tertampung, maka hanya di ijinkan masuk ke rumah 
penampungan dari jam 16.00 sampai keesokan harinya sampai jam 10.00 pagi, 
dengan biaya menginap permalam 5 euro sampai 10 euro.

Ironisnya, sejak tahun 1996 tunjangan sosial khusus buat gelandangan oleh 
pemerintah di turunkan sampai 200 Euro per bulan, lantaran mereka ini dianggap 
tak lagi membayar sewa rumah dan biaya air,  listrik dan gas per bulannya.

Dan hanya dengan uang tunjangan sosial sejumlah 400 euro per bulan itu, 
dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan sebagai gelandangan 
yang menggelandang di pusat kota-kota besar. Dengan cara hidupnya menjadi 
pecandu alkolol, heroin dan sejenisnya, tentunya buat membeli kebutuhan makan 
sehari-harinya telah menghabisi biaya sekitar 50 euro perharinya.

***

Peningkatan kaum miskin di perkotaan tak hanya menjerat nasib golongan dewasa 
atau orang tua, tapi juga banyak mengorbankan golongan remaja berusia antara 14 
- 25 tahun.

Tak pernah pula ada kejelasan tentang jumlah total gelandangan berkategori 
golongan remaja ini. Pernah di beritakan di surat kabar bahwa ada 8000 remaja 
yang tidak tertampung di tempat-tempat penampungan penginapan.

Belum lagi kalau kita menghitung total jumlah golongan remaja ini yang mendapat 
penampungan tetap maupun yang hanya mendapat penginapan per malam di berbagai 
tempat penampungan.

Dan pada akhirnya golongan remaja yang menggelandang di 4 kota besar ini 
terbawa arus dalam kehidupan non-formal atau "Onder wereld", yang dikuasai oleh 
jaringan sindikat kejahatan kriminal dan perampokan atau jaringan sindikat 
penjualan heroin atau sabu-sabu.

Sehingga peningkatan kejahatan kriminal dan pembunuhan semakin merambah 
kehidupan di masyarakat perkotaan maupun di pedesaan. Misalnya kasus korban 
pencopetan atau pemerasan dengan ancaman pistol atau senjata tajam 
mengakibatkan luka berat atau meninggal dunia. Juga kasus korban penjarahan di 
rumah-rumah tinggal, kantor-kantor bank dan pertokoan sampai tahun 2009 
menunjukan peningkatan jumlah korban kematian. 

***
Banyak macam cara yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda untuk menanggulangi 
soal krisis hidup rakyatnya yang dibawah garis kemiskinan. Terutama kebijakan 
penanggulangannya di prioritaskan pada golongan remaja berkategori usia 14 
sampai 25 tahun yang sudah terbiasa hidup sebagai gelandangan dengan profesi 
kerjanya sebagai kriminal dan merampok.

Dengan biaya uang negara sejumlah 170 juta euro, pihak Pemerintah lokal 
bekerjasama dengan berbagai Lembaga Sosial terkait supaya melakukan penanganan 
pendampingan secara individual. Dan tahun 2013 persoalan gelandangan golongan 
remaja harus dikembalikan sampai ke titik nul. Lalu apakah ambisi harapan pihak 
pemerintah Belanda yang bekerjasama dengan pemerintah lokal dan lembaga-lembaga 
sosial bisa direalisasi sampai target waktu 2013?

Biasanya anak-anak remaja yang telah tertangani sampai mendapat tempat tinggal 
sendiri, lengkap dengan penyediaan kebutuhan hidup minimal dan mendpat 
tunjangan sosial.

Akan tetapi mereka ini harus pula dihadapi beban persoalan hutang-hutang dari 
masa lalunya, yang jumlah hutangnya tidak sedikit nilai uangnya, misalnya 
denda-denda vonis delik kejahatan yang pernah dilakukan ketika masih jadi 
gelandangan. Biasanya tagihannya langsung sudah memenuhi kotak pos alamat rumah 
tinggalnya.
  
Juga pada kenyataan sehari-hari persoalan anak-anak remaja yang menjadi anak 
jalanan ini pada awalnya terutama disebabkan adanya penyakit trauma berat dan 
menjadi agresip lantaran kasus kekerasan dalam rumah tangganya. Dan golongan 
anak-anak jalanan ini, tanpa diketahui oleh orang tuanya telah menjadi pecandu 
alkohol, heroin dan sejenisnya maupun terlibat kegiatan akltivitas kejahatan 
kriminal, misalnya menggarong tempat-tempat pom bensin yang tersebar di seluruh 
Belanda.

Sampai pada akhirnya, bila anak-anak jalanan yang termotivasi untuk menjadi 
orang baik tapi sebenarnya telah terbiasa dengan cara hidup menggelandang 
sampai menjadi kriminal atau penjahat lainnya. Maka setelah melalui proses 
waktu tertentu, banyak anak-anak remaja yang sudah membaik itu kembali ke alam 
dunia gelandangan yang menggelandang.

Dan orang tuanya pun tak mampu lagi mengontrol kehidupan anak-anaknya karena 
menganggap sudah mandiri dan tinggal di luar rumah. Banyak orang tuanya 
kemudian menyibukan diri hanya dengan bekerja dan mencari uang demi memenuhi 
kebutuhan hidupnya dengan membeli mobil, rumah dan minimal 2 kali pertahun 
berlibur keluar negeri.

Dan banyak pula orang tua yang akhirnya semakin stres berat karena mendapat 
tekanan psykhis dan phisiknya karena situasi dalam pekerjaannya. Kemudian 
terjerumus pada persoalan pecandu alkohol dan perceraian. Disisi lain para 
orang tua tersebut secara sadar pula mengakumulasi hutang-hutangnya melalui 
bank karena kebutuhan "kemewahan" nya itu berasal dari pinjaman uang kredit.

Sementara itu anak-anaknya yang sudah merasa mandiri dan nyaman di kehidupan 
ekonominya dari pendapatan menggarong dan melakukan tindakan kriminal lainnya, 
maka akhirnya mereka kembali menjadi pecandu alkohol, heroin dan sejenisnya. 
Dan bekas anak-anak jalanan ini kemudian meninggalkan tempat tinggalnya sendiri 
untuk merealisasi kehidupan bebasnya yang berpindah-pindah tempat tinggalnya. 
Tentunya maksudnya supaya identitas mereka-mereka ini tidak dilacak oleh pihak 
kepolisian.

Tentunya cara hidup yang telah dibangunnya sebagai penjahat kriminal maupun 
perampokan tak bisa berlangsung lama lantaran cara hidupnya yang tidak teratur 
dan tidak aman buat menyelamatkan dirinya, pada akhirnya terlacak juga oleh 
badan keamanan negara.

Dengan cara kehidupannya yang keluar-masuk penjara, makan yang tidak teratur 
dan juga dengan kondisi candu alkohol, heroin dan sejenisnya yang semakin 
parah. Maka biaya uang negara yang berjumlah 170 juta euro itu digunakan buat 
proses penyembuhan dan pemulihan golongan remaja untuk supaya bisa hidup normal 
dan kembali ke dalam masyarakat umum, dihadapi pada  proses vicius circle 
bagaikan menyemai bibit-bibit unggul moral kejahatan di taman labirin.

Nyatanya sampai awal tahun 2010 jumlah kejahatan kriminal dan perampokan di 
Belanda semakin meningkat dengan jumlah korban kejahatan terhitung sejak tahun 
2003 adalah 3 orang per 100.000 penduduk menjadi 10 orang per 100.000 penduduk.

Kemiskinan dianggap menjadi persoalan struktural, ini terbukti adanya kegagalan 
sistim kapitalisme dengan mengandalkan pada kebijakan politik-ekonomi neo 
liberalisme di Europa Barat. Belanda merupakan contoh yang dikenal sebagai 
negara kecil, berpenduduk padat dengan jumlah pengangguran relatip lebih rendah 
bila dibanding dengan Jerman dan Perancis.

MiRa - Amsterdam, 10 Januari 2010



Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://sastrapembebasan.wordpress.com/
 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke